Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu ketika, pada awal 2000-an, Mella Jaarsma, pendiri Galeri Cemeti, berujar, apa yang sering disebut sebagai ruang seni alternatif di Indonesia pada umumnya bukanlah sebuah kenyataan, melainkan harapan. Pasalnya, ruang itu bukanlah alternatif terhadap sesuatu yang mapan. Lembaga semacam itu, kata dia, tidak ada di Indonesia.
Mungkin saja Mella lupa bahwa sudah lama para seniman di Indonesia getol mengkritik keberadaan lembaga mapan seperti Taman Ismail Marzuki dan Taman Budaya. Lembaga-lembaga itu menguasai aliran dana (dari pusat), mengkonstruksi pemusatan makna melalui mediasi, produksi, dan mazhab tertentu seni di Indonesia.
Mella rupanya menempatkan ruang alternatif dalam kaitan seperti apa yang khas terjadi di dunia seni Barat. Tentu, itu tidak sepenuhnya keliru. Gagasan alternatif itu, di Barat misalnya, telah muncul dalam bentuk ruang baru sejak 1990-an, yang diinisiasi sendiri oleh seniman (artist-run initiatives), dan munculnya sang pencipta pameran yang independen (ausstellungmacher, a maker of exhibitions), sudah sejak akhir 1960-an. Posisi independen itulah yang dulu oleh Harald Szeemann (1933-2005) digunakan sebagai amunisi ampuh untuk menentang struktur berjenjang dalam lembaga mapan bernama museum.
Selama seperempat abad, di Yogya, Mella dan Nindityo berupaya dengan gigih membumikan apa yang disebutnya sebagai "harapan" akan datangnya alternatif. Pasangan seniman ini mendirikan Galeri Seni Cemeti (1988), lalu menjadi Rumah Seni Cemeti (1999). Dan selama kurun panjang itu, perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia memperoleh dukungan dan dorongan kuat dari mediasi yang dilakukan oleh Cemeti. Dan bukankah dalam kurun itu, tak muncul juga lembaga mapan-sekelas museum-yang diandaikan keduanya? Namun itu tidak juga berarti bahwa kemapanan adalah sejenis "strawman argument", sosok jejadian yang selama itu hanya bisa dibayangkan seniman untuk melancarkan sekadar dalih (ruang) alternatif. Dan kini, Cemeti telah mendunia.
Perayaan 25 tahun Cemeti dilakukan dengan penerbitan buku dan pameran hingga tahun ini. Pameran "1 x 25 Jam" (1-28 Februari), dikuratori oleh Mitha Budhyarto, mencoba menangkap semacam sejarah ringkas perjalanan Cemeti yang hendak dibayangkan kembali. Pameran ini menampilkan 12 seniman muda dari berbagai kota (Jakarta, Bandung, dan Yogya). Rupa-rupanya, telah lama seniman muda "alternatif" tetap langka muncul dari kota-kota lain. Mitha menyebut pamerannya adalah konstruk sejarah yang "langsung jadi". Perjalanan Cemeti dikompres ke dalam 25 hari peristiwa, proses berkarya, pameran, dan diskusi.
Tiap seniman mendapat jatah 25 jam berkarya dan pameran dalam 25 jam berikutnya. Peristiwa-pameran ini nonstop. Itu mungkin yang dimaksud dengan "langsung jadi" oleh kuratornya. Selama itulah arsip Cemeti (foto, teks, slide, catatan pameran, rekaman wawancara, poster, dan sebagainya) boleh diaduk-aduk dan ditafsir sebagai rujukan.
Dito Yuwono mengutip penggal percakapan lima seniman dalam pameran pertama Galeri Cemeti yang dianggap menegangkan (1988). Benih "kebebasan" pertama kali disemaikan petang itu, di rumah kontrakan di Jalan Ngadisuryan. Ocehan masa lalu itu dikutip Yuwono dalam bentuk balon-balon teks yang dikerik tidak rapi pada papan akrilik, merujuk pada "sesuatu yang beda", "pameran yang membebaskan", dan "pameran eksperimen". Pada saat pembukaan, listrik padam, dan lilin dinyalakan. Yang terasa aneh, pilihan "tokoh alternatif"-nya adalah pelukis Fadjar Sidik, Ketua Jurusan Seni Lukis Institut Seni Indonesia, yang membuka pameran pertama itu.
Adalah Nindityo dan Mella-pasangan "kopi-susu"-yang memang terbukti gigih melancarkan mediasi karya-karya yang bersifat "alternatif" sejak itu. Yang menarik, keduanya tetap berkarya di jalur kesenimanan, menciptakan bobot tersendiri bagi Cemeti sebagai ruang mandiri para seniman. Yudha Sandy mengilustrasikan keterbatasan kocek lembaga ini pada gambar-gambar stiker yang acak di dinding. Kartun simbolisnya mengabarkan, baru sejak 2013, Cemeti memperoleh hibah dari pemerintah. Warna merah itu rupanya bermakna ganda: ketidakpahaman birokrasi pelat merah kita pada perkembangan seni kontemporer dan semangat pantang mundur Cemeti.
Ika Vantiani menyusun rak bermacam barang dan foto lama yang menciptakan aura personal masa silam. Foto lama Nindityo dan Mella, kitab suci, mesin jahit mini, jam weker kuno, kaset lagu, gambar kincir angin, hiasan wayang, sampai foto seorang pastor terasa sebagai romantisasi di luar sejarah Cemeti. Bukankah galeri lebih tepat dimaknai sebagai ruang publik ketimbang privat? Dialektika aktor yang melahirkan peran dan peran yang menciptakan sang aktor absen pada tafsir karya ini.
Nalar pembacaan arsip yang terlampau "cepat saji" terjadi pada karya Saleh Hussein. Kolase yang mencomot materi cetak itu sekadar memindahkan bidang poster ke luasan tembok. Cara itu tidak merangsang makna baru. Di situ kita melihat citraan poster pameran grafis, gambar, obyek-instalasi, sampai peristiwa pertunjukan. Sekadar mengilustrasikan isi kapal Cemeti selama 25 tahun barangkali terlalu lumrah. Bagaimana ruang seni ini tetap bertahan terhadap "lawan-lawan ideologis" (dari pasar sampai sikap politik) tentunya adalah isu yang bisa lebih menarik.
Taktik itu mirip dengan gaya tafsir Anang Saptoto yang bersemangat menggambari lantai seluas ruang pameran. Dengan kontras hitam-putih mencolok, Anang membesarkan foto acara "Workshop Fotografi oleh Anja de Jong, Space Out", pada 2000. Citra visual bersejarah menjelma kode-kode ilustratif yang datar. Nuansa peristiwa bengkel kerja oleh seniman bule yang selalu dikerumuni oleh seniman muda setempat, raib pada situs gambar yang tidak spesifik ini. Setidaknya, memang cuma pembesaran gambar yang tersua di ruang pameran.
Peran praktek seni di sekitar Cemeti dipertanyakan oleh Yaya Sung. Seniman muda dari Jakarta ini menumpuk-numpuk, merobek, dan menghapus citra-foto karya dan benda-benda yang dianggap bermakna pada pameran Cemeti yang isunya santer ("Knalpot", 1977; dan "Slot in the Box", 1999). Apa peran pameran-bertema politik sekalipun-yang tak henti-hentinya dibikin, dan kemudian dilupakan? Bagaimana mesti mengingatnya, dengan cara apa, dan apa pula sumbangannya bagi khayalak ramai? Aksi performatif Yaya selama 2 x 25 jam di ruang yang senyap itu-diawali pada dinihari-tiba-tiba malah terasa cocok dengan pesan karyanya.
Elia Nurvista memanggungkan suara verbal terhadap Cemeti sebagai lembaga seni yang dianggap mapan. Dia membikin "mimbar budaya" untuk membacakan tulisan para "kritikus" Cemeti. Kendati dulu mengawali keradikalan di tengah kekayaan dan patron para senior (di Yogya), Mella dan Nindityo adalah agen seni rupa Barat, kata seorang kritikus. Jarak antara seniman muda dan Cemeti pun tanpa terasa kini kian jauh. Puncaknya justru pada perayaan 25 tahun Cemeti, yang cuma menyasar para undangan khusus. Tapi selama bertahun-tahun, ironisnya, kudapan pada pembukaan pameran di Jalan D.I. Panjaitan itu telah meredakan perut lapar seniman muda pada malam hari, yang kantongnya kering.
Mimbar budaya itu-bisa dinikmati melalui tayangan video-adalah karya yang provokatif di ruang pameran "cepat saji" Cemeti. Bagaimanapun, sejarah seperempat abad adalah sesuatu yang cukup rumit untuk ditelusuri. Namun itulah suara yang lebih-kurang sama dengan gereget Mella dan Nindityo muda, 25 tahun yang silam.
Hendro Wiyanto, pengamat seni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo