Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI usia kepala delapan, stamina Hasjim Djalal seperti tak kalah oleh anak muda. Jumat dua pekan lalu, ia terbang dari Jakarta menuju Padang, Sumatera Barat, untuk memenuhi undangan orasi ilmiah di Universitas Bung Hatta dan Universitas Andalas. Agar tiba tepat waktu, Hasjim beserta rombongan-antara lain putranya, Dino Patti Djalal, dan istrinya, Rosa Rai-memilih penerbangan paling pagi.
Pukul 10.00, ia tiba di ruang serbaguna Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta untuk memberikan orasi tentang laut Indonesia. Empat jam kemudian, Hasjim sudah siap di Convention Hall Universitas Andalas untuk memberi ceramah dalam kuliah umum bertajuk "Agenda Politik Luar Negeri ke Depan". Selepas itu, menggunakan bus, Hasjim dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju kampung halamannya, Nagari Ampang Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Tempat itu dua jam jauhnya dari kompleks Universitas Andalas.
Setelah dua kali memberi kuliah umum, Hasjim masih sempat menghadiri beberapa acara seremonial. Agenda perjalanannya baru berakhir pada pukul 23.00. Ia terpaksa "dilarikan" ke kamar hotel agar bisa beristirahat. "Bapak sudah di dunia lain," kata Dino, melihat raut wajah ayahnya menahan kantuk.
Usia senja tak membuat semangat Hasjim yang menyandang gelar adat Tuanku Pujangga Diraja itu surut. Berbagai undangan ceramah dari dalam dan luar negeri masih ia penuhi. Hari-harinya sibuk dipenuhi agenda pertemuan. Dari Padang, ia rencananya kembali ke Jakarta sebentar, hanya untuk melanjutkan perjalanan ke Bangkok, Thailand. "Ada undangan yang harus dihadiri," ujar kakek tujuh cucu itu.
Hasjim bersyukur bisa menyempatkan diri pulang ke kampung halaman. Ia menyediakan waktu khusus untuk napak tilas, mengunjungi tempat-tempat di mana ia menghabiskan masa kecil. Sepanjang kariernya menjadi diplomat, Hasjim telah mengunjungi lebih dari 80 negara. Dia berjasa memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam perundingan hukum laut internasional. Bersama Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, Hasjim memimpin delegasi Indonesia membujuk negara lain agar mengakui konsep hukum laut negara kepulauan. "Perjuangan itu panjang dan lama sekali," katanya.
Hasjim dikenal sebagai diplomat produk lama yang kuat berdebat hingga subuh menjelang. Staminanya terjaga karena sepanjang masa mudanya rajin jalan kaki dan bersepeda. Pada usia remaja, Hasjim mampu bersepeda dari Bukittinggi ke Padang Pariaman, lebih-kurang 90 kilometer jaraknya. Hingga sekarang ia masih melanjutkan kebiasaan berjalan kaki. Dua kali sepekan ia jalan kaki di Jakarta. Rutenya bervariasi, pernah dari Jalan Sudirman ke Kemang di Jakarta Selatan, pernah juga sampai ke kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Wartawan Tempo Ananda Badudu menemui Hasjim dalam dua kesempatan. Pertama pada Selasa, 25 Februari 2014, seusai acara perayaan ulang tahunnya yang ke-80. Wawancara pertama hanya berlangsung 15 menit. Malam terlalu larut dan Hasjim kelelahan setelah menjamu ratusan tamu yang menghadiri perayaan yang diadakan di Ballroom Djakarta Theater XXI itu. Pertemuan kedua dilakukan di Ampang Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kontributor Tempo di Padang, Febrianti, ikut bergabung. Di sela-sela agendanya yang padat, Hasjim bercerita banyak tentang pengalaman hidupnya.
Salah satu hal yang membuat saya tertarik mendalami hukum laut adalah Deklarasi Djuanda. Pada saat deklarasi diumumkan, saya sedang berada di Amerika Serikat, baru mulai studi untuk gelar master di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Virginia. Deklarasi Djuanda ditandatangani pada Desember 1957, saya kuliah strata 2 mulai Juni.
Pada saat bersamaan, pecah pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perang Rakyat Semesta (Permesta) di Sumatera Barat dan Sulawesi. Saya jadi kesulitan berhubungan dengan ibu saya di kampung halaman. Surat yang saya kirim lama sekali sampai, bisa tertahan sampai hitungan bulan. Saya khawatir sekali karena tidak tahu situasi, tidak tahu apa yang terjadi. Yang saya dengar, terjadi peperangan di sana. Dan, seingat saya, pada saat itu Bukittinggi dibom.
Dalam situasi seperti itu, muncullah Deklarasi Djuanda. Saya merasa deklarasi itu sangat strategis. Barangkali itu jawaban terhadap perpecahan di Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda, laut berfungsi sebagai pemecah belah. Laut waktu itu tidak dikuasai oleh kita dan karenanya lekat dengan infiltrasi asing. Kapal negara lain banyak sekali membantu kelompok separatis yang ada di Indonesia. Kapal Belanda pada 1960-an juga bebas sekali seliweran di perairan Indonesia.
Dengan adanya Deklarasi Djuanda, laut jadi pemersatu. Seluruh laut yang menghubungkan kepulauan Nusantara jadi milik Indonesia. Saya berpikir barangkali ini adalah cara terbaik untuk menyatukan bangsa.
Hanya, sewaktu deklarasi muncul, saya sudah kepalang membuat tesis tentang Timur Tengah. Judul tesis saya adalah "Eisenhower Doctrines in the Middle East". Saya baru memutuskan mendalami hukum laut ketika studi doktoral di universitas yang sama. Dosen saya, Egger Rowland, mendorong saya melanjutkan studi doktoral. Dia yakin saya bisa menyelesaikan kuliah dengan cepat. Saya memang selesai studi master lebih cepat daripada kawan-kawan lain, hanya setahun.
Berkat kebaikannya mencarikan beasiswa, Rockefeller Foundation setuju memberi bantuan US$ 1.000. Uang itu saya gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama setahun. Tapi uang itu sebenarnya kurang, karena kebutuhan hidup per bulan mencapai US$ 155. Sisanya saya tutup dengan mencari kerja di universitas. Saya cuci piring dan mengepel lantai untuk mencari uang tambahan. Saya bersyukur diberi kesempatan studi doktoral tanpa biaya, seluruh biaya ditanggung universitas.
Saya menyelesaikan studi doktoral pada 1960. Judul disertasi saya "The Limits of Territorial Waters in International Law". Saya lulus lebih cepat enam bulan dari seharusnya. Dari Amerika Serikat, saya memutuskan pulang menggunakan kapal laut. Saya ingin mendalami dan merasakan sendiri seperti apa laut itu. Saya ingin menjiwai laut. Barangkali tidak ada mahasiswa Indonesia di Amerika yang pulang menggunakan kapal.
Saya berangkat dari New York menggunakan kapal Cristophoro Colombo, berlayar lewat Samudra Atlantik, Selat Gibraltar, dan berlabuh di Napoli, Italia. Dua pekan saya jalan-jalan di Italia. Saya tur sendirian di sana. Seterusnya saya naik kapal Oceania berlayar melalui Samudra Hindia menuju Indonesia. Lama perjalanan mencapai 35 hari. Ketika berada di laut, saya berpikir-pikir, apa saja yang dikandung oleh laut itu. Di samping ikan, pasti ada banyak hal lain yang ada dalam laut.
Melalui Deklarasi Djuanda, RI menyatakan kepada negara-negara di dunia bahwa laut di sekitar dan di antara kepulauan Indonesia adalah milik Republik. Sebelum deklarasi, wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Territoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939. Jika mengacu pada aturan itu, laut yang menjadi milik Indonesia adalah perairan yang jaraknya tiga mil dari garis pantai pulau. Di luar itu adalah perairan bebas. Kapal-kapal negara mana pun leluasa lalu-lalang dan menikmati sumber daya di dalamnya.
Bagi Hasjim, Deklarasi Djuanda adalah tonggak pengakuan dunia terhadap konsep wawasan nusantara. Negara kepulauan membutuhkan perangkat aturan yang sesuai dengan keadaan geografisnya. Dengan disahkannya Undang-Undang Perairan Indonesia, batas laut teritorial bertambah dari 3 mil menjadi 12 mil dari garis pantai.
Meminta negara-negara dunia melihat aturan perairan dengan kacamata Wawasan Nusantara bukan perkara mudah. Setelah Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja menandatangani deklarasi pada 13 Desember 1957, negara-negara maritim, terutama negara yang memiliki teknologi lebih maju dalam mengeksploitasi sumber daya laut, menghujani Indonesia dengan kritik. "Sebelumnya mereka bebas, sekarang kalau mau lewat harus pakai izin. Tentu mereka memprotes," kata Hasjim.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah mendorong negara lain mengakui konsep Wawasan Nusantara itu. Mantan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja memberikan kepercayaan kepada Hasjim untuk mewakili Indonesia berunding di konferensi internasional yang membahas persoalan laut. Setahun setelah Deklarasi Djuanda, aturan laut kembali dibahas di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada 1958, negara-negara dunia kembali berkumpul dalam pembahasan United Nations Conference on the Law of Sea (UNCLOS).
Setelah kembali ke Indonesia, saya menjadi anggota staf di Direktorat Hukum Kementerian Luar Negeri. Hal yang pertama dihadapi adalah protes dari negara lain soal Deklarasi Djuanda. Pada 1960, Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Isi Deklarasi Djuanda diteruskan ke bentuk undang-undang dan diberlakukan di Indonesia.
Banyak negara, antara lain Amerika Serikat dan Jepang, memprotes aturan itu. Dengan adanya Undang-Undang Perairan, mereka tak bisa bebas lagi berseliweran, perlu minta izin. Kami terima saja protes itu, tapi tidak kami akui. Protes mereka tak kami turuti. Pada awal 1960-an, sempat ada upaya membicarakan kembali masalah hukum laut, tapi tak ada hasil.
Baru pada 1965 ada kemauan untuk membahas kembali masalah kelautan. Ada beberapa hal yang jadi penyebab. Pertama adalah arus kemerdekaan di Afrika. Banyak negara yang baru merdeka mempertanyakan manfaat hukum laut yang sudah kuno. Untungnya bagi negara kami apa, sih? Kok, negara lain bebas saja mengambil kekayaan di laut di depan mereka? Jadi mereka merasakan hukum yang berlaku pada masa kolonial itu tidak bermanfaat bagi mereka. Orang Afrika mulai merasakan hal yang sama dengan Indonesia.
Faktor kedua adalah masifnya eksplorasi laut yang dilakukan negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat. Mereka melakukan eksplorasi mineral di dasar laut. Mineral itu macam-macam, ada nikel, timah, emas, dan lain-lain. Mereka merasa bebas mengambil mineral karena toh dilakukan di laut. Mereka mudah saja bilang, "Kami tidak mengambil jatah negara lain kok, kami mengambil dari laut."
Pada 1965, ada penelitian di Amerika menyatakan betapa banyak kekayaan mineral di dasar laut. Itu juga mendorong eksplorasi besar-besaran. Dari sana muncul pertanyaan: siapa pemilik mineral di dasar laut ini? Negara-negara Barat bilang ini milik umat manusia, yang mampu silakan ambil. Tapi itu tak adil bagi negara berkembang. Yang bisa mengambil kekayaan alam laut hanya negara maju yang punya teknologi. Karena itu, negara-negara berkembang merasa perlu membuat perangkat hukum baru untuk mengatur eksplorasi laut.
Di situlah Indonesia mulai mengambil peran untuk mendorong konsep Wawasan Nusantara. Pada awalnya belum ada yang mengerti konsep Wawasan Nusantara. Apa ini yang dibicarakan oleh Indonesia?
Konferensi UNCLOS ketiga dilakukan pada 1973. Berbeda dengan konferensi sebelumnya, Indonesia mempersiapkan diri lebih matang. Sejak dua tahun sebelum konferensi dimulai, kami sudah mempersiapkan diri mengangkat isu Wawasan Nusantara. Kami juga sudah melobi negara-negara lain. Sulit sekali proses lobi itu. Mereka bertanya, "Mengapa you mau mengambil kekayaan alam? Ini kan ciptaan Tuhan, kok mau ambil untuk sendiri?" Mereka tidak mengerti mengapa perlu diatur, malah bertanya mengapa you mau mengambil banyak sekali kekayaan laut.
Malah ada delegasi negara yang mengatakan, "Oke, Indonesia mengambil kekayaan alam, tapi jangan di laut. Sebab, di laut ada hak negara lain untuk lewat. Apa tidak boleh lagi nanti lewat?" Itu memakan perdebatan yang sangat panjang, terutama ketika berhadapan dengan negara-negara maritim seperti Amerika, Inggris, Jepang, Prancis, dan Australia. Karena itu, saya sering sekali ke Washington, Moskow, Australia, dan negara-negara lain untuk mendiskusikan hal tersebut. Perjuangan itu sangat panjang dan lama.
Sebagian besar karier Hasjim di Departemen Luar Negeri dihabiskan untuk mengawal perundingan-perundingan alot di UNCLOS. Konferensi UNCLOS diadakan tiga kali, pada 1958, 1960, dan 1973. Konferensi pertama dan kedua berujung buntu. Baru pada konferensi ketiga, dunia menuai hasil. Butuh diplomasi sembilan tahun agar perangkat hukum UNCLOS disepakati. Pada 1982, negara-negara di dunia menyepakati UNCLOS. Hasjim meneken kesepakatan UNCLOS pada 10 Desember 1982 mewakili Indonesia. Hingga 2013, PBB mencatat sudah 166 negara meratifikasinya.
Dalam konferensi itu, delegasi Indonesia berhasil memperjuangkan kepentingan Republik, asas negara kepulauan diakui oleh masyarakat internasional. Implikasinya, masyarakat internasional mengakui seluruh perairan yang menghubungkan pulau-pulau nusantara sepenuhnya milik Indonesia. Kedaulatan Indonesia di laut bertambah luas dari 12 mil menjadi 24 mil. UNCLOS juga mengatur soal Zona Ekonomi Eksklusif selebar 200 mil dari garis pantai terluar. Luas perairan Indonesia bertambah 2 juta kilometer persegi menjadi 5,8 juta kilometer persegi.
Satu hal yang merisaukan Hasjim saat ini adalah visi Indonesia sebagai negara maritim. Dengan kekuatan militer yang ada sekarang, Indonesia sulit berjaya di laut. Bertambahnya wilayah perairan akan sia-sia jika tak dibarengi menguatnya kemampuan pertahanan.
Kemampuan Indonesia memanfaatkan sumber daya dalam laut masih jauh dari optimal. Dengan ukuran perairan yang luas, butuh 370 kapal laut untuk menjaganya. Sekarang Indonesia hanya punya 120 kapal, yang beroperasi dalam sekali waktu hanya 25 buah. Kapal selam yang dimiliki hanya dua, yang satu sedang dirawat di Korea. Saya dengar dalam waktu dekat akan bertambah jadi tujuh kapal selam. Itu bagus, tapi dalam waktu dekat itu adalah tahun 2020. Singapura saja sekarang punya 7 kapal selam, Malaysia 5, Cina 61 buah. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mempertahankan laut.
Permasalahan lain: seberapa jauh kita bisa melihat dasar laut. Ada yang bilang 200 meter, ada yang bilang 600 meter. Bagaimana jadinya kalau laut Indonesia lebih dari 5.000 meter dalamnya, seperti Laut Banda dan Selat Makassar. Bagaimana kita bisa membedakan mana ikan hiu, paus, dengan kapal selam?
Ini masalah anggaran. Coba tanya berapa anggaran Indonesia untuk laut dan udara yang begitu luas. Seluruhnya tidak lebih dari US$ 5-7 miliar. Jumlahnya sama dengan anggaran Singapura. Anggaran pertahanan Indonesia tidak pernah lebih dari satu persen produk domestik bruto. Berbeda sekali dengan Amerika. Pernah saya hitung anggaran pertahanan Amerika sama dengan anggaran Indonesia selama 177 tahun.
Pernah dengar sekitar setahun atau dua tahun lalu ada paus terdampar di Padang? Padang itu bukan rute paus. Seharusnya ia lewat Laut Arafura menuju Samudra Pasifik. Mengapa ia bisa terdampar di Padang? Itu adalah pertanyaan ilmiah. Paus mengandalkan pendengaran untuk navigasi. Siapa yang bisa memastikan bahwa paus itu terdampar bukan karena sonar-sonar kapal selam di dasar laut. Kapal selam siapa yang ada di dasar laut Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo