Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kenapa mudah beringas

Ada sekelompok masyarakat yang belum menikmati pembangunan. Kesenjangan sosial bisa menimbulkan kecemburuan dan kerusuhan. Beberapa peristiwa huru-hara akibat sara dan kecemburuan sosial.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang terjadi bila pertumbuhan ekonomi tercapai, tetapi pemerataan tak bisa diwujudkan? "Timbul keadaan dari kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, sampai pada gejolak sosial," kata Pak Harto. "Jika gejolak sosial terjadi, pertumbuhan yang sudah dicapai akan hancur. Sampai dengan manusia-manusia pun akan menjadi korban." Keprihatinan terhadap kemungkinan timbulnya kesenjangan sosial itu disampaikan Pak Harto di depan DPR, 4 Januari lalu. Selang dua bulan kemudian, Kepala Negara mengundang 31 pengusaha kakap ke Tapos, dan minta mereka menjual 25% saham perusahaan mereka kepada koperasi. Sasaran Pak Harto untuk menyelaraskan trilogi pembangunan -- pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas nasional -- setelah melihat soal "pemerataan" masih terabaikan. Pak Harto betul. Belum semua lapisan masyarakat memang menikmati hasil pembangunan. Ada sekelompok masyarakat yang tersisih. Yang memastikan adanya kesenjangan sosial, menurut Ketua Eksekutif Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia, Soebijakto, tercermin pada kenyataan bahwa 70% jumlah uang yang beredar di Indonesia dikuasai oleh pengusaha-pengusaha besar. Soebijakto menyoroti fenomena semakin banyaknya orang naik mobil mewah berharga di atas Rp 100 juta, sementara di tempat yang berdekatan masih ada orang yang hidup dari memulung. Perbedaan mencolok itu jelas menggelitik rasa cemburu masyarakat kelompok bawah. Bagi Tuwi, 35 tahun, yang menghuni kawasan kumuh Wonokromo, Surabaya, misalnya, kata "pembangunan" seolah sudah seperti mantera ampuh: gampang diucapkan, tetapi sulit dimengerti. Menurut pemulung asal Malang itu, kata "pembangunan" tampaknya lebih pas buat orang berduit saja. "Kami tak ikut merasakannya. Kami yang miskin ini harus minggir. Malahan disuruh transmigrasi segala," katanya memelas. Tak heran memang kalau mereka yang tersisih itu kemudian mudah "terbakar". Lihat, misalnya, ketika massa tak berkantung tebal jadi beringas karena tak mampu membeli karcis pertunjukan musik Mick Jagger di Senayan, Jakarta, November 1988, yang harganya Rp 25.000 sampai Rp 75.000. Akibatnya, kekacauan dengan cepat meletup (entah siapa yang menyulut) di luar stadion. Hampir 100 mobil mewah rusak ditimpuki massa dengan batu. Sebuah sepeda motor gosong dimakan api. Kalau soal mahalnya karcis jadi penyebab, kenapa pertunjukan musik gratis Iwan Fals juga berakhir dengan kerusuhan? Tanpa ba atau bu, setelah pertunjukan yang tak memungut bayaran itu, tiba-tiba saja penonton yang memadati arena Parkir Timur Senayan, Jakarta, pada Maret 1989 itu mendadak sontak jadi beringas. Mobil-mobil yang berseliweran di Jalan Sudirman, tak jauh dari tempat pertunjukan, jadi sasaran lemparan batu massa. Malam itu, tercatat sekitar 10 mobil sedan ringsek, dan sebuah minibus dijungkirbalikkan. Pemicu lain yang gampang sekali menyulut massa adalah isu pribumi dan non-pribumi. Ketika ada heboh biskuit beracun pada Oktober lalu, di Tegal malah yang berkembang soal kecemburuan sosial terhadap masyarakat keturunan Cina. Untung, petugas keamanan cepat menguasai situasi, sehingga situasi buruk bisa dihindari. Karena masalah rasial, seperti kata Menteri Dalam Negeri Rudini, ibarat bensin tumpah lalu dilempar puntung rokok: gampang menyala. Kebanyakan kerusuhan yang disulut sentimen rasial ini berawal dari masalah sepele. Contohnya. ketika huru-hara rasial menjalar ke beberapa kota di Jawa Tengah, November 1980, ternyata hal itu bermula dari sepeda tiga pelajar SGO (Sekolah Guru Olahraga) Negeri Solo menyerempet seorang pemuda keturunan Cina. Adu mulut kemudian meningkat jadi perkelahian. Lalu pelajar-pelajar SGO lain ikut-ikutan melibatkan diri, dan kemudian ikut-ikutan pula melempari toko-toko milik masyarakat keturunan Cina di sepanjang Jalan Urip Sumohardjo, Solo, tempat kejadian penyerempetan. Huru-hara ini kemudian dengan cepat merebak ke kota lainnya, seperti Semarang dan Kudus. Tak cuma toko-toko yang jadi sasaran amukan, sejumlah kendaraan bermotor juga jadi korban keberingasan. Operasi bis antarkota di Jawa Tengah bahkan sempat mandek dua hari. Gambaran orang selama ini, setiap meletup masalah sentimen, pasti keturunan Cina yang jadi korban. Anggapan itu ternyata keliru. Malah ada warga keturunan Cina yang dilindungi penduduk setempat, seperti dialami oleh penulis cerita silat Asmaraman Sukawati (Kho Ping Hoo), yang menetap di Kampung Metrokusuman, Kelurahan Surodiprajan. Pada waktu massa mengamuk di Pecinan Surodiprajan, sebelah timur Pasar Besar Solo, dan merusak banyak toko serta rumah di kawasan tersebut, kediaman Kho Ping Hoo malah tak diapa-apakan. Kiatnya? Ternyata Kho Ping Hoo selama ini sudah dikenal sebagai tokoh yang dianggap sukses dalam membaurkan diri dengan masyarakat setempat. Dua putrinya, misalnya, menikah dengan penduduk setempat. Kho, penulis cerita silat yang kondang itu, memang punya kritik terhadap sebagian rekannya. "Dari pihak keturunan Cina memang masih ada kelompok yang merasa super dan berlaku berlebihan dengan kemewahannya," katanya. Kota Ujungpandang juga pernah dilanda kerusuhan berbau rasial pada April 1980. Penyulut kerusuhan ini (tak jelas siapa yang mula-mula meniupkannya) karena beredarnya berita meninggalnya Suharti, seorang pembantu rumah tangga yang bekerja pada keluarga keturunan Cina, yang diembuskan tewas karena dianiaya sang majikan. Kabar ini dengan cepat tersiar ke penjuru kota. Massa kemudian mengamuk, dan tercatat lebih dari 1.000 rumah dan toko hancur. Soal pembantu yang dianiaya memang ampuh menjadi alat pemersatu kelompok masyarakat bawah. Mereka jadi beringas terhadap kelompok "orang berpunya" karena dianggap mewakili sang majikan yang sewenang-wenang itu. Ketika meletus kerusuhan rasial yang dikenal dengan "Kasus Kapasan" di Surabaya, September 1986, lagi itu bermula dari tersiarnya kabar pembantu disiksa. Kerusuhan rasial, menurut sejarawan Onghokham, sudah melanda kota-kota di pesisir utara Pulau Jawa pada abad XV-XVI. Pada masa itu muncul kelas pedagang yang sebelumnya tak dikenal oleh masyarakat Indonesia yang agraris. "Budaya agraris sangat anti terhadap kaum pedagang yang dianggap kikir dan suka menipu," kata Ong. Maka, setiap ada pemberontakan rakyat, sudah lazim kalau yang jadi korban adalah kelompok pedagang yang dianggap lebih kaya. Kelompok pedagang umumnya kaum pendatang. Semangat berwiraswasta ini memang secara turun-temurun sudah menjadi bagian hidup orang-orang keturunan Cina. Mereka jadi perantara bagi petani yang ingin menjual hasil panen. Tak heran kalau sasaran kecemburuan sosial menimpa warga keturunan Cina. "Kecemburuan sosial memang ada dalam masyarakat kita. Tapi bukan merupakan tradisi masyarakat Indonesia," ujar Parsudi Suparlan, ahli antropologi sosial. Ini karena adanya jastifikasi dalam kesenjangan sosial yang ada pada masyarakat Indonesia, yang sebagian masih berakar pada tradisi keraton. Lihat saja, misalnya, para abdi dalem yang cuma digaji Rp 5.000 perbulan, toh mereka tetap loyal kepada raja, yang kondisi ekonominya jauh lebih baik. "Karena adanya jastifikasi kesenjangan sosial, maka kecemburuan sosial tidak terjadi," tambah Parsudi. Sampai kapan jastifikasi kesenjangan sosial itu dapat terus bertahan? Apalagi dengan adanya sejumlah kenyataan yang diungkapkan oleh Onghokham, "kayaknya kita ini punya peraturan anti-orang miskin. Lihat saja penghapusan pedagang asongan, becak, penggusuran pedagang kaki lima," katanya. "Hal ini justru bakal memperta-jam kecemburuan sosial." Tentang kiat untuk menghindari konflik sosial itu, menurut Ong, "Selama stabilitas politik mantap, kecemburuan sosial tidak akan membahayakan," kata Ong. Ahmed K. Soeriawidjaja, Heddy Lugito

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus