"YANG saya sayangkan ialah, saya tak akan bisa lagi pergi
mancing di laut. Padahal itu hobi saya," ujar Prof. dr. Abu
Hanifah yang bergelar Datuk Maharaja Emas, kelahiran Padang
Panjang 73 tahun silam. Sudah 2 bulan ia dirawat di sebuah rumah
sakit Jakarta. Ia menyebut hal itu sebagai "sudah takdir."
Kakek dari 4 cucu itu, lulusan Stovia Jakarta 1932, pernah
menjadi Dubes RI beberapa kali dan pada 1961 mendapat
penghargaan dari Pemerintah sebagai salah seorang 'perintis
kemerdekaan'. Dikenal pula sebagai sastrawan yang menggunakan
nama samaran El Hakim, dengan karya-karyanya yang dibukukan
dalam Taufan di atas Asia -- yang bersama dengan aktivitas Usmar
Ismail, adiknya, menandai periode drama Indonesia di masa
Jepang.
"Saya akan menulis lagi," ucapnya. Antara lain akan merevisi
Cita-cita Perjuangan yang ditulisnya 1946, ditujukan pada
generasi muda sekarang yang menurut dia "kurang ikhtiarnya."
Yang datang menjenguknya di rumah sakit tercatat 315 orang. Ia
mendapat 4 lusin karangan bunga, di antaranya dari Adam Malik
dan Menko Kesra Surono, juga belasan Dubes asing datang
menengok. "Sampai-sampai saya terharu jadinya." Lalu ia
setengah berbisik: "Sebenarnya siapa sih Si Abu ini? Dia 'kan
orang pensiunan." Terselip kebahagiaan dalam suaranya. Dan orang
yang pernah menyebut dirinya sebagai Dino Saurus itu, meski tak
sanggup lagi membaca koran sampai habis, berkata lagi: "Saya
betul-betul merasa tidak ditinggalkan . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini