Dompet Untuk Ali

SEBUAH harian di Surabaya membuka dompet kemanusiaan untuk Muharnmad Ali, sastrawan nomor 1 di sana. Awal Maret lalu Ali harus keluar dari rumah kontrakannya, dan tidak tahu harus pergi ke mana. Rumah kecil di daerah Nyamplungan yang pengap, yang dikontraknya Rp 75.000 setahun itu, memang sudah harus ditinggalkannya -- bahkan setelah diberi kelonggaran 1 bulan. Tapi ayah 9 anak dan kakek 5 cucu itu 56 tahun, rupanya belum berhasil mengumpulkan uang untuk mencari tempat baru. Terpepet waktu, Ketua Dewan Kesenian Surabaya ini diizinkan menempati aula Lokaseni di belakang kantor DKS -- meski kalau ada latihan tari harus mojok ke sudut. Sampai kapan? Walikota Surabaya Drs Muhadji Widjaja sedang mendesak Perumnas. Walikota memang pernah menjanjikan rumah Perumnas untuk 3 seniman Amang Rahman, Daryono dan Muhammad Ali. "Karena ada janji itulah sebenarnya saya tidak siap mengumpulkan uang. Biasanya saya menabung setahun penuh untuk mengontrak rumah tahun depan," kata Ali kepada TEMPO. Apalagi pihak Perumnas sudah menjanjikan bulan Desember 1979 -- tepat masa kontraknya yang terakhir hampir selesai. Satu-satunya penghasilan Ali didapat dari honor tulisannya. "Tapi dompet kemanusiaan itu sebenarnya masih belum pantas. Masih lebih banyak rakyat Indonesia yang jauh lebih menderita dari saya," katanya. Apa lagi pengarang yang dulu terkenal oleh sandiwaranya Lapar itu tidak sampai lapar.