TAK ada larangan seniman tampil sebagai presiden. Cekoslovakia punya Presiden Vaclav Havel, dramawan yang juga penulis skenario. Dan kini, di Peru, sebuah negara di Amerika Latin, Mario Vargas Llosa sedang berjuang keras untuk meraih kedudukan tinggi itu. Pemilihan babak pertama sudah dilangsungkan Ahad lalu. Lebih dari sepuluh bulan terakhir ini, Vargas tampil berkampanye, mulai dari pasar ikan sampai ke daerah slum. Dengan pakaiannya yang dandy dan bergaya kota, Vargas bagaikan figur yang aneh di antara kaum miskin Peru dan Indian di Lima. Dan agaknya, tidak mudah bagi Vargas untuk memimpin negeri ini -- kalau ia terpilih. Ia dihadang oleh inflasi yang menjulang, perdagangan obat bius kejahatan, dan pemberontakan oleh inflasi yang menjulang, perdagangan obat bius, kejahatan, dan pemberontakan oleh pengikut Mao yang berbasis di pedalaman yang menyebabkan dua puluh ribu warga Peru tewas dalam sepuluh tahun terakhir. Bahkan, Vargas pun dituduh menggelapkan pajak US$ 40 ribu dari royalti bukunya. Tampaknya, bagi Vargas, menjalankan pemerintahan tak semudah ketika ia menulis novel satire The Real Life of Alejandro Mayta. Tapi, bukankah seniman tak haram jadi presiden sungguhan bukan hanya "Presiden Penyair", misalnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini