"PEKERJAAN rumah" yang diberikan Presiden Soeharto kepada para pengusaha sungguh berat. Tak banyak yang tahu bahwa mereka berkali-kali berapat. "Terus terang, kami bingung dan pusing. Banyak yang masih belum biasa," tutur salah seorang bos konglomerat. Para pengusaha yang hadir hampir semuanya memang memimpin perusahaan keluarga. Mereka jarang harus berpikir tentang pembagian deviden. Inilah rentetan kerepotan itu: Sabtu, 3 Maret 1990. Mereka berkumpul di kantor Liem Sioe Liong, Wisma Indocement, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Di sini mereka mencari kata sepakat untuk menjawab permintaan Pak Harto keesokan harinya, agar menjual sebagian saham perusahaan mereka kepada koperasi. Meski kebanyakan mengeluh, tercapai juga kesepakatan: setuju menjual saham, tapi secara bertahap. Minggu, 4 Maret 1990. Ke-31 pengusaha yang tergabung dalam Yayasan Prasetiya Mulya itu bertemu dengan Presiden di Tapos, Bogor. Kamis, 8 Maret 1990. Rapat pertama untuk membahas pelaksanaan penjualan saham itu tertunda. Liem Sioe Liong, sebagai sesepuh dan tuan rumah, sakit flu. Senin, 12 Maret 1990. Pertemuan akhirnya terlaksana. Tempat: Wisma Indocement. Di sini mereka sepakat untuk menyelesaikan masalah intern dulu sebelum menjual saham. Misalnya menyelenggarakan rapat umum pemegang saham. Kamis, 22 Maret 1990. Sekali lagi rapat di Wisma Indocement. Kali ini ada hasil yang lebih konkret. Semua pengusaha diminta mengumpulkan surat penawaran, paling telat tanggal 29 Maret. Surat yang dimaksud sudah menyebut dengan rinci berapa jumlah saham yang akan dijual dan berapa harganya. Kabarnya, pekan sebelumnya Liem Sioe Liong mengirim surat kepada Presiden. Ia menawarkan penjualan saham PT Unggul Indah Corporation dan Indocement dengan harga pasar. Surat inilah yang dijadikan model pengusaha yang lain. Ada juga surat serupa dari Eka Tjipta Wijaya (PT Sinar Mas), Usman Admajaya (Bank Danamon), dan Prayogo Pangestu (Barito Pacific). Sementara itu, "bola salju" di luar terus menggelinding. Sebagian pengusaha malah sudah mulai mengumumkan langkah-langkah mendahului yang lain. William Soeryadjaya, Presiden Komisaris PT Astra International, mendadak menghibahkan dua juta saham pribadi senilai Rp 37,5 milyar. Kejutan besar untuk yang masih berkutat dengan angka-angka. Kamis, 29 Maret 1990. Kembali para bos konglomerat berkumpul di Wisma Indocement. Malam itu, Mensesneg Moerdiono muncul di TVRI. Ia menjelaskan bahwa model hibah seperti dilakukan Willem kurang pas dengan tujuan pemerintah untuk mengembangkan koperasi. Suasana jadi galau. Para pengusaha makin bingung harus berbuat apa. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menghadap lima menteri mencari petunjuk. Menko Ekuin Radius Prawiro. Menkeu Sumarlin, Mensesneg Moerdiono, Menteri Perindustrian Hartarto, dan Menteri Koperasi Bustanil Arifin. Tentu saja untuk melobi kiri-kanan dan menghadap menteri mereka tidak berbondong-bondong. Dibentuklah tim kecil yang beranggotakan 10 pengusaha: Liem, Sofyan Wanandi (PT Pakarti Yoga). Ciputra (PT Pembangunan Jaya), The Nien King (PT Daya Manunggal), Usman Admajaya, Kaharudin Ongko (Bank Umum Nasional), Dasuki Angkosubroto (Gunung Sewu Group), Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group), Mintardjo Halim (Sandratex), dan Theodore P. Rachmat (Astra). Sabtu, 31 Maret 1990. Tim 10 bertemu dengan Menteri Hartarto. Mereka juga berbicara dengan Menko Ekuin dan Mensesneg, yang disambung dengan pertemuan dengan Menkeu, Selasa 3 April 1990. Keesokan harinya, Rabu 4 April, mereka berkunjung ke Bustanil Arifin di kantornya. Rabu, 4 April 1990. Sampailah mereka pada keputusan untuk mengumumkan siapa saja yang akan menjual saham. Kesepakatan tentang tata caranya juga telah didapat. Inilah yang diumumkan di Departemen Perindustrian esok malamnya. Seperti biasa, langkah itu diputuskan di "markas besar" Wisma Indocement.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini