TAK hanya para penumpang Tampomas. Kadapol IV Riau Brigjen
(Pol) Haji Hudioro, 51 tahun, bersama 10 orang lain, juga
mengalami kecelakaan laut yang nyaris mengubur mereka, 22
Januari lalu. Perahu motor yang mereka tumpangi terbalik dan
tenggelam di kaki Laut Cina Selatan.
Dengan hanya 3 buah pelampung, ke-11 orang itu berpegangan badan
perahu yang masih tersembul -- sekitar 4« jam dalam gelap. Mereka
berangkat dari Pulau Galang meuju Tanjung Pinang pukul 18, dan
musibah datang 20 menit kemudian.
Pukul 21, sebuah tanker lewat. Mereka berteriak "Help, tolong.
help . . . ! " Tanker berhenti. Namun karena jarak cukup jauh,
hampir satu jam awak kapal tak bisa menemukan para korban. Kapal
berlalu. Kapten Bambang, anak buah Hudioro, mengejar. Tapi
sia-sia, tentu saja -- malah ia terpisah dari kawan-kawannya.
Barulah satu jam kemudian mereka ditolong sebuah tanker
Pertamina -- setelah teriakan mereka diterima oleh eekor
anjing di geladak kapal yang kemudian melolong.
"Sungguh suatu mujizat," ujar Hudioro mengenang. Soalnya juga
karena tanker Delima 117 tersebut seharusnya tak lewat tempat
itu. Begitu dinaikkan ke dek C dan Hudioro adalah orang terakhir
yang ditemukan, Kadapol itu lantas bersujud syukur sambil
menangis. Kemudian rombongan itu (termasuk antara lain Konsul
Malaysia di Medan, Encik Ghazali, yang luka dahinya ketika
dilempari pelampung), mengumpulkan seluruh uang yang ada dan
memberikannya pada awak kapal -- sebagai "sedekah keagamaan",
bukan imbalan. Jumlahnya Rp 400 ribu -- dan mula-mula ditolak
Kapten kapal, Abudin Fatah, 22 tahun -- yang ketika menolong
mengira mereka para nelayan biasa.
Sementara itu para hadirin yang hendak bertatap muka dengan
Kadapol di Tanjung Pinang, menunggu sampai pukul 20. Kemudian
perintah pencarian dikeluarkan oleh Pangdaeral sendiri --
meliputi tim SAR, Polisi Perairan/AL dan Bea & Cukai. Tapi
gagal, padahal ke-11 orang malang itu melihat mereka. "Laut
benar-benar berbuncah, dan terpaan gelombang menutupi cahaya
lampu suar yang mencari kami," tutur Kadapol kepala TEMPO.
Hudioro sendiri sudah ketiga kalinya "masuk air". Pertama di
Sungai Kapuas, 1968 kedua di Sungai Siak -- baru awal Desember
kemarin. Karena itulah agaknya, ketika rombongan sampai di
Pakanbaru (dari Tanjung Pinang), 23 Januari, di tengah sambutan
yang riuh, orang di sana merasa perlu bikin upacara tepung tawar
dan tolak bala segala. Hudioro sendiri menangis dalam pelukan
istrinya di Lapangan Udara Simpang Tiga.
Tapi kapokkah ia? "Tidak. Asal perahunya dilengkapi pelampung
yang cukup."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini