Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI halaman Gedung Graha Pena, Jawa Pos, Surabaya, Kartolo tampil menghibur dalam acara Grand Final Festival Ramadan 2016, Ahad akhir Juni lalu. Malam itu, bersama dua anggota grupnya, Kastini dan Sapari, ia mengocok perut dan mengundang gelak tawa sekitar 200 penonton. Sepanjang sekitar 45 menit pertunjukan, mereka menyuguhkan lawakan tentang kehidupan warga yang satire. Dari soal mengurus surat pengantar di balai desa yang disertai pungutan, lalu lintas jalan yang macet, hingga masalah perdukunan.
Kartolo, Kastini, dan Sapari juga memasukkan lawakan tentang peristiwa aktual yang terjadi di masyarakat. Misalnya bencana tanah longsor di Purworejo, Jawa Tengah. Itu muncul saat Kartolo memperkenalkan diri sebagai pengusaha tanah. "Tepangaken kula niki pengusaha tanah, tapi tanah kula teng Purworejo longsor (Kenalkan saya ini pengusaha tanah, tapi tanah saya di Purworejo longsor)."
Menurut Kartolo, pentas malam itu adalah satu-satunya order manggung selama Ramadan. Di luar bulan puasa, orderan juga masih ada, kendati tak sederas dulu saat anggota grupnya masih lengkap berlima—bersama Sokran dan Basman, keduanya telah meninggal. "Rata-rata sebulan tiga kali pentas masih ada kalau di luar Ramadan," katanya.
Kartolo menuturkan, order tanggapan melawak itu merupakan satu-satunya penghasilannya saat ini. Dia tidak punya pendapatan sampingan di luar melawak. Hingga kini, ia masih melayani tanggapan melawak rata-rata tiga kali dalam sebulan. Namun usianya yang mulai mendekati kepala tujuh membuat penampilannya tak seprima dulu lagi. "Saya maksimal hanya bisa tiga jam pentas," ujarnya.
Seperti dalam penampilan di halaman Gedung Graha Pena malam itu. Suara Kartolo memang masih nyaring. Lantunan kidungnya juga masih enak didengar, hingga beberapa penonton ikut menggoyang-goyangkan kepala mengikuti irama musiknya. Namun dia tampak lemah dalam bergerak. Kartolo terlihat gemetaran ketika mengangkat salah satu kakinya untuk menari.
SEJAK masuk dapur rekaman pada 1980, saya tidak terikat dengan grup ludruk mana pun. Saya jalan dengan grup lawak saya, yang personelnya sekarang tinggal tiga orang, yakni saya sendiri; istri saya, Kastini; dan Sapari. Dalam sebulan, kami masih menerima tanggapan melawak rata-rata tiga kali. Saya ini ibaratnya jualan suara. Mereka yang nanggap umumnya ingin mendengarkan kidungan saya. Sekarang umur saya sudah segini, 69 tahun, buat ngidung napas cepat ngos-ngosan. Suara juga tidak semerdu seperti ketika muda dulu.
Kadang saya masih menerima job satu paket, lawak plus ludruknya. Karena usia sudah uzur, saya tidak mampu lagi kalau harus main ludruk mulai pukul 21.00 sampai 03.00. Saya maksimal hanya bisa tiga jam. Yang ngorder itu saya tawari begitu. Mau enggak tiga jam. Kalau mau, akan saya carikan pemainnya, pengrawitnya, sekaligus panggungnya. Semua dari saya. Penari remo juga harus ada karena pakem ludruk itu harus ada ngremo-nya. Silakan menentukan lakonnya, nanti saya yang mencari pemain dan menggarap ceritanya. Misalnya Sarip Tambak Oso, itu ceritanya begini-begini, kebutuhan pemainnya segini.
Yang nanggap itu tidak peduli tiga jam, yang penting ludruknya Cak Kartolo. Katanya untuk ngluwari ujar (menjalankan nazar). Rupanya, orang ini dulu pernah bernazar, kalau hidupnya sukses mau nanggap ludruk saya. Tapi, karena sekarang saya tidak punya grup ludruk, akhirnya saya comotkan pemain dari sana-sini. Sudah tidak perlu latihan, wong semua yang saya ambil itu juga para pemain ludruk.
Kalau di desa, main ludruk mulai pukul 21.00 sampai 03.00 mungkin masih ada yang nonton. Tapi kalau di kota jangan harap. Orang kota itu nonton ludruk yang ditunggu hanya lawakannya. Inti cerita tidak terlalu suka. Makanya seniman harus paham hal-hal yang seperti itu. Yang penting pakemnya enggak ditinggalkan, yaitu ngremo, bedayan, kidungan, lawak, dan cerita.
Sebagai pemain ludruk, suara saya ini aset buat cari uang. Karena itu, saya menjaga kesehatan tubuh dengan rutin main bulu tangkis seminggu sekali. Sebab, kalau suara saya sudah rusak, sandang-pangan saya mati. Kalau suara sudah rusak, mau kerja apa coba? Mau berbisnis sudah kalah gesit dengan yang muda-muda. Mau jadi sopir pribadi, siapa yang sudi saya sopiri.
Alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak pernah terkena penyakit aneh-aneh. Memang sejak muda saya berhati-hati, tidak mau seperti sejumlah teman seniman yang hidup royal di masa jayanya tapi sengsara di hari tua. Ada teman seniman yang sewaktu masih berada di puncak kejayaan perilakunya seperti bos. Dia punya orang yang disuruh membawakan tasnya ke mana-mana. Kalau sekarang mungkin istilahnya asisten. Namun, ketika sudah tidak laku lagi, dia jatuh miskin dan terkena stroke. Saat seniman sedang di puncak kejayaan, godaan itu banyak. Saya pun mengalami. Saya pernah gonta-ganti mobil sampai enam kali.
Setelah anak-anak saya besar, uang hasil tanggapan ataupun rekaman saya pakai buat biaya sekolah. Saya memang ingin anak-anak menjadi sarjana. Jangan seperti ayahnya yang hanya tamatan sekolah rakyat. Yang penting sekolah dulu, perkara mau terjun ke seni itu nomor dua. Saya tidak membatasi minat mereka. Seni pun, kalau ditekuni, bisa mendatangkan rezeki. Anak saya yang bungsu, Dewi Triyanti, rupanya mengikuti jejak saya dan ibunya. Dia berbakat melawak. Akhirnya, kalau saya mendapat job, dia sering saya ajak sebagai personel tambahan.
BOLEH dibilang, Kartolo merupakan potret seniman yang mampu bertahan cukup lama. Eksistensinya terjaga kendati zaman telah berganti. Dari panggung ludruk, Kartolo mampu menyekolahkan dua putrinya hingga lulus sarjana. Putri pertama, Gristianingsih, sarjana Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Adapun adiknya, Dewi Triyanti, sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wijaya Putra, Surabaya. KUKUH S. WIBOWO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo