Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Guru Besar Tak Lulus Sekolah Dasar

Jakob Sumardjo adalah profesor filsafat dan pengamat teater yang produktif menulis. Ia telah menulis puluhan buku dan ratusan artikel. Namun, karena suatu hal, guru besar ini tak lulus sekolah dasar.

12 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jakob Soemardjo di rumah masa kecilnya di Klaten, Jawa Tengah, awal tahun 1990an. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA sulung beradik lima orang. Kami dibesarkan dalam keluarga Katolik yang kacau oleh zaman perang. Ayah saya, Paulus Ngantiyo alias Djojoprajitno, kelahiran Klaten, Jawa Tengah, pada 1910. Ia lebih sering bekerja sebagai sopir hingga akhir hayatnya. Ia sempat menjadi sopir pemilik sekolah di Mataram, Lombok, juga pastor. Terakhir, ayah menjadi sopir di Angkatan Udara Republik Indonesia, Maguwo, Yogyakarta, hingga pensiun berpangkat sersan. Ibu saya, Theresia Rubiyem, juga orang Klaten. Ibu lahir pada 1915.

Setahun setelah orang tua menikah, saya lahir pada Sabtu, 26 Agustus 1939, di Rumah Sakit Tegalyoso, Klaten. Saya masih berusia balita ketika rumah keluarga dirampas dan dihabisi untuk lapangan terbang Jepang. Kami mengungsi ke kampung lain dan kembali membangun rumah di zaman revolusi. Pada 1941, kami hijrah ikut kerja ayah sebagai sopir pastor di Surabaya. Setelah pulang ke Klaten pada 1946, saya masuk sekolah rakyat. Saat berumur tujuh tahun itulah muncul kelainan saya, yaitu tidur sambil berjalan. Sampai kini, penyakit itu masih ada dan saya sulit dibangunkan dengan beragam cara.

Pada 1945-1950, saya belum paham akan Proklamasi Kemerdekaan. Pertempuran di daerah kami juga jarang. Pernah ketika ibu menyuruh ke pasar, saya dan adik kabur setelah ada tembak-menembak. Isu hujan mortir Belanda ke desa membuat kami mengungsi. Saat patroli pasukan Belanda masuk ke kampung, kami bersembunyi di lubang perlindungan di kebun. Penembakan dan pembakaran rumah warga menjadi kenangan kelam.

Kondisi keluarga kami tak kalah suram. Ayah berjualan kulit kambing, ibu memasak gulainya. Tapi kami makin kelaparan karena tak punya beras. Pada 1950, saat naik kelas lima, saya pindah sekolah ke Yogyakarta, ikut ayah yang menjadi sopir di Angkatan Udara. Tiap Ahad, kami masih pulang-pergi ke Klaten naik sepeda. Semasa bersekolah di Sekolah Rakyat Kanisius di Widya Mandala itu, saya menyukai buku cerita. Uang jajan saya kumpulkan untuk membeli buku cerita, seperti Kancil dan Buaya, Si Pahit Lidah, Air Mata, serta Sabai nan Aluih.

Di Yogyakarta, kami tinggal di garasi rumah dinas Komandan Pangkalan Udara Maguwo, yang sekarang menjadi Bandar Udara Internasional Adisutjipto. Kami sekeluarga berkumpul lagi setelah ayah mendapat rumah dinas. Hunian rumah petak itu bekas kandang kuda balap, ukurannya 7 x 14 meter. Saat Komandan Pangkalan berganti, saya sering melihat putri ciliknya yang kelak menjadi penyanyi: Henny Purwonegoro.

Pada masa kecil itu, saya dan beberapa teman sekolah, juga adik, pernah mengikuti rapat akbar Dwi Tunggal Sukarno-Hatta di Lapangan Kridosono, Yogyakarta. Gagal bersalaman dengan mereka saat rapat bubar, kami jatuh dan terinjak-injak. Rasanya pengap dan gelap. Beberapa orang menolong kami bangun. Sebelum pulang ke rumah, kami bersihkan dulu lecet di siku dan lutut yang perih di dekat Stasiun Lempuyangan.

Saat kelas enam, saya ikut aktif di sekolah sebagai pelayan pastor dalam upacara misa. Seorang di antaranya Romo Driyarkara. Beliau selalu menendang kuat bantal bekasnya berlutut kalau saya terlambat mengambil agar langkahnya bebas ke altar. Cita-cita saya ketika itu menjadi orang suci. Tapi, ketika pastor menawari masuk seminari setelah lulus sekolah, saya menolak. Saat pengumuman hasil ujian, ternyata saya tidak lulus. Dari tiga pelajaran ujian, nilai bahasa Indonesia saya 9 dan pengetahuan umum 8, tapi nilai berhitung hanya 4. Seakan-akan mendapat hukuman atas dosa besar, saya menangis dan minta ampun ke ibu.

Saya tak mau mengulang kelas karena malu. Sekolah Guru Bantu Badan Oesaha Pendidikan Kristen Republik Indonesia (SGB BOP-KRI), yang baru buka, mau menerima saya walau tanpa ijazah sekolah rakyat. Jadi guru besar yang tidak lulus sekolah dasar itu saya. Selama di sekolah itu, saya keranjingan membaca sastra, seperti roman, cerita pendek, dan drama koleksi Perpustakaan Rakyat. Saat punya uang, saya mencari majalah Minggu Pagi atau koran serta majalah bekas di tukang loak Pasar Beringharjo. Saat kelas tiga SGB, saya menulis cerita pendek dengan nama samaran Putando Rujoyo. Sebanyak enam judul dimuat koran Nasional pada rubrik remaja nasional.

Setelah lulus ujian SGB pada 1956, saya memilih lanjut ke Sekolah Guru Atas (SGA) BOP-KRI. Pilihan naik ke kelas empat SGB untuk bisa langsung menjadi guru sekolah rakyat setelah lulus tidak saya ambil. Minat saya saat itu pada sastra makin menggebu. Di Jefferson Library di Jalan Kranggan, Yogyakarta, saya mulai membaca buku-buku tebal pelajaran sastra bagi siswa Amerika Serikat. Ada beberapa cerita pendek karangan sastrawan dunia. Buku kamus membantu pembacaan. Namun guru bahasa Indonesia membunuh minat saya pada sastra. Dia menilai buruk karangan saya dan mengatakan saya bisa gila kalau terus mengarang.

Saya lulus ujian SGA pada 1959 dengan nilai tinggi untuk pelajaran sejarah dan bahasa Indonesia. Saya berniat masuk ke Universitas Gadjah Mada, tapi niat itu pupus karena ternyata masa kuliahnya lama, sementara lima adik masih membutuhkan biaya. Akhirnya saya memilih pendidikan guru selama tiga tahun dengan gelar sarjana muda di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma, Yogyakarta. Karena jurusan bahasa dan sastra tak ada di sana, saya memilih jurusan sejarah dan lulus pada 1962.

Setelah itu, saya mengajar di Sekolah Menengah Atas Santa Angela, Bandung. Pada pertengahan Agustus 1962, saya naik kereta ke Bandung, berangkat pagi dan tiba pada pukul empat sore. Saat itu Kota Bandung masih sepi. Becak melaju lancar ke Jalan Bayem tempat saya tinggal. Hidup di Bandung cukup sulit karena ekonomi negara waktu itu sedang morat-marit hingga 1965. Tiap hari harga beras yang saya beli di Pasar Cikaso naik. Hidup pas-pasan, berangkat ke sekolah pun saya harus berjalan kaki setelah sepeda raib. Saya melindungi murid dengan mengantar mereka pulang saat pecah kerusuhan pribumi dengan kalangan etnis Cina di Bandung pada 10 Mei 1963.

Saat menjadi guru, saya kuliah lagi di Jurusan Sejarah Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung hingga lulus pada 1970. Saya mendapat gelar guru besar setelah ikut kuliah S-3 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia meskipun tanpa gelar S-2. Bersama Saini KM, saya didesak Anton Moeliono agar kuliah lagi. Saya membayangkan akan ada yang mengejek. Dan benar saja. Orang itu Arswendo Atmowiloto, saat saya bertemu dengan dia di Borobudur Writers & Cultural Festival. “Profesor? Ha-ha-ha….”

ANWAR SISWADI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus