Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Mona Lohanda, Arsip VOC, dan Sejarah Indonesia

Tidak banyak sejarawan Indonesia yang meminati sejarah Vereenigde Oostindische Compagnie karena sulitnya membaca arsip-arsip maskapai dagang Belanda yang beroperasi di Indonesia pada abad ke-17 hingga ke-18 itu. Satu di antara sedikit sejarawan Indonesia yang justru tertarik dan menjadi ahli sejarah VOC adalah Mona Lohanda.

23 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mona Lohanda. (foto: Dok. VIVA.CO.ID)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mona Lohanda adalah satu dari sedikit sejarawan Indonesia yang tertarik dan menjadi ahli sejarah VOC.

  • Tema tentang sejarah masyarakat Cina selalu menjadi minat utama Mona.

  • Satu kontribusi Mona di luar dunia sejarah dan kearsipan adalah sebagai anggota pantia penyeleksi pahlawan nasional.

KEAHLIAN Mona dalam membaca dokumen adalah buah dari kecintaan dan ketekunannya dalam mendalami sejarah Indonesia abad ke-17 hingga ke-18. Dalam satu kesempatan, Mona pernah mengatakan, “Pemahaman kita tentang sejarah Indonesia modern akan memiliki landasan yang lebih baik jika kita paham dengan mendalam perkembangan Indonesia di masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).” Mona, yang berpulang pada Sabtu, 16 Januari lalu, memang seorang yang senang menggali hingga ke dasar. Seluruh karier profesionalnya dihabiskan sebagai arsiparis di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), lembaga penyimpan arsip terpenting di republik ini. Kecintaan Mona kepada sejarah dikembangkannya lebih jauh, sehingga ia tidak hanya menarasikan sumber-sumber sejarah berupa arsip dan dokumen lain menjadi kisah sejarah. Lebih jauh lagi, hal ini menjadi kecintaannya terhadap arsip dan dokumen itu sendiri. Tidak banyak sejarawan Indonesia yang menempuh jalan “sulit dan sepi” seperti Mona.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahir pada 1947, Mona masuk ke Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia hanya beberapa tahun setelah Soe Hok Gie menjadi mahasiswa di situ. Menjadi mahasiswa pada 1960-an membuat Mona mempunyai kepekaan yang tajam terhadap perkembangan situasi politik. Mona selalu bereaksi dengan kritis terhadap segala bentuk kesewenang-wenangan. Minatnya sebagai sejarawan ia arahkan untuk mendalami kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam kehidupan politik di Indonesia, khususnya mayarakat Cina. Dalam perjalanan kariernya sebagai sejarawan, tema sejarah masyarakat Cina selalu menjadi minat utamanya. Minat ini ia gabungkan dengan kecintaannya terhadap sejarah Indonesia abad ke-17 hingga ke-18. Gabungan kedua minat tersebut menghasilkan kombinasi yang unik, yaitu keahlian dalam bidang sejarah orang Cina di Batavia pada masa kolonial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada banyak karya sejarah yang ditulis Mona berdasarkan kedua minat utamanya tersebut. Karya terpenting Mona adalah The Kapitan Cina of Batavia (1996). Buku ini awalnya adalah tesis S-2 di School of Oriental and African Studies (SOAS), London, yang kemudian diterbitkan. Di dalamnya Mona menguraikan sejarah komunitas Cina Batavia dengan menyororoti kiprah institusi Kapitan Cina. Pemahaman kita akan sejarah komunitas Cina di Batavia dan di kota-kota pelabuhan lain di Indonesia banyak terbantu oleh kajian Mona ini. Karya-karya lain tentang sejarah orang Cina di Indonesia adalah Growing Pains (2002) serta Antara Prasangka dan Realita (2002).

Mona tidak hanya meneliti orang Cina. Minatnya terhadap kelompok minoritas terlihat dari berbagai tulisannya. Dalam salah satu karya awalnya yang dipublikasikan, Mona menulis tentang “Mayor Jatje and the Indisch element in Betawi folkmusic” (1982). Tulisan ini membahas Kapitan Augustijn Micihiels yang lebih terkenal sebagai Mayor Jantje, seorang pemuka masyarakat papangers di Batavia pada abad ke-19. Papangers adalah sebutan bagi orang-orang yang berasal dari Papanga di Filipina. Dalam tulisan ini, Mona menguraikan kehidupan rumah partikelir milik Mayor Jantje di Citereup. Di dalam rumah itu berkembang kebiasaan bermusik yang kemudian menjadi musik rakyat Betawi. Musik tersebut merupakan hasil percampuran budaya Eropa dan Asia.

Kajian unik dan detail tentang kelompok minoritas yang memperkaya unsur budaya Indonesia adalah warisan Mona. Ia sering menulis tema-tema sejarah budaya yang terkait dengan kehidupan kelompok minoritas guna menunjukkan bahwa keindonesiaan kita bukan hanya dibentuk oleh budaya dominan dan kelompok mayoritas, tapi juga oleh mereka yang selama ini kurang mendapat tempat dalam historiografi Indonesia.

Sebagai mahasiswa Mona, saya masih ingat dengan baik bahwa Bu Mona—demikian saya memanggilnya—adalah salah seorang dosen yang tidak pelit untuk membagikan ilmu. Bagi Mona, sejarah adalah ilmu yang harus dikembangkan seluas-luasnya. Kepada siapa saja yang tertarik kepada sejarah dan menunjukkan antusiasmenya, Mona tidak akan ragu membantu dan bahkan meminjamkan buku-bukunya. Kami kebetulan berbagi minat yang sama, yaitu meneliti sejarah VOC. Ketika saya untuk pertama kali belajar membaca arsip-arsip VOC yang ditulis dengan tulisan paleografi dalam bahasa Belanda abad ke-17, Mona adalah sejarawan senior yang dengan tangan terbuka membantu saya untuk dapat membaca arsip-arsip tersebut. Tidak hanya menjelaskan cara membaca, Mona menceritakan konteks masyarakat tempat arsip-arsip itu ditulis. Suaranya yang lantang dan kental dengan logat Cina Benteng yang bergema di ruang baca atau ruang penyimpanan arsip di ANRI tetap melekat kuat dalam ingatan saya.

Mona Lohanda. (foto: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Sikapnya yang terbuka dan mau membantu mereka yang memerlukan dukungan ketika melakukan penelitian di ANRI membuat Mona menjadi salah seorang sejarawan Indonesia yang paling dikenal luas oleh para peneliti asing. Selama bekerja di ANRI dari awal 1970-an sampai pensiun pada 2012, Mona telah membantu puluhan peneliti Indonesia dan asing yang memerlukan orang untuk menemukan dan menjelaskan arsip-arsip yang mereka teliti. Jaringan yang dibangunnya sedemikian luas sehingga kebanyakan peneliti asing yang pernah meneliti di ANRI saat Mona bekerja di lembaga itu telah mengenal dan membangun pertemanan dengannya. Menjadi kebiasaan para peneliti asing untuk pertama-tama mencari Mona dan bertanya tentang arsip yang berkaitan dengan penelitian mereka kepadanya sebelum benar-benar mulai bekerja di ANRI. Mona bagi para peneliti tersebut bagaikan “penjaga pintu gerbang” yang siap memberi penjelasan tentang kekayaan khazanah arsip Indonesia.

Satu kontribusi Mona di luar dunia sejarah dan kearsipan adalah saat ia menjadi anggota pantia penyeleksi pahlawan nasional. Dalam panitia seleksi ini, Mona bersama sejarawan Anhar Gonggong adalah dua anggota tim yang paling diandalkan. Dalam setiap proses seleksi pahlawan nasional, Mona menjalankan peran sebagai penguji validitas kajian akademis dari setiap nama yang diusulkan menjadi pahlawan. Pengetahuan yang luas dalam bidang kearsipan dan sejarah menjadi panduan utama bagi tim untuk menentukan apakah data-data yang diajukan oleh para pengusul betul-betul dapat dipertanggungjawabkan secara kesejarahan. 

Saya yang pernah tergabung dalam tim seleksi pahlawan nasional selama tiga tahun mengenal baik cara kerja Mona. Baginya nama besar seorang tokoh tidak menjadi jaminan jika tidak didukung oleh data-data kesejarahan yang valid. Dia sering mengatakan kepada saya, “Kalau kita menemukan kejanggalan dan kelemahan dalam hal sumber sejarah dari data-data pahlawan yang diajukan, jangan ragu untuk menolak pengusulan.” Saya kira sikapnya yang tegas merupakan bentuk tanggung jawabnya kepada masyarakat sebagai seorang sejarawan.

Ketika Mona memulai kariernya sebagai sejarawan pada 1970-an, para penulis sejarah di Indonesia didominasi oleh laki-laki. Mona muncul sebagai salah satu sejarawan perempuan pelopor yang mengangkat tema-tema alternatif dalam sejarah Indonesia. Sebagai seorang sejarawan perempuan, Mona muncul dengan tulisan-tulisannya yang mengusung pendekatan unik. Ia menggabungkan pengetahuan sejarah dengan kepekaan sebagai bagian dari komunitas masyarakat Cina Benteng, kelompok masyarakat tempat ia berasal. 

Mona menulis sejarah dengan empati. Hal ini menyebabkan karya-karyanya selalu memiliki kekuatan untuk membuka wawasan dan menjadi sumber inspirasi. Jejak kepeloporan Mona Lohanda tidak akan terhapuskan dari dunia sejarah dan kearsipan di Indonesia. Selamat jalan Bu Mona.

BONDAN KANUMOYOSO, SEJARAWAN DAN PENGAJAR DI UNIVERSITAS INDONESIA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus