Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM bulan duduk di kursi panas Menteri Keuangan tak membuat Sri Mulyani Indrawati kehilangan ”pesonanya”. Ia tetap gesit: berpindah dari satu rapat ke rapat yang lain, bertemu pejabat ini dan itu. Menjadi menteri tak membuatnya jadi angker. Ia rajin meng-ucap salam dan melempar senyum.
Meski ramah, ia tak lembek. Di Departemen Keuangan, Ani—begitu ia bia-sa disapa—menggebrak. Ia mengganti Direktur Jenderal Pajak serta Direktur Jenderal Bea dan Cukai—dua pos yang kerap jadi omongan karena banyak terjadi praktek suap dan korupsi. Tak puas hanya menempatkan orang baru, Ani juga kini dibantu bekas Menteri Keuang-an Mar’ie Muhammad dan bekas Jaksa Agung Marsillam Simanjuntak yang diangkat Presiden sebagai ”penasihat” kedua direktorat tadi. ”Penetapan Pre-siden tentang ini sudah turun,” kata Mulyani.
Tapi makin tinggi pohon, angin datang makin kencang. Dua pekan lalu, Ani sempat mencucurkan air mata ketika- dicecar anggota DPR soal keringana-n bea masuk bagi PT Astra Daihatsu Motor dalam impor 2.400 unit kendaraan bermotor dari Malaysia. Menurut Rizal Djalil dan Drajad Wibowo (PAN) dan Rama Pratama (PKS), beleid istimewa itu diberikan karena Tonny Sumartono, suami Mulyani, bekerja di Astra. ”Itu berita sampah,” kata Ani.
Selasa pekan lalu, bekas Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF) itu menerima wartawan Tempo Metta Dharmasaputra, Y. Tomy Aryanto-, Akmal Nasery Basral, Anne L. Handa-yani, Yudha Setiawan, dan fotografer Cheppy A. Muchlis. Bukan di Departemen Keuangan, tapi di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Ini adalah kantor lain Sri Mulyani. ”Saya suka berkantor di sini karena dekat rumah,” katanya.
Dalam balutan blazer campuran warna- hitam putih, Ani hari itu tampak- kurang sehat. Berkali-kali ia minum obat batuk, madu, dan jeruk nipis. Suara-nya pun terdengar serak.
Anda kurang sehat. Berat sekalikah menjadi Menteri Keuangan?
Minggu pertama saya jadi Menteri Keuangan, menjelang 2006, ada permin-taan dari beberapa departemen soal kenaikan gaji, termasuk tunjangan untuk- eselon satu. Saya tanya (sana-sini), ter-hadap permintaan seperti ini (sebaik-nya) bagaimana? Saya diberi tahu buat saja nota dinas, nanti diurus Dirjen Anggaran. Oke, saya tunggu.
Lalu?
Setelah mendapat laporan, saya malah bingung, mengapa di kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Badan Koor-dinasi Penanaman Modal (BKPM), Departemen Keuangan, dan seterusnya, seperti tidak ada standardisasi. Yang ada cuma kalau (gaji) naik, pantasnya sekian atau sekian. Saya bilang ke Pre-siden, ”Kalau begini, saya nyerah jadi Menteri Keuangan. Bapak gajinya 60 (juta), Wakil Presiden gajinya 40, kita-kita (para menteri) 19.” Saya sampai minta daftar gaji pejabat negara. Untuk (mengumpulkan daftar) itu, saja butuh waktu satu bulan. Saya bingung. Gaji pokok semuanya sama, dua juta sekian. Sementara tunjangan bervariasi, ada yang berdasarkan peraturan pemerintah, surat keputusan, atau surat keputusan sekretaris jenderal. Kalau begini- caranya, bisa minta naik gaji sendiri, nggak usah minta Menteri Keuangan. Artinya, ketentuan mengatur gaji pokok itu sudah tidak realistis lagi.
Kemudian?
Kita bikin tim kurang dari sebulan. Mereka bersemangat karena yang menyuruh Menteri Keuangan, yang berarti- ini proyek (rencana kenaikan gaji memang) ada uangnya. Semua tunjangan yang ada lalu diinventarisasi. Tetapi kemudian menjadi sangat sensitif karena tidak seseorang pun yang mau berada pada posisi untuk menentukan apakah gaji harus dinaikkan atau diturunkan. Mestinya ada Komisi Remunerasi Nasio-nal yang independen. Komisi ini yang akan menentukan apakah sistem gaji ki-ta sudah benar. Saya pernah ta-nya ke negara-negara yang lebih berkembang da-ri kita, apakah keputusan untuk- menaik-kan gaji diri sendiri itu boleh. Jawabannya boleh, tetapi untuk admi-nistrasi (pemerintahan) selanjutnya. Kalau untuk diri sendiri pasti ada conflict of interest.
Jadi, Komisi Remunerasi Nasional ini sudah pasti dibentuk?
Presiden sudah setuju. Saat ini kita sedang melihat kebutuhannya seperti apa. Karena kita punya tiga lembaga besar, yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sistem penggajian ketiganya harus ada koneksi. Presiden mengatakan di -ko-misi itu harus ada representasi dari ketiga lembaga, tetapi pekerjaan subtansi-nya dikerjakan oleh para pakar.
Apakah rencana pembentukan komisi ini berkait dengan permintaan kenaikan gaji Presiden beberapa waktu lalu?
Tidak. Itu hanya kembang-kembang. Sejak reformasi kita memang butuh komite independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial. Komisi Remunerasi targetnya terbentuk paling cepat 2007.
Konsep komisi itu Anda ambil dari mana?
Sewaktu Lee Kuan Yew datang ke Indonesia saya tanyakan, ”Jika Anda di posisi Menteri Keuangan, apa yang Anda lakukan?” Dia bilang cari institusi yang strategis, lalu lakukan quick win sehingga orang tahu ada hasil yang cepat terlihat. Saya sampaikan kepada- Presiden bahwa (Direktorat Jende-ral) Pajak dan Bea-Cukai saja skema peng-gajiannya tidak sama. Tidak tinggi sekali, tetapi di atas rata-rata. Mereka- mengatakan cukup nyaman dengan gaji mereka. Setelah itu kita dapat membuat peraturan apa yang boleh dan tidak boleh- mereka lakukan.
Penggantian Dirjen Bea-Cukai dan Pajak untuk menerapkan sistem baru?
Bukan. Sistem itu sudah diterapkan se-belumnya. Ini hanya melanjutkan. Pergantian dirjen itu penyegaran saja.
Kabarnya, pembenahan dua direktorat itu sangat alot? Bekas Menteri Keuang-an Mar’ie Muhammad dan bekas Jaksa Agung Marsillam Simanjuntak kabar-nya sampai dilibatkan?
Nggaklah (tersenyum). Saya pikir Pak Hadi (Purnomo, mantan Dirjen Pajak) dan Pak Eddy (Abdurahman, mantan Dirjen Bea Cukai) adalah the best person di angkatan masing-masing dari sisi leadership. Mereka mampu mengelola dua institusi besar ini.
Tetapi desakan untuk pergantian dua dirjen itu besar sekali?
Itu saya sampaikan kepada mereka berdua. Saya bilang tidak peduli be-rapa giat Anda bekerja, problem kita saat ini adalah tentang citra institusi. Jadi bukan salah mereka berdua. The whole institution bertanggung jawab terhadap- image buruk di masyarakat. Prioritas utama adalah memperbaiki citra. Mudah-mudahan mereka menerimanya dengan legawa.
Bukankah masalah citra berkait erat dengan kinerja?
Kalau ditemukan fakta (penyeleweng-an), yang paling bisa saya andalkan tentu adalah inspektorat saya. Buat menteri yang benar-benar bisa dekat adalah sekjen dan irjen yang memang untuk menjaga sistem yang ada. Di Direktorat- Pajak sudah terbentuk inspektorat in-ves-tigatif dengan supervisi para pakar- Amerika Serikat selama satu tahun. Terpilih 20 orang lewat saringan ketat-. Jika kita ingin memberantas korupsi- dalam pemerintahan, yang perlu diperhatikan adalah masalah penggajian, masalah sistem, dan law enforcement. Nah, sekarang saat kita akan melakukan perombakan di Dirjen Pajak. Ba-nyak yang mengatakan, sekarang banyak- orang tersesat di jalan yang benar, ha-ha-ha....
Apa persisnya tugas dan peran Mar’ie dan Marsillam?
Mereka diminta Presiden untuk membantu Menteri Keuangan dalam mereformasi Ditjen Pajak dan Bea-Cukai.
Hanya untuk dua direktorat itu?
Ya, khusus untuk dua direktorat ter-sebut. Job desk-nya tetap dibuat oleh Menteri Keuangan. Sekarang sedang saya saya pikirkan detailnya. Tapi penetapan presiden (penpres) tentang ini sudah turun beberapa hari lalu.
Mengapa perlu tenaga khusus?
Begini. Saya harus mem-back up se-mua urusan Dirjen Pajak dan Bea-Cukai, padahal saya juga harus memikirkan masalah lain seperti APBN atau membenahi pengelolaan keuangan (treasury), menjaga hubungan keuangan pusat-daerah, dan sebagainya. Jadi idealnya ada orang yang bisa menjadi partner saya, dicintai oleh dirjen bersangkutan, dapat mengambil- bagian untuk mengerjakan tugas harian, dan yang paling penting melakukan reformasi.
Ada tanggapan dari Mari’e dan Marsillam?
Pak Mar’ie menanyakan reformasi seperti apa yang saya inginkan. Ia butuh lampu hijau. Saya bilang, ”Lampu hijau terus, Pak.” Reformasi perpajakan itu macam-macam. Dari penetapan kebijakan pajak, pajak yang flat, hubungan antara pusat dan -daerah mengenai pajak pendapatan, pajak bumi dan bangunan. Itu semua membutuh-kan perlakuan yang berbeda-beda.
Dua nama itu usulan Anda?
Bagaimana, ya? (tersenyum, terdiam sebentar) Presiden menyebut satu nama, saya menyebut satu nama. Jadi, dari kami berdua. Karena negeri ini ba-nyak sekali curiganya, saya bilang- kepada Presiden bahwa- portofolio itu sangat penting. Bapak harus tahu setiap detail yang saya lakukan. Tadinya saya pikir untuk advisor ini cukup- ditetapkan lewat SK Mente-ri Keuang-an saja, tetapi Presiden minta untuk ditetapkan lewat penetap-an presiden.
Anda sangat dipercaya Pre-siden. Kabarnya, hanya Anda yang bisa meyakinkan beliau agar BBM naik?
Itu mitos. Di republik ini terlalu banyak mitos. Saya kira sewaktu Presiden akan membentuk kabinet dan berdiskusi de-ngan Wakil Presiden, strukturnya jelas. Artinya, kalau ada masalah pada seorang menteri, maka menteri itu sendiri yang akan memberikan pandangan. Selain itu Presiden mendapat masukan dari berbagai sumber untuk mengecek apakah pandangan kita akurat atau tidak.
Kabarnya, Anda dan Menteri Koor-dinator Perekonomian Boediono yang -sa-ma-sama dari kalangan akademisi kerap berbeda pandangan dengan Menteri BUMN Sugiharto dan Wakil Presi-den Jusuf Kalla yang pengusaha. Betul-kah?
Itu mitos yang lain lagi.
Dalam penanganan kasus Cemex, hal itu jelas sekali?
Nggak. Soal Cemex sangat mudah di-jelaskan. Saya jelaskan kepada Presi-den bahwa sekarang saya bekerja di bawah Undang-Undang Nomor 17 yang sangat tegas dalam menerangkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Menteri Keuangan. Kita memang sedang da-lam masa transisi, dan karena itu masih banyak ayat (dalam undang-undang) yang dapat diartikan macam-macam.
Misalnya?
Saya (sebagai Menteri Keuangan) tidak bisa berdagang. Jadi, kalau saya membawa kasus Cemex dalam skema dagang, orang tidak akan percaya lagi (kepada pemerintah) sebagai regulator. Undang-undang dibuat untuk (mempertahankan kepercayaan) itu. Tetapi kita punya hak bahwa negara boleh berbisnis lewat BUMN, dan BUMN punya demand tertentu untuk memasuki private sector. Jadi, pertanyaannya adalah bisakah kita sebagai pemerintah tidak bersikap oportunistis. Kita tidak boleh berpikir, misalnya, jika ada keuntung-an bisa nggak kita ubah aturannya. Ini yang mesti dipahami.
Pemerintah tidak membeli karena -tidak ada dananya. Kalau punya, per-soal-annya kan jadi lain?
Sikap Menteri Keuangan dalam hal ini sudah jelas. Semua pembelian, pe-nyer-taan modal, pinjaman, harus ada di APBN. Di APBN saya nggak punya (alokasi). Kalau kita ingin taat asas, levelnya ada di Menteri Negara BUMN. Silakan lakukan exer-cise pada mikro per-usahaan, tetapi saya katakan harus tetap pada aturan yang ada tentang modal. Sikap saya ini diintepretasikan sebagai upaya menghindar. Padahal buat saya kaplingnya harus jelas.
Dalam persoalan utang luar negeri, hubungan Anda dengan Kepala Bappenas Paskah Suzetta tampaknya juga kurang mulus?
Tidak juga. Mungkin hanya di awal masa jabatan. Pak Paskah punya pengalaman sebagai Ketua Komisi XI DPR (Keuang-an dan Perbankan—Red), jadi tahu betul bagaimana menjaga APBN. Sekarang beliau yang memiliki tanggung jawab tentang kinerja pemerintah menge-nai komitmen pinjaman. Kita duduk bersama. Saya katakan jika ingin menyusun APBN, impossible dibedakan antara- Ba-ppenas dan Departemen Ke-uangan. Itu adalah satu kesatuan, mulai dari penyusunan rencana kerja pemerintah, pagu indikatif, pagu sementara.
Tapi Paskah ingin semua utang harus melalui Bappenas lebih dulu?
Ini kan masalah peranan untuk berbagi tugas saja. Impossible jika Menteri Keuangan menjalankan semua otoritas itu sendirian. Berulang kali saya katakan kepada Pak Paskah bahwa kekuatan Bappenas adalah untuk melihat secara mendalam sebuah kebijakan sektoral.
Ini soal lain. Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan pemerintah untuk menaikkan anggaran pendidikan meski APBN sudah dikapling secara ketat. Bagaimana pemecahannya?
Kita sudah memberikan pandangan- -ke-pada semua hakim Mahkamah Konsti-tusi (tentang APBN). Mereka me-ngerti-. Kalau memang ingin anggar-an pendidik-an diubah tetapi APBN tidak berubah, berarti ada anggaran dari departemen lain yang dikurangi. Menurut saya yang terpenting adalah adanya usaha untuk memperbesar anggaran pendidikan setiap tahun. Karena di sisi lain kita harus- menjaga perekonomian seluruh nege-ri ini untuk tetap jalan.
Artinya, keputusan MK itu secara -realistis tidak bisa dipenuhi pemerintah?
Oh, tidak, saya selalu memprioritaskan anggaran untuk pendidikan.
Sri Mulyani Indrawati Lahir: Tanjung Karang, 26 Agustus 1962 Pendidikan:
Karir:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo