Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA satu Bambang Trihatmodjo-. Dia adalah pu-tra Soeharto, man-tan- presiden yang kini terbaring sakit. Ada dua Agus-ti-na, orang yang mengisi ke-hi-du-pan dan cinta kasih- Bam-bang. Siapa mereka? Agus-tina pertama adalah Ha-limah Agustina Kamil. Agus-ti-na kedua adalah Agustina Mayangsari.
Halimah akan memasuki usia pernikahan perak- de-ngan Bambang, tahun de-pan-. Anak mantan duta besar Ab-dullah Kamil (almarhum) itu telah memberikan tiga anak bagi Bambang: Gendis Siti- Hat-manti, Bambang Panji A-dikhumoro, dan Bambang A-ditya Trihatmanto. Seba-ga-i pengusaha yang sukses, Ha-li-mah belakangan bergerak di bi-dang sosial.
Mayangsari disebut-sebut telah menikah dengan anak mantan penguasa Orde Baru itu. Ia melahirkan anak perempuan di Rumah Sakit Internasional Bin-taro pada 30 Maret la-lu. Nama sang anak: Khi-rani Siti Hatina Tri-hatmodjo. Sebagai pe-nya-nyi pop, Mayangsa-ri telah melahirkan be-be-ra-pa album. Salah sa-tu hitnya adalah Harus- Malam ini.
Drama Minggu- malam pekan lalu mem-pertemukan du-a Agusti-na dalam po-si-si ber-seberangan. -Mayang-, penyanyi ke-la-hiran Purwokerto pa-da- 23 Agustus 1971, ha-rus- me-nyelinap keluar dari ru-mahnya malam-ma-lam di Ja-lan- Sim-prug Golf XV No 36, Jakarta- Se-la-tan-. Ia berlindung- ke rumah ketua RT, se-te-lah Halimah dan dua a-nak-nya-, juga em-pat- pengawal me-re-ka, melabraknya (baca juga rubrik Kriminal). ”Ini pelajaran paling berharga bagi hidup saya,” kata Mayang, Kamis malam lalu.
Semula Mayang tertutup. Ia tak pernah mengakui punya kedekatan dengan- bos Grup Bimantara itu. Pada April 2002, ia menantang wartawan yang bisa membuktikan hubungannya dengan Bambang Tri dengan uang yang besar. ”Siapa menu-lis ini, saya akan be-rikan Rp 1 mili-ar,” ucapnya.
Dalam konser Ruth Sahanaya pa-da September tahun lalu, anak pesinden itu menghindar da-ri- kejaran war-ta-wan yang hen-dak me-min-ta konfir-ma-si soal ke-hamilannya. ”Ka-lau memang gue ha-mil, siapa dong la-ki gue?” ujarnya. Nah, se-karang ”laki gue” sudah- ke-ta-huan.
Halimah atau akrab dipanggil Baby-, 48 tahun, ber-ke-nalan dengan Bambang sa-at sama-sama menempuh stu-di di Inggris. Perjumpaan i-ni berlanjut ke New York, A-merika, tempat Halimah ber-mukim saat mengikuti- ayah-nya bertugas seba-gai Du-ta Besar Indonesia untuk Per-se-rikatan Bangsa-Bangsa.
Baby pernah dianugerahi Soe-harto penghargaan kare-na- dianggap sukses mengem-bang-kan Gerakan Nasional- O-rang Tua Asuh. Ia ikut meng-gendong Yuliana-Yuli-a-ni, kembar siam asal Tanjung- Pi-nang yang dipi-sahkan pa-da- 1988, saat dititipkan di Pan-ti Asuhan Tiara Putra mi-lik Halimah. Hidung bisnis-nya tak kalah tajam dengan ke-luarga Cendana lain. Ba-by- turut serta membidani ke-la-hiran dua stasiun televisi- per-tama, RCTI dan SCTV. Per-nah pula- berlaga menjadi ju-ru kampanye Golkar pada ak-hir masa jaya Soeharto.
Saat Soeharto- ja-tuh, perem-pu-an ber-darah Minang dan Thailand itu mem-bo-yong- ketiga anaknya ke A-merika Serikat. Mere-ka- tinggal di ru-mah me-wah mere-ka di kawasan elite Bel Air, Los Angeles. Saat itu krisis ekonomi, Bambang Tri pun sibuk membayar utang bisnisnya ke Badan Penyehatan Perbankan Na-si-onal.
Andai kata Soeharto sehat, mungkin ia akan meng-ingatkan Bam-bang- dan Baby perihal- na-sihat pernikahan yang pernah diberikan-nya- pada 24 Oktober 1981. Saat itu Ibu Tien men-yampirkan selembar- sindur, selendang merah putih, ke bahu pengantin Ha-li-mah- dan Bambang. U-pa-cara ngunduh mantu- yang megah itu digelar di Pen-da-pa Agung Sasono Langen Utomo Taman Mini Indonesia Indah. Persis di tempat Gendis, putri sulung mereka, menikah pada April lalu.
Soeharto menjelaskan perlambang itu: ”Artinya isin mundur. Kalian harus- maju terus, pantang mundur. Bulat tekad sehati, tak mudah dipisahkan siapa pun.” Soeharto juga menyebut pisang raja, kelapa gading, dan tebu hitam. Pisang raja melambangkan cita-cita luhur. Tebu berarti anteping kalbu, kemantap-an hati. Sedangkan kelapa gading atau cengkir gading melambangkan kemantapan pikir.
Barangkali nasihat ini melekat terus- di hati Halimah, sehingga ia ”pantang mundur” untuk menemui Bambang, sampai menabrakkan mobil ke pagar rumah Mayang. Adapun Mayang, ”harus malam ini” lari tanpa alas kaki. ”Bagaimana Genduk (anak Mayang), Bu, bagaimana Genduk?” ucap Mayang kepada ibu RT. Ia menangis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo