Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Memimpikan Sungai Jadi Etalase Kota

Komunitas masyarakat di sekitar Sungai Winongo mengolah sampah organik dengan maggot. Mengurai sampah dan merawat sungai.

 

28 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kandang Maggot yang dikelola Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) DIY di Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta, 26 Mei 2023. TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Endang Rohjiani menggagas pengolahan sampah organik dengan budi daya maggot.

  • Lewat Forum Komunikasi Winongo Asri, ia memberdayakan warga ikut budi daya maggot.

  • Menyelesaikan persoalan sampah organik sekaligus menjaga sungai agar bersih dari sampah.

Ribuan maggot menggeliat di kotak-kotak semen berukuran sekitar 0,5 x 1 meter dengan tinggi sekitar 15 sentimeter. Tulang belulang ayam yang mengering tanpa daging secuil pun berserakan di dalam kotak-kotak itu. Di kotak lain, maggot-maggot itu menyisakan plastik pembungkus sisa makanan hingga bersih dan mengering pula. Tak ada lagi sisa nasi, sayuran matang, atau sampah olahan dapur lainnya. Hewan serupa ulat tanpa bulu berwarna putih kekuningan yang tak bergigi ini bisa menandaskan sampah-sampah makanan itu hanya dalam waktu 24 jam. Rakus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Itulah salah satu alasan mengapa kami memilih maggot untuk menyelesaikan masalah sampah organik di Yogyakarta,” kata Ketua Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) DIY, Endang Rohjiani, 51 tahun, saat ditemui Tempo di lokasi Kandang Maggot Jogja (KMJ) di Kelurahan Kricak, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Jumat, 26 Mei 2023. Apalagi, ia melanjutkan, pemerintah lebih getol melakukan pemilahan dan pengelolaan sampah anorganik melalui bank-bank sampah. Ada 600 lebih bank sampah di kota itu, tapi tak memberi porsi yang sama untuk pemilahan dan pengelolaan sampah organik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal sebanyak 58 persen sampah di Kota Yogyakarta merupakan sampah organik yang banyak menimbulkan masalah. Bau dan lindinya menjadi biang pencemaran lingkungan, juga gampang dikerubuti lalat sehingga rentan menebarkan penyakit. Ia mencontohkan kasus ketika Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Piyungan di Bantul berulang kali ditutup 2-3 hari karena penuh dan tak ada solusi penyelesaiannya selama bertahun-tahun. TPA tersebut merupakan lokasi tujuan pembuangan sampah dari Yogyakarta, Bantul, dan Sleman.

Akibatnya, sampah-sampah menumpuk di sejumlah TPS tepi jalan karena tidak diangkut. Masalah pun muncul. Selain menyebabkan polusi dan rentan penyakit, orang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah. “Jadi, kami berpikir cara apa yang bisa dilakukan biar sampah-sampah organik bisa cepat dikelola,” kata pegiat lingkungan sungai itu.

Pada awal 2021, Endang mulai melakukan riset kecil-kecilan melalui Internet. Ia menemukan kata kunci “maggot”. Hal itu sudah dikembangkan di Jawa Barat. Kemudian ia bertemu dengan pemilik Omah Maggot, Henry Supranto, dalam sebuah forum. Sebuah webinar pada masa pandemi Covid-19 yang membahas maggot pun diikutinya. Akhirnya, Endang menimba ilmu langsung ke rumah Henry. “Pulang, saya dibawain sebungkus bayi maggot.”   

Lalat tentara hitam yang menghasilkan larva berupa maggot di Kandang Maggot di Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta, 26 Mei 2023. TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Endang pun mempraktikkannya di rumah. Berbarengan dengan itu, Yayasan Yakkum membuka tawaran proposal yang disambut FKWA dengan mengajukan konsep pengelolaan sampah organik di hulu. Dari 140 proposal, komunitas itu masuk 10 besar. Sejak itu, mereka serius menggarap soal pengelolaan sampah organik dengan metode biokonversi maggot yang diberi nama Kandang Maggot Jogja. Mereka menempati tanah milik Kesultanan Yogyakarta seluas 2 hektare di bantaran Sungai Winongo yang berada di wilayah Kricak. 

Dulu, lahan itu merupakan TPA Kota Yogyakarta, lalu ditutup pada 1997. Sayangnya, penutupan TPA tidak diikuti dengan usaha mengembalikan lahan di sana seperti sedia kala. Timbunan sampah mencapai 15-20 meter. Bahkan upaya menanam pohon pun gagal berulang kali karena tanaman terbakar oleh gas metana. “Kan bagian bawah penuh timbunan sampah. Mau gali tanah 15 sentimeter untuk menanam saja susah.” 

Pada 2014, mereka menanam hampir 2.000 bibit pohon sengon di sana untuk menciptakan ruang terbuka hijau publik (RTHP). Namun hanya 30 batang yang bertahan hidup, yang lainnya terbakar. Selanjutnya, lewat upaya pemupukan, lahan di sana sudah mulai bisa ditanami, seperti pohon jati dan mahoni. Kotoran dari maggot pun bisa digunakan untuk pupuk.

Lewat program Yakkum itu, FKWA bisa mengangkut sampah-sampah organik dari dua RW di Kricak. Ada lima orang yang dipekerjakan. Pekerja yang mengangkut sampah dari rumah tangga itu menggunakan kendaraan roda tiga. Ada 5-6 ember besar berisi sampah bisa diangkut sekali jalan. Satu ember bisa diisi sampah seberat 25 kilogram. Rumah tangga yang menyetorkan sampah organik dibayar Rp 3.500 per ember sebagai bentuk apresiasi atas upaya warga memilah sampah.

Di Kandang Maggot Jogja, sampah-sampah organik dimasukkan ke mesin pencacah, terutama sampah organik mentah, seperti batang kangkung, batang bayam, dan buah-buahan. Keluaran dari mesin pencacah berupa bubur untuk makan maggot. Maggot yang memiliki sifat rakus itu bisa melahapnya dalam sehari semalam. Adapun sampah dari makanan yang sudah dimasak atau diolah bisa langsung diberikan kepada maggot.

Dalam sepekan, Kandang Maggot bisa menghasilkan 100 kilogram maggot untuk dijual seharga Rp 7.000 per kilogram. Maggot-maggot itu mengandung protein 51 persen. Pembeli bisa menggunakan maggot untuk pakan ayam, burung, dan ikan.

Tahun lalu, KMJ mendapat bantuan dana corporate social responsibility (CSR) dari PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII). Bantuan itu membuat mereka bisa memperluas jangkauan pengambilan sampah hingga 13 RW di Kricak. Dalam sehari bisa mengangkut 300-500 kg sampah organik.

Rencananya, Juni mendatang, FKWA meluncurkan program Inti Plasma Biokonversi Maggot. Mereka akan memfasilitasi individu atau kelompok yang ingin mengolah sampah organik. Mereka meminjamkan rak besi lengkap dengan 10 boks kontainer untuk menempatkan 20 gram bayi maggot dan ember untuk tempat sampah organik. Tak ketinggalan bayi maggot seharga Rp 40 ribu per 10 gram. “Tugas mereka hanya ngasih makan maggot,” tutur Endang.

Ketua Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) DIY, Endang Rohjiani di Kandang Maggot di Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta, 26 Mei 2023. TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Harapannya, satu individu yang difasilitasi itu setidaknya bisa mengorganisasi 10 rumah tangga. Sebab, ia harus mendapatkan banyak sampah organik untuk asupan maggot. Saat panen, maggot-maggot dewasa yang gendut-gendut itu disetorkan ke KMJ. Setiap 1 kg maggot dihargai Rp 5.000. Adapun 20 gram bayi maggot pada awalnya bisa berkembang menjadi seberat 40 kg dalam 10 hari. KMJ akan menukarnya dengan hitungan 40 kg x Rp 5.000, yakni Rp 200 ribu. Kemudian dipotong Rp 80 ribu untuk membeli 20 gram bayi maggot yang baru lagi untuk pengolahan sampah organik lagi. 

“Masalah sampah organik teratasi, warga juga dapat penghasilan tambahan,” ujar Endang.

Kegiatan lainnya, FKWA membuka program Sekolah Sungai. Program tersebut sudah dimulai sebelum Ramadan 2023 dan akan dimulai lagi saat siswa masuk sekolah lagi pada Juli 2023. Lokasinya bersebelahan dengan KMJ yang menggunakan bangunan semipermanen. “Kami bekerja sama dengan sekolah. Dari mahasiswa hingga taman kanak-kanak,” kata Endang. 

Di sana, para siswa diberi edukasi persoalan lingkungan berupa workshop. Ada materi tentang pengelolaan sampah organik dan anorganik, kualitas air, serta bagaimana menjaga dan memantau kualitas air. Anak-anak juga diajak mengikuti outbound, misalnya permainan memilah sampah. “Mengapa anak-anak? Karena kami ingin membentuk peradaban baru yang peduli lingkungan. Kalau orang tua diberi mindset soal lingkungan, itu susah,” Endang mengungkapkan.

Hal tersebut sejalan dengan kiprah FKWA yang berfokus pada persoalan sungai, khususnya Sungai Winongo yang melintasi Sleman-Yogyakarta-Bantul sepanjang 49,7 kilometer. Sungai itu, menurut Endang, tak lepas dari masalah sampah. Mengingat impian komunitas sungai yang beranggotakan 54 RW dari 19 kecamatan di tiga kabupaten dan kota itu ingin menata sungai sebagai etalase perkotaan. Sebagai etalase, sungai mesti bersih dan tidak ada sampah. 

Harapannya, akan muncul semakin banyak RTHP di Yogyakarta sebagaimana yang telah mereka garap sejak 2009 di bantaran Winongo, seperti Taman Flamboyan, Taman Bumijo, dan Taman Patangpuluhan. “Jadi, sungai dan sampah tak bisa dipisahkan.”   

PITO AGUSTIN RUDIANA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus