Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sang Kuda Terbang ke Langit

Adam Lay wafat. Dia menghasilkan 4.000 lukisan kuda yang dikerjakan dengan pengetahuan dan kesungguhan.

14 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH seorang pelukis Indonesia terpopuler, Adam Lay, wafat. Ia mengembuskan napas terakhir pada tanggal 4, bulan 4 (April), pukul 4.14, tahun 2014 di Bogor, Jawa Barat, akibat komplikasi yang menyerang jantung.

Saya katakan "terpopuler" lantaran dalam dunia seni rupa Indonesia, terutama dunia seni lukis, karya-karya Adam Lay memiliki jangkauan peminat yang amat luas. Hampir semua kolektor Indonesia pernah bersentuhan dengan lukisan Adam, terutama yang bertema kuda. Adam memang menggarap tema ini sejak 40 tahun silam.

Joop Ave, dalam pameran tunggal Adam Lay di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, pada 1991, menyebutkan bahwa Adam adalah salah seorang pelukis Indonesia yang paling punya sikap. Ia teguh dengan realismenya. Ia pelukis yang paling tahu kebutuhan visual dan spiritual masyarakat kolektornya. Adam diam-diam menerapkan seni murninya (fine art) menjadi seni pakai (applied art). Ia pelukis yang sangat tabah menghadapi marginalisasi kritik akademis congkak yang mendiskriminasi mooi indie. Ia percaya pada tema kuda yang terus digarapnya. "Dengan kuda, Adam akan jadi legenda," kata Joop, yang kala itu Direktur Jenderal Pariwisata.

Tak ayal, pameran yang diselenggarakan oleh penata rambut Johny Danuarta (ayahanda pesohor Roger Danuarta) itu segera dikepung pembeli. Sampai wafatnya, Adam telah mencipta tak kurang dari 4.000 lukisan kuda dalam berbagai format, adegan, dan gaya. Dan, ini dia, belasan model lukisan kudanya direproduksi cetak tanpa izin oleh para pembajak serta diedarkan sebagai hiasan dinding di berbagai pelosok.

Bahwa kepergiannya terwadahi oleh angka 4 kadang agak muskil untuk dibahas dalam koridor kritik seni. Kemuskilan itu berangkat dari salah kaprah perasaan tabu menahun, yang sering dianggap menyeret pembicaraan pada pemahaman "kurang sekolahan", bahkan mistik. Juga membawa pembicaraan jadi terjebak pada takhayul angka-angka. Padahal angka adalah bagian dari realitas kosmologi banyak seniman. Haji Adam Purnawan Lay, lelaki Cina kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, pada 1949, jujur mengakui adanya keajaiban angka.

Berkaitan dengan angka 4, Adam sesungguhnya sudah menerima isyarat. Empat dalam bahasa Mandarin terbaca "si". Bacaan ini tidak berbeda dengan kata "si" untuk pengertian mati. Maka 4 adalah mati atau kematian, khususnya untuk mereka yang shionya memang tertakdir jiong (bermusuhan). Adam, kelahiran 1949, memang berada di posisi setengah-lawan dengan sang Empat di Tahun Kuda. Dia pun dimohon untuk berhati-hati.

Adam memberitakan isyarat ini kepada teman-temannya pada November 2013 kala jadi juri seni lukis Lions Club, Jakarta. "Aktivitas saya sekarang rasanya seperti acara pamitan," tutur Adam dengan nada sendu seperti ditirukan Robby L., pelukis yang sama-sama jadi juri. Takdir agaknya menutup cerita hidup persis skenario. Pelukis kuda ini pun terbang ke langit di Tahun Kuda dengan kurungan angka 4.

Lalu kenapa Adam Lay sangat terpesona oleh kuda? "Sejak dulu kala, kuda dijunjung dan disimbolisasi sebagai makhluk inspiratif. Misalnya sebagai simbol pekerja keras, kecepatan, kekuatan, kegagahan, dan percaya diri. Juga sensibilitas, karena kuda memiliki indra yang nyaris sempurna," katanya.

Lantaran itu, dalam tata hidup warga Cina, termasuk Tionghoa di Indonesia, sejak berabad lampau ada ungkapan "ma tao chen kung", yang artinya "(apabila) sang Kuda telah sampai, segalanya selesai". Selesai dalam arti tuntas atau berhasil.

Berbicara tentang kuda dengan Adam seperti membuka kamus rahasia satwa amat populer itu. Ia bertutur bahwa dalam kosmologi seni rupa, sejak dulu sampai sekarang, sosok kuda dijadikan salah satu basis pokok penguasaan bentuk. Di Cina, sejak dinasti Song, seorang pelukis diakui piawai apabila telah mampu secara apik menggambar kuda. "Di balik anatomi kuda ada otot-otot yang harus dipahami. Dan, dalam citra kuda yang umum, terdapat sangat banyak jenis kuda, yang beda-beda karakternya," ujarnya.

Adam lalu dengan rada gagap menyebut kuda przewalski, kuda liar yang banyak berkeliaran di Kazakstan sampai Mongolia; kuda Arab, yang sering dipakai untuk balap; dan kuda Australia, yang dianggap keturunan kuda thoroughbred, yang paling dikenali orang Indonesia. Juga kuda percheron asal Prancis; kuda clydesdale dari lembah Sungai Clyde, Skotlandia; sampai kuda sandel, yang dikembangkan di Pulau Sumba. "Orang yang kurang mengerti kuda kadang mengkritik lukisan saya. Lho, kok kuda di kanvas ini berbeda dengan kuda yang ada di kanvas itu?" katanya.

Belajar dari Adam, nyata kuda adalah bagian penting dari jagat seni rupa dunia, termasuk Indonesia. Maka kuda adalah bagian yang juga aksentuatif dalam dunia pengoleksian. Adam Malik, kolektor seni yang pernah menjadi Wakil Presiden RI, mempunyai lukisan kuda karya Yin Shaoquan (1644-1711). Lukisan ini sebelumnya milik sejumlah kolektor beberapa negara secara bergiliran. Belasan stempel yang menandai kepemilikan diterakan dalam lukisan itu. Di sini terjelaskan bahwa kuda adalah kekayaan dan kebanggaan yang diperebutkan.

Mitos kuda, setelah mengembang di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan, juga merebak di dunia seni rupa Barat. Di Eropa, mitos menjalar lewat Giuseppe Castiglione (1688-1768). Misionaris Jesuit itu semula datang ke Cina untuk menyebarkan agama sambil mengajarkan praktek melukis cara Barat. Namun, ketika ia diangkat jadi pelukis Kerajaan Manzhu di Beijing, "kebaratan" Castiglione tampak luntur. Ia bahkan belajar Chinese painting dan segera mengganti namanya jadi Lang Shi Ning.

Sekembali ke Italia, ia banyak mengajarkan gaya seni lukis Cina dalam teknik cat air serta mengenalkan kuda dengan berbagai mitos dan simbolisasinya. Meskipun begitu, di kemudian hari para perupa Barat tak terlalu memandang simbolisasi kuda, karena mereka lebih tertarik pada aspek badaniah kuda yang memang sempurna keindahannya. Sang kuda lalu dilukiskan dalam berbagai ragam bentuk berdasarkan keunikan rasnya. Tak pandang bulu, semua kuda itu berhak masuk ke lukisan, patung, grafis, kriya, kriya-seni, dan sebagainya. "Sesungguhnya ketertarikan saya pada kuda berawal ketika menatap lukisan-lukisan karya seniman Barat, bukan kuda karya pelukis Tiongkok," ujar Adam, yang pernah jadi tukang foto dan penggambar poster bioskop.

Adam mempercayai bahwa kuda memperoleh nilai magis-simbolis ketika dikaitkan dengan angka. Maka ia sering mempresentasikan kuda dalam jumlah delapan. Angka ini melambangkan delapan penjuru angin. Konon karya itu menelusukkan sugesti: betapa sang pemilik lukisan akan bergerak gesit seperti kuda. Juga sanggup menguasai delapan penjuru angin. Namun ia juga sering melukis kuda dalam jumlah sembilan. Angka tertinggi ini, yang dibaca "kiu", selalu dihubungkan dengan peruntungan atau rezeki. "Lukisan terakhir Adam yang diselesaikan Februari lalu juga tentang delapan kuda yang berlarian di atas laut," kata Iryanto Hadisiswoyo, sahabat Adam yang menyertai sampai di ujung hayat.

Tapi, biar bagaimanapun, Adam adalah manusia, bukan kuda, sehingga bisa terkena stroke berat. Serangan stroke menimpanya pada 2005, yang langsung membuatnya lumpuh lama di kursi roda. Namun Adam tak menyerah secara badani dan jiwa. Dengan mengobarkan filosofi "urip iku urup" (hidup itu harus menyala), ia mencoba bangkit. Modalnya adalah perasaan yang tak menyesali segalanya dan menerima yang terjadi sebagai berkah. Dan, ajaib, Sang Kuda berhasil!

Pada 2007, tangan Adam mulai bisa digerakkan. Pikirannya pun mulai gesit dikembangkan. Lalu, sejak 2008, ia melukis lagi dengan produktif. Hampir 150 lukisan dihasilkan dengan kualitas yang sebagian lebih bagus dibanding sebelum Adam mengalami stroke. Ia akan memamerkan semua karya itu dalam juluk "Lukisan Adam Lay Pasca Struk: Urip Ikut Urup". Pada periode ini, selain melukis kuda dengan segala aplikasinya, Adam melukis aneka satwa lain dan manusia.

Tapi keinginan pameran itu belum tercapai lantaran lukisannya selalu "tak tahan" dikerling pembeli. Sampai Sang Kuda dengan "penuh sukacita" (begitu ia memaknai kematian) keburu dipanggil Sang Khalik. Adam Lay dikuburkan di pemakaman keluarga yang ia siapkan sendiri di Desa Cikanyere, Cipanas, Bogor.

Agus Dermawan T., Kritikus Seni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus