Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarang sekali kita mendengar komandan regu dalam latihan baris-berbaris memberikan aba-aba dengan meneriakkan, “Satu-dua-tiga-empat!” Mungkin penyebabnya—selain tak seirama dengan gerakan kaki dan tangan—aba-aba yang demikian terdengar tak mantap. Lebih dari itu, pegal juga rasanya berpanjang kata. Walhasil, kata-kata itu terkontraksi secara alami menjadi berbunyi, “Tu-wa-ga-pat!” Begitulah, efisiensi kata dalam tuturan lumrah adanya.
Bahasa Indonesia memang multisilabis, bersuku kata banyak. Bahasa kita berbeda dengan bahasa Inggris, misalnya, yang monosilabis. Tak perlu disingkat, “one-two-three-four” dengan sendirinya langsung dikenai satu ketukan pada tiap kata.
Bahasa punya kekuatan mempersatukan, menumbuhkan rasa nasionalisme atau sekurang-kurangnya sukuisme: “Kita bersaudara!” Coba saja beli barang di Glodok memakai bahasa Mandarin, niscaya bakal dimurahin. Jika tinggal di luar negeri, siapa pun akan dengan mudah mendapatkan kawan baru sesama anak bangsa dan berceloteh dengan bahasa yang sama. Dengan bahasa pula rasa kebangsaan kita menjadi puguh, terlebih bahasa Indonesia memiliki nilai sebagai jati diri bangsa yang proses kelahirannya terekam dalam sejarah peradaban bangsa. Indonesia berbeda dengan Amerika, Australia, atau Singapura, misalnya, yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa negara.
Kita tahu, selain mewakili eksistensi bangsa dan negara, Indonesia merupakan nama sebuah bahasa yang mempersatukan 742 bahasa se-Nusantara. Itulah sebabnya disebut bahasa persatuan. Mereduksi bahasa Indonesia menjadi Bahasa saja adalah tindakan sia-sia yang mengaburkan makna, bahkan bisa dianggap tidak berbudaya. Teman-teman saya, penerjemah yang pedantis dan ceriwis soal bahasa, pasti nyinyir jika ditanya, “Do you translate Bahasa?” Mereka bakal menggerundel seraya mengata-ngatai di dalam hati bahwa si penanya bukanlah orang yang berpengetahuan. Saya pun tak luput dari suasana hati yang demikian. Kalau ditanya, mungkin saya juga akan menjawab sekenanya, “Yes, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Madura, and for sure bahasa Indonesia our national language. Tinggal pilih.”
Rasa kebangsaan kita juga bisa tersinggung sejadi-jadinya karena kontraksi kata. Atas nama kehormatan bangsa, pemerintah Indonesia pernah berang sampai-sampai harus melayangkan protes keras berbasis G2G kepada Kerajaan Malaysia. Pasalnya, media dan para pejabat negeri jiran itu dianggap “kurang ajar” dengan mengobral kata Indon, sebutan yang menyiratkan pelecehan rasial terhadap orang Indonesia yang tinggal di Malaysia. Cobalah rasakan manakala kita disebut Indon, apalagi kalau terucap dengan nada tinggi: “Dasar Indon!” Bahkan, sekalipun diucapkan dengan nada rendah, bagi orang waras, ungkapan “Dasar Indon!” tak lain dan tak bukan merupakan perundungan verbal yang secara relatif mengandung pelecehan rasial: “Dasar orang Indonesia (bodoh, jorok, sok tahu, miskin, dan sebagainya).”
Dalam pada itu, kita sering tidak menyadari bahwa faktor penyebab terjadinya kontraksi kata pada bahasa Indonesia bisa jadi justru “multisilabisme” pada bahasa Indonesia itu sendiri. Dalam tulisan saya bertajuk “Lokalisasi Vs Pelokalan” (Kompas, 10 September 2019), saya mencontohkan sebuah peristiwa “kecelakaan bahasa” sehubungan dengan istilah lokalisasi prostitusi yang tereduksi menjadi lokalisasi saja.
Meskipun berdiri sendiri, kata lokalisasi sudah kadung kehilangan kemandirian. Kata ini selalu berasosiasi dengan kompleks pelacuran, yang bermuradif dengan lokalisasi prostitusi. Malah secara tak sengaja kata tersebut sudah menjadi eufemisme baru yang melenceng begitu jauh dari hakikat makna yang sebenarnya, yaitu “upaya melokalisasi atau membatasi suatu kegiatan atau kejadian di lingkungan tertentu”. Misalnya lokalisasi perjudian, lokalisasi kebakaran, lokalisasi wabah kolera, lokalisasi pedagang kaki lima, dan lokalisasi prostitusi. Akibatnya, ketika makna konotatifnya bertabrakan secara frontal dengan istilah modern di bidang teknologi informasi, localization, yang kebetulan muncul belakangan, masyarakat pengguna bahasa tergagap.
Istilah lokalisasi, yang sudah telanjur distigmakan sebagai kata yang “terlarang”, tersingkir. Lalu dipilihlah pelokalan, alih-alih lokalisasi, sebagai satu-satunya kata yang dipakai untuk memadankan localization. Padahal kata lain yang sekelas dengannya—nasionalisasi, regionalisasi, internasionalisasi, dan globalisasi—tak pernah diupayakan untuk dipadankan dengan penasionalan, peregionalan, penginternasionalan, dan pengglobalan. Jadi, secara etimologis, peristiwa ini dapat dikatakan sebagai “kecelakaan bahasa” yang unik sifatnya. *) Penerjemah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo