DARI wajah-wajah cerah para bos konglomerat yang hadir pada pertemuan Kamis malam pekan lalu itu, tampaknya mereka lega. Akhirnya di Departemen Perindustrian, pada pertemuan antara Kadin dan para pengusaha itu berhasil juga mereka mengumumkan niat untuk menjual saham kepada koperasi. Inilah jawaban para taipan itu terhadap imbauan yang dilakukan Presiden Soeharto 4 Maret lalu di Tapos, Bogor. Untuk sementara, tercatat 33 perusahaan yang siap mengalokasikan saham senilai Rp 167,2 milyar. "Saya yakin, yang lain akan makin banyak menyusul," kata Sofyan Wanandi, bos kelompok Pakarti Yoga dan Gemala, yang belakangan sering dianggap sebagai juru bicara pihak konglomerat. Sejak ide itu menggelinding, banyak hal yang terjadi. Para pengusaha itu bahkan dianggap lamban. Tak kurang dari Menteri Koperasi Bustanil Arifin yang bersuara keras di koran. Kita bukan mengemis," katanya. Sampai tanggal 20 Maret, lebih dari dua pekan setelah imbauan dilontarkan, belum satu pun surat jawaban yang masuk ke kantor Bustanil. Buat para konglomerat, soalnya lain lagi. Sebagai orang bisnis, jelas mereka tak lepas dari perhitungan teknis dan untung rugi. "Mestinya orang bisa lebih sabar. Soalnya, harus ada rapat umum pemegang saham dan sebagainya. Belum lagi kalau pemegang saham lainnya di luar negeri," kata seorang taipan. Yang jelas, mereka memang pusing tujuh keliling. Serangkaian rapat bolak-balik diadakan di Wisma Indocement untuk membicarakan soal itu (lihat Hari-Hari setelah Tapos). Lambannya respons dari para taipan ini ternyata tak cuma mengundang tanggapan Menteri Koperasi. Seorang petinggi negara, yang tahu persis bahwa para bos itu sibuk membahas, mencoba mengimbau dengan cara lain. "Ini kesempatan buat pengusaha menunjukkan itikad baiknya. Jadi, cobalah menyederhanakan soal. Jangan tenggelam dalam masalah teknis," katanya di depan pertemuan terbatas dengan pengusaha pekan lalu. Di luar gerendeng para pejabat, muncul pula suara lain dari kalangan politikus. Ada ide dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang dicetuskan oleh ketuanya, Ahdurrahman Wahid, untuk mengadakan suatu dialog nasional antara konglomerat dan para pengusaha kecil. "Untuk mengajak orang lebih banyak memperhatikan kesenjangan sosial antara golongan kaya dan miskin," katanya. Ide ini memang menimbulkan pro dan kontra, termasuk di kalangan pejabat. Tetapi, bagi kelompok konglomerat, akibatnya hanya kekhawatiran yang semakin besar. Buat mereka, pembicaraan politis lebih baik dihindari. Padahal, menurut Harry Tjan Silalahi, Wakil Ketua Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayat Kesatuan Bangsa), persoalan penjualan saham kepada koperasi ini memang masalah politis. "Menjawabnya harus secara politis juga," katanya. Dalam kaca mata Harry, sekarang ini pengusaha harus menunjukkan tanggung jawab politisnya sebagai warga negara Indonesia. Ia mengibaratkan para konglomerat itu sebagai orang yang sedang ditanya, apakah ia bersedia mati jika negara ini diserang "Tanpa berpikir panjang, jawabnya harus 'ya'," kata Harry. Di tengah suasana seperti ini, para bos konglomerat mau tak mau harus segera membuat keputusan. Dari sinilah akhirnya lahir ide untuk mengadakan sebuah forum Kadin, yang bisa dijadikan ajang untuk mengumumkan langkah kongkret konglomerat. Buat para pengusaha itu, keterlibatan Kadin sangat diperlukan untuk mengurangi "beban psikologis" jika para pengusaha yang diundang ke Tapos itu membuat acara sendiri untuk mengumumkan keputusan mereka. Pertimbangannya, hampir semua pengusaha yang datang adalah golongan keturunan Cina. "Nanti bisa dianggap eksklusif," kata seorang pengusaha. Maka, Kamis malam minggu lalu, di Aula Departemen Perindustrian berkumpul sekitar 250 undangan. Ada Menko Ekuin Radius Prawiro, Menteri Koperasi Bustanil Arifin, Menteri Perdagangan Arifin Siregar, tuan rumah Menteri Perindustrian Hartarto, dan Gubernur Bank Indonesia Adrianus Mooy. Suasana lalu jadi ramai seperti kondangan. Acara menjadi semakin semarak ketika Probosutedjo, pengusaha yang pernah menjadi calon ketua Kadin, tampil berbicara di mimbar. "Kesenjangan sosial memang betul-betul terjadi. Bukan dibuat-buat," kata Probo. Dengan adanya kesenjangan sosial seperti itu, muncul kecemburuan sosial. "Yang dicemburui adalah pengusaha-pengusaha besar. Saya pun dicemburui." Probosutedjo juga menyinggung kemungkinan terjadinya gejolak sosial jika kecemburuan itu tidak diatasi. "Tak ada yang bisa membendung," tuturnya. Dari pihak konglomerat, suara yang muncul tak kurang menariknya. "Kami tak akan lari ke luar negeri. Indonesialah yang membesarkan kita," kata Sofyan Wanandi, yang juga mengundang tepuk tangan. Maka, dengan tegas ia menyebut tak perlu lagi ada dialog nasional tentang soal ini. Toh pihak konglomerat juga sudah kongkret melangkah. Untuk membantu koperasi membeli saham, mereka siap membantu dengan pinjaman bebas bunga. Harga pun dipasang di bawah harga penawaran saat go public meski masih di atas harga nominal yang Rp 1.000 itu. "Kalau harus berdialog dengan bahasa-bahasa politik, nanti susah," kata Sofyan. Para konglomerat, disadari atau tidak, tampaknya sudah berpolitik pula. Yopie Hidayat & Herry Mohammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini