Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Lakon Sang Pengarang 'Penakut'

JEJAK pengarang serba bisa yang 11 April lalu genap 70 tahun ini terserak di mana-mana. Putu Wijaya aktif sebagai sastrawan, jurnalis, penulis cerita pendek, pegiat teater, dan terakhir pelukis. Sepanjang hidupnya, ia membuat setidaknya 30 novel, 40 lakon drama, ratusan naskah sinetron, dan ribuan cerita pendek. Di usia senja, "penemu" kata "dangdut" ini masih aktif menulis dan menyutradarai pertunjukan teater. Deraan stroke yang membuatnya terbaring di rumah sakit pun tak menghambatnya untuk tetap berkarya.

Untuk merayakan ulang tahunnya, serangkaian kegiatan digelar. Lakon Bila Malam Bertambah Malam, Hah, dan Jepret! dimainkan di Teater Salihara oleh kelompok Teater Mandiri. Lukisannya dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Di Galeri Indonesia Kaya digelar lomba monolog dan pembacaan puisi karyanya. Sebuah buku biografi pun akan diterbitkan. Putu konsisten terhadap tema yang diusungnya sejak awal berkarya: bertolak dari yang ada dan teror mental. Kepada Ananda Badudu dari Tempo, I Gusti Ngurah Putu Wijaya bercerita panjang-lebar soal hidupnya, termasuk soal stroke yang belakangan dideritanya.

14 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GURU-guru di Sekolah Rakyat dulu keras dan berdisiplin tinggi. Mereka selalu membawa stik rotan untuk memukul murid yang nakal. Kalau belum bunyi bel, tidak ada siswa yang berani keluar dari kelas. Ketika duduk di kelas III Sekolah Rakyat, Tabanan, Bali, saya pernah tak sengaja berak di celana karena takut minta izin ke luar kelas. Tidak ada yang tahu saya berak di celana, hanya baunya yang menyebar di kelas.

Kejadian itu baru ketahuan ketika saya pulang ke rumah. Ibu saya membersihkan celana dan melihat ada kotoran di sana. Saya pernah membuat cerita pendek yang diangkat dari kejadian itu. Judulnya Bekas Guruku. Nama guru yang galak itu pun saya lupa. Suatu kali, setelah duduk di sekolah menengah atas, saya pernah menyapanya ketika berpapasan di jalan, tapi dia tidak sadar. Sepertinya dia lupa kepada saya.

Cerpen Bekas Guruku dibuat saat saya SMA dan dimuat di harian Suluh Indonesia (sekarang Bali Pos). Sebelumnya, cerpen berjudul Etsa juga dimuat di harian yang sama. Cerpen itu bercerita tentang laki-laki yang menyatakan cintanya kepada seorang perempuan. Perempuan itu bilang tunggu, akan menjawab setelah ujian sekolah. Tapi, setelah ujian, si perempuan mengatakan cinta agar laki-laki itu tidak sakit hati saja.

Dimuatnya dua cerpen itu membesarkan hati saya untuk terus menulis. Dulu, sewaktu muda, saya sering mengirim tulisan, tapi selalu ditolak. Baru ketika saya masuk SMA-A Singaraja, tulisan-tulisan saya mulai dimuat.

Cerpen saya sering juga dimuat di harian lain, misalnya di koran lokal Fajar Menyingsing dan Mimbar Indonesia. Ada yang berjudul Sate. Cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan yang diminta ibunya membeli sesuatu. Tapi, di jalan, uangnya hilang. Dia kemudian menjajakan barang milik orang sampai mendapatkan kembali uangnya. Di jalan, ia bertemu dengan kakaknya, dan sang kakak terharu oleh perbuatan adiknya.

Ada juga cerpen berjudul Pencandu, tentang kakek yang dilarang mengisap candu. Ketika si kakek berhenti menggunakan candu, cicak-cicak di atas kamarnya jatuh ke bawah. Cicak-cicak itu sudah terbiasa mengisap candu, opium yang dibakar. Itu diambil dari kisah nyata.

Saya terdorong menulis karena senang membaca. Di Tabanan, saya tinggal di Puri Anom. Kompleks itu bisa dibagi tiga: bagian timur, tengah, dan barat. Ada 200 orang tinggal di sana. Semua orang di keluarga suka membaca. Pada saat saya kecil, penerbitan di Bali sedikit sekali, hanya ada satu surat kabar. Penerbitan yang populer hanya Balai Pustaka. Buku pun mahal dan sedikit yang punya. Yang banyak saya baca adalah buku terjemahan. Saya suka kisah Tom Sawyer karangan Mark Twain, juga serial Winnetou karangan Karl May. Saya ingin jadi penulis, membuat cerita seperti yang saya baca.

Ketika SMA, saya membuat lakon pertama berjudul Bila Malam Bertambah Malam. Cerita itu saya dedikasikan untuk Nelly, pacar yang berbeda kasta dengan saya. Saya khawatir kasta akan jadi masalah dalam hubungan kami. Perempuan itu takut kalau kawin dengan orang berkasta tinggi akan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua di puri. Dulu kamar mandi saja dibedakan menurut kasta.

Pada waktu itu sekolah saya mengundang sutradara berpengalaman, Kirjomulyo, mementaskan lakon Badak karya Anton Chekhov. Setelah dia pergi, saya mencoba menyutradarai. Insting menyutradarai saya terbawa sejak SMA. Saya punya ambisi ingin bisa main, menulis lakon, dan menyutradarai. Semua saya lakukan. Pada 1964, lakon saya yang pertama, Bila Malam Bertambah Malam, dimainkan di Bali.

Saya pindah ke Yogyakarta, kuliah di tiga tempat: Jurusan Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belajar melukis di Akademi Seni Rupa Indonesia, serta berkuliah di Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (Asdrafi). Jadwal kuliah tidak terlampau padat, jadi saya bisa mengambil tiga sekaligus. Saya tidak suka belajar melukis di akademi karena terlalu banyak peraturan. Akhirnya saya keluar. Di Asdrafi, saya juga merasa tidak mendapat apa-apa.

Saya lulus dari UGM pada 1969. Setelah lulus, saya beberapa kali bermain bersama Bengkel Teater. Saya ikut mendirikan Bengkel bersama W.S. Rendra dan kawan-kawan. Pernah saya dituduh membuat pertunjukan teater mirip pertunjukan Rendra. Padahal saya belum pernah nonton Rendra. Asdrafi dengan Bengkel dulu bermusuhan. Sepulang Rendra dari Amerika, saya dengar dia bikin latihan rutin dan katanya bagus. Saya mencoba ikut.

Sewaktu di tempat Rendra, saya ingin belajar. Saya ingin mendapat sesuatu dari dia. Ada lima hal yang saya pelajari dari Rendra. Pertama, dia mengajari saya untuk mempertimbangkan tradisi. Artinya, tradisi tidak otomatis diterima sebagai keharusan, tapi sebagai suatu hal yang dipertimbangkan saja. Itulah sebabnya dia pernah berkata bahwa kebudayaan Jawa adalah kebudayaan kasur tua. Yang kedua adalah kegagahan dalam kemiskinan. Walaupun hidup susah, bisa tetap gagah.

Ketiga, keberanian melawan. Orang itu kan tidak ada takut-takutnya. Bahkan hantu-hantu pun ditantang oleh Rendra. Dulu Taman Ismail Marzuki agak angker. Suatu kali kami main di sana dan banyak yang kesurupan. Saya melihat dia berdiri dan menantang roh-roh yang ada di sana.

Keempat, pantang menyerah. Dan kelima adalah sudut pandang baru. Segala sesuatu harus dilihat dengan sudut pandang baru. Apakah Rendra secara sadar mengajarkan itu, saya tidak tahu. Tapi itulah yang saya pelajari dari dia. Saya mengagumi karya-karya Rendra, tapi kehidupan pribadinya bukan panutan saya. Saya memisahkan antara dia dan karya-karyanya. Saya menjadikan karyanya sebagai panutan, tapi pribadinya tidak karena banyak yang tak sejalan dengan saya.

Dua tahun setelah lulus dari UGM, saya pindah ke Jakarta. Saya menjadikan menulis sebagai profesi. Tapi saya sadar tak bisa hidup dari buku. Dari dulu sampai sekarang pun seperti itu. Cetak 5.000 buku, dalam 10 tahun belum tentu habis. Upah tulisan pun sedikit sekali dan belum tentu setiap pekan tulisan dimuat. Tapi itu tak menjadi masalah. Saya bisa hidup dari tempat lain. Untuk menghidupi anak dan mengirim uang kepada orang tua, saya bekerja sebagai wartawan.

1 1 1

KARIER jurnalistik Putu dimulai di majalah Ekspress. Hanya setahun ia di sana, majalah itu bubar. Seterusnya, ia ikut Goenawan Mohamad mendirikan majalah Tempo. Di sana Putu menjadi redaktur bidang olahraga, musik, dan seni. Pada dua tahun pertama bekerja, ia kerap tidur di kantor. Di kursi atau meja pun jadi.

Tepat deadline adalah prinsip Putu saat menjadi wartawan. Bagaimanapun, hatinya ada di dunia mengarang dan teater. Di sela-sela pekerjaan, ia masih menulis cerpen dan lakon, berlatih teater, bahkan main film layar lebar. "Supaya kegiatan saya tidak dilarang atasan, saya tidak pernah telat deadline," katanya. "Dengan begitu, atasan tidak punya alasan untuk memecat saya."

Di majalah Tempo edisi 27 Mei 1972, Putu menggunakan kata "dangdut" untuk melukiskan irama lagu Boneka dari India yang dinyanyikan Ellya Khadam. Konon itulah pertama kali kata "dangdut" digunakan. Hingga kini kata ciptaan Putu itu digunakan untuk melukiskan musik irama padang pasir yang dipadu dengan warna lagu India.

Putu mengaku tak terlalu suka berita keras. Ketika Tempo membuka majalah Zaman, ia serta-merta menawarkan diri menjadi redaktur pelaksana. "Saya sudah malas menulis berita," ujarnya. Majalah itu membahas ihwal kebudayaan, sastra, musik, dan seni. Zaman akhirnya ditutup pada 1985.

Sepanjang kariernya di Tempo (1971-1979) dan Zaman (1979-1985), Putu kerap meminta izin mengikuti program pendidikan di luar negeri. Pada 1973, ia mendapat beasiswa belajar drama di Jepang. Pada 1974, selama tiga tahun ia mengikuti International Writing Program di Amerika Serikat. Pada 1971, ia mendirikan Teater Mandiri, mengajak karyawan dan wartawan Tempo bermain teater. Teater Mandiri masih aktif mentas hingga kini.

1 1 1

DI Tempo, saya hanya numpang cari makan. Saya punya kebanggaan lain: mengejar teater. Awal mula di Tempo, saya digaji Rp 2.500, lalu naik Rp 7.500, kemudian Rp 12.500, dan naik lagi hingga Rp 22.500. Saya keluar dengan gaji Rp 1,3 juta. Pendapatan itu cukup untuk membiayai kehidupan dibandingkan dengan upah tulisan yang dimuat, Rp 2.000 sepekan. Itu pun belum ada jaminan tulisan saya dimuat setiap pekan.

Saya tidak bercita-cita menjadi wartawan. Inginnya jadi pengarang saja. Saya merasa tidak bisa melakukan investigasi. Tidak mampu. Ngobrol sama orang di bawah jembatan, saya bisa. Tapi, kalau ketemu pejabat, saya tidak bisa. Kalau saya jadi wartawan lapangan, pasti pekerjaan akan terlambat. Sebab, saya tidak ada waktu. Selesai pekerjaan wartawan, saya inginnya segera berlatih teater.

Di kantor Tempo di Senen Raya, setelah selesai jam kerja, kalau semua sudah pulang, kami berlatih teater. Di gedung berlantai dua itu saya mengadakan latihan gerak di lantai bawah. Mula-mula yang ikut hanya para pegawai yang tidur di kantor, seperti Syubah A'sa, Ali Said, Sutarno, Mustafa, dan Zubaidi serta Etu Asa. Lakon pertama kami dipentaskan di televisi, judulnya Orang-orang Mandiri. Orang Tempo pada saat itu banyak yang dari seni rupa.

Di Teater Mandiri, saya mengajak siapa pun yang mau ikut serta. Di sana mereka menjadi diri sendiri. Mereka bukan orang-orang pilihan. Ada tukang sapu, tukang ojek, bahkan ada juga yang pencuri. Mereka bisa main di tempat saya. Ali Said semula orangnya gagap. Ia sering ditertawakan karena, kalau bicara satu hal, orang mesti menunggu lama. Di Teater Mandiri, saya yakinkan bahwa dia bisa bermain. Saya katakan: "Kamu pasti bisa." Dan ternyata dia bisa bermain. Setelah itu, Ali tidak gagap lagi.

Ada masanya Teater Mandiri berlatih di Taman Ismail Marzuki. Kami berlatih pukul 12 malam agar tidak ada yang beralasan pergi ke tempat lain. Dulu sepeda motor saya skuter. Lampu motor itulah yang jadi penerangan. Setelah empat bulan, rasanya kelompok ini siap bermain. Pada 1975, kami mementaskan lakon LHO tiga hari berturut-turut di teater arena TIM. Lakon itu tanpa naskah dan dialog.

Pada bagian akhir, saya bawa pemain keluar membuat adegan di kolam. Beberapa pemain jongkok di kolam sambil berbicara masalah politik. Sebagian lagi saya minta bertelanjang bulat masuk ke gerobak. Gerobak itu ditarik mendekati kolam, lalu orang-orang yang telanjang jatuh kecemplung seperti sampah. Rupanya, pada saat bersamaan, di TIM sedang ada pertunjukan opera. Ketika adegan telanjang itu, opera baru selesai dan penontonnya keluar. Di antara mereka ada yang membawa kamera dan menjepret adegan telanjang itu. Ada fotonya, kelihatan telanjang memang.

Foto itu dilaporkan ke Dewan Kesenian, seterusnya dilaporkan ke Gubernur Ali Sadikin. Beberapa hari kemudian, Ali Sadikin marah. Saya dipanggil ke Komdak (sekarang Kepolisian Daerah Metro Jaya) untuk disidik. Di sana saya dicegat wartawan. Dia bertanya apa tanggapan saya atas amarah Ali Sadikin. Saya bilang, seandainya saya Ali Sadikin, saya akan berbuat sama. Saya akan maki-maki Putu Wijaya. Dan wawancara itu dimuat. Di kantor polisi, saya ditanya-tanya. Penyidiknya tidak tahu apa-apa, saya bersabar saja menjawab pertanyaannya.

Belakangan, saya dengar ada orang melaporkan jawaban saya kepada Ali Sadikin, dan dia senang sekali. Mengapa? Sebab, Ali Sadikin marah kepada saya karena takut nanti TIM diawasi oleh pemerintah. Pada waktu itu TIM tidak diawasi pemerintah. Di sana bebas. Ali Sadikin takut kalau TIM akan dicari-cari kesalahannya. Jadi dia lebih dulu marah besar. Dia tunjukkan amarah itu, sehingga yang lain tak usah ikut-ikutan marah.

Setelah kejadian itu, TIM diawasi aparat. Naskah yang akan dipentaskan dibaca dulu. Dewan Kesenian sempat ikut-ikutan memeriksa, tapi itu hanya pura-pura. Tak berapa lama, TIM kembali bebas, tak diawasi. Pengawasan itu hanya hangat-hangat tahi ayam. Biasalah.

LHO sebenarnya lakon imajinatif, tentang kekerasan. Adegan telanjang itu artistik saja, tidak ditujukan untuk mengkritik pemerintah. Saya tidak pernah frontal mengkritik pemerintah. Karena itu, saya tidak pernah berhubungan dengan pemerintah dan aparat. Mereka tidak tahu apa yang saya kerjakan.

Saya kan penakut. Pernah suatu kali ada tentara datang ke kantor majalah Zaman, saya lari keluar karena ketakutan. Ternyata tentara itu ingin mengundang saya menjadi juri lomba pembacaan puisi. Saya berpikir jangan sampai saya disentuh aparat karena saya takut dipenjara.

Saya tidak berani frontal. Jangankan pemerintah, tetangga saja kalau kita berbuat tidak enak kan bisa marah. Berbeda kalau kita bikin lakon yang lucu. Tidak pernah ada protes atas karya-karya saya. Sampai sekarang tidak ada yang marah kepada karya saya. Ada yang berpikiran, dengan cara kerja seperti ini, saya tidak akan pernah jadi pahlawan. Saya memang tidak ingin menjadi pahlawan. Ada juga yang bilang, dengan cara seperti ini, saya tidak akan populer. Rendra kan populer antara lain karena protesnya keras. Saya tidak bisa begitu. Saya tidak berani.

Alasannya, barang kali, karena saya belajar hukum. Saya mengerti aturan-aturan itu bukan melarang. Tapi memang ada yang tidak boleh dilakukan agar banyak hal lain diperbolehkan. Peraturan dibuat bukan untuk mengurangi hak, melainkan malah menambah. Kalau ada sensor, tidak ada masalah disensor asalkan saya tahu apa batasan sensor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus