Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ontosoroh, Sang Warrior

Para pemusik adalah juga penari yang setiap gerak dan ekspresi tubuhnya berada dalam bingkai koreografi.

26 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warna bunyi yang dihadirkan biola itu serupa dengan rintihan menghantarkan suara tak beraturan kemarahan seorang pesinden. Kaki pesinden mengangkang. Sorot matanya tajam. Jemarinya menghunus persis di muka pengendang. Pengendang kemudian kelihatan sangat responsif, menangkis setiap amarah pesinden lewat pukulan kendang yang tak kalah keras, dan mencabik!

Ini momen paling dramatis dari pementasan kolaborasi musik-tari yang melibatkan komposer Peni Candra Rini (Indonesia) dan koreografer Ade Suharto (Australia) pada Minggu malam, 18 Agustus 2013. Kedua seniman perempuan itu mengimajinasikan Nyai Ontosoroh, tokoh heroik dari novel realis Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Pertunjukan yang berlangsung di Gedung Teater Arena, Taman Budaya Surakar­ta, Jawa Tengah, itu diawali eksplorasi bunyi gong dan kenong yang dimainkan dengan tangan telanjang. Pada mulanya frase musikal ini hampir merupakan komposisi tak berbentuk. Namun, pada menit-menit berikutnya, bebunyian membangun nada-nada dan konfigurasi musikal yang terpola dalam struktur minimalis.

"Tetungguling wanodya yu, Saking tlatah Jawi Wetan, Sumorot cumlorot cahyanyo sang Hyang Surya westri, Kang sinebut Nyai Ontosoroh...."

Seorang perempuan (Peni) memasuki arena panggung, dengan gerak lamban, sambil melagukan larik-larik kalimat tersebut. Prolog tersebut berlanjut ke komposisi berikutnya berjudul Kapang. Di sini Peni menembang sambil memainkan ricikan rebab. Ia mengembangkan Kapang dari cengkok-cengkok sederhana menuju gregel dan wiledan, yang tergolong sulit dalam khazanah sinden Jawa. Bukan hanya itu, dalam Kapang juga disajikan dialog antara alat musik suling, rebab, dan vocal. Susunan melodinya dari pola sederhana menuju kompleksitas nada-nada ganjil dan disonan. Beberapa frasa dimainkan dalam keketatan teknik tuty-tuty yang rigid di antara ketiga alat musik tersebut.

Komposisi selanjutnya Perang Bisikan. Komposisi kendang, biola, gender, dan vocal yang mengimajinasikan kekuatan Nyai Ontosoroh ini menampilkan serangkaian nada kontrapunktal yang blero, disharmoni, tapi memikat telinga. Permainan violin yang cukup prima oleh Prisha Sebastian bertamasya dengan gaya bernyanyi Peni yang melampaui nada-nada standar. Sedangkan Iswanto, yang memainkan gender, asyik memanggul nada-nada kempyung sembari menjaga tatanan irama konstan yang dibangun permainan kendang oleh Plenthe.

Yang menarik dari kolaborasi ini, para pemusik adalah juga penari yang setiap gerak dan ekspresi tubuhnya berada dalam bingkai koreografi. Lantaran itu, para pemusik yang terlibat di sini mesti menjaga tubuhnya sebagai tubuh penari. Pada poin-poin itulah koreografi Ade Suharto menjadi tak mudah. Pemusik yang kurang terlatih kemampuan gerak tubuhnya akan kesulitan.

Prisha, yang memainkan violin, misalnya, tampak cukup terpontal-pontal tatkala harus ikut bergerak. Beruntung Ade mendapatkan Retno "Eno" Sulistyorini sebagai penari utama malam itu. Dalam keseluruhan pertunjukan, Eno seperti tak mendapat kesulitan dalam menafsir konsep koreografinya. Sedianya Ade sendiri yang bakal memerankannya. Namun, karena mengalami cedera kaki saat berlatih beberapa hari menjelang pentas, ia pun urung memerankan Nyai Ontosoroh.

Tafsir Peni dan Ade atas Nyai Ontosoroh sayangnya masih cenderung belum mampu keluar dari tafsir-tafsir lain mengenai Nyai Ontosoroh. Seperti diketahui, Nyai Ontosoroh sudah banyak dipentaskan di lingkungan teater. Tafsir mereka juga sama: figur Ontosoroh adalah figur yang liat. Karakter Ontosoroh seperti nyaris tertutup bagi tafsir yang berbeda!

Di akhir pertunjukan, komposisi penutup menguatkan sosok Nyai Ontosoroh yang perkasa tersebut. Komposisi itu berjudul Warrior Ontosoroh. Pertunjukan malam itu belum memberi nilai baru, kecuali praksis koreo-musikal yang tereksekusi rapi oleh para seniman yang mumpuni secara teknis.

Joko S. Gombloh, pemerhati musik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus