Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak ada yang saya pikirkan selain kebaikan Hafidz," kata Maria Ulfa, 45 tahun, di ruang tunggu Rumah Sakit Pertamedika, Sentul City, Jawa Barat. Saat ia kami temui Ahad dua pekan lalu, kelelahan terlihat pada wajahnya. Sudah seminggu dia berada di rumah sakit itu, menunggu Muhammad Sayid Hafidz, anak pertamanya. Hafidz berada di kamar sebelah, di ruang intensive care unit, terbaring lemah. Bocah 8 tahun itu sedang berjuang melewati masa kritis setelah pencangkokan hati. Ada tanda-tanda ke arah yang positif. "Saya optimistis," kata Maria.
Hati Hafidz memang bermasalah. Saat berumur 2 tahun, Hafidz diketahui memiliki sindrom Alagille, yang mengakibatkan kematian sel-sel hati. Sindrom ini ditemukan oleh dokter Daniel Alagille dari Prancis pada 1969. Kasusnya lumayan jarang, terjadi pada 1 dari 100 ribu kelahiran. Di Indonesia, kasus Hafidz memang bukan yang pertama, tapi merupakan kasus dengan tingkat keparahan yang cukup tinggi dan kompleks. Belum ada obat pasti yang dapat menyembuhkan penyakit ini, selain cangkok hati.
Menurut dokter Kamelia Faisal, yang ikut dalam tim operasi cangkok hati Hafidz, sindrom Alagille kemungkinan besar diturunkan (herediter). "Mungkin dari kakek atau dari keluarga Hafidz dulu ada yang pernah punya sindrom Alagille," ujar Kamelia.
Secara fisik, gejala sindrom Alagille yang timbul berbagai macam. Misalnya jaundice atau kuning di bagian tubuh tertentu, seperti bola mata dan kuku; kulit tubuh menghitam dan kering; serta timbul benjolan di kulit yang gatal. Pasien dengan sindrom Alagille juga memiliki bentuk wajah khas, yaitu dahi lebar dan menonjol, mata melesap ke dalam, serta dagu runcing dan kecil.
Pencangkokan hati diperlukan karena sel-sel hati penderita sindrom ini mati secara perlahan. Hati yang sudah sekarat itu tak mampu lagi menjalankan fungsinya. Dalam tubuh manusia, hati menjalankan fungsi penyaringan dan penyaluran (metabolisme) berbagai nutrisi dasar yang diperlukan tubuh manusia, seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Hati juga berfungsi mengurangi kandungan racun (detoksifikasi) dari zat hasil metabolisme tubuh, misalnya bilirubin, agar bisa dibuang melalui tinja dan air seni. Selain itu, hati berfungsi menyimpan berbagai senyawa, seperti zat besi, vitamin A, dan vitamin B12.
Tanpa hati, nutrisi dasar yang dibawa oleh darah tak akan tersaring. Racun itu tetap terbawa ke mana-mana dan ditolak tubuh. Tanda protein yang tidak tersaring dengan baik di hati akan muncul di kulit. Dalam beberapa kasus, terdapat benjolan kecil berisi penumpukan protein yang menimbulkan rasa gatal. "Makanya Hafidz jadi sangat sering menggaruk," kata Kamelia.
Gangguan pada kulit adalah masalah yang paling ringan. Hal terberat dari tidak tersaringnya nutrisi dasar itu adalah tubuh tidak mendapat "makanan" untuk berkembang atau mengganti sel yang rusak. Akibatnya, regenerasi sel tidak terjadi. Sel yang mati tak terganti dan organ-organ tubuh pun lama-kelamaan rusak.
Itulah kenapa Hafidz pernah menjalani operasi bypass jantung saat berumur 11 bulan, setahun sebelum dia diketahui memiliki sindrom Alagille. Kelainan yang tersembunyi dan lolos dari pemeriksaan dokter ini ternyata sudah mulai melakukan penghancuran. Karena hati Hafidz mulai tak berfungsi, zat yang dibawa ke jantung tak tersaring dengan baik. Regenerasi katup jantung tak bisa dilakukan. Akibatnya, katup itu bocor.
Kerusakan fungsi hati juga ditandai oleh lambatnya pertumbuhan. Hafidz tidak setinggi anak-anak seusianya. Bahkan tubuh Hafidz lebih kecil daripada Nabila, adiknya yang berumur 5 tahun. "Otomatis zat yang dibutuhkan tubuh, seperti karbohidrat, protein, lemak, dan kalsium, tidak termetabolisme dengan baik ke beberapa organ tubuhnya. Makanya pertumbuhan tubuh Hafidz terhambat," ucap Kamelia.
Selain protein, kalsium yang tidak termetabolisme dengan baik menyebabkan tulang pada anak dengan sindrom Alagille sangat rapuh. Sejak berusia 1 tahun, Hafidz sudah terdeteksi mengalami kerapuhan tulang atau osteoporosis di kedua kaki dan salah satu lengannya. Saat itu, Hafidz terjatuh dan patah tiga bagian di kakinya. Beruntung tulang dapat tersambung kembali.
Pada usia 5 tahun, Hafidz jatuh untuk kedua kalinya. Kali ini salah satu kakinya tidak lagi berfungsi dengan baik. Dokter pun angkat tangan. "Karena tulang Hafidz mengalami kerapuhan yang parah. Bila perbaikan di kaki dilanjutkan, akan berdampak buruk pada tulangnya," kata Sugeng Kartika, 45 tahun, ayah Hafidz.
Hati yang rusak juga tidak mampu melakukan pemecahan protein darah dengan baik. Akibatnya, bilirubin tak bisa dibuang dari darah melalui tinja dan air seni. Bilirubin menumpuk dalam darah. Akibat yang paling jelas pada fisik adalah kulit semakin menghitam, mata menguning, dan tinja berwarna putih. Akibat yang paling serius: bilirubin yang menumpuk di darah itu terbawa hingga ke otak dan merusak otak secara permanen.
Hafidz harus segera diselamatkan dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk. Saat Hafidz berumur 6 tahun, seorang dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mengatakan tidak ada upaya yang dapat menolong selain cangkok hati. Tapi itu tak mudah. Ayah Hafidz hanya pedagang kecil dan ibunya tenaga bantu kesehatan di sebuah perusahaan. Selama ini mereka berupaya mengurangi penderitaan Hafidz dengan membawanya berobat jalan. "Yang menjadi pikiran saya adalah bagaimana biayanya," kata Sugeng berkaca-kaca.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan menaruh perhatian pada kasus Hafidz dan merujuknya untuk dioperasi di Rumah Sakit Pertamedika. Namun, yang lebih istimewa, kasus Hafidz ini langsung ditangani ahli cangkok hati dunia, Profesor Koichi Tanaka dari Jepang. Maka, pada 24 Februari lalu, Hafidz pun menjalani operasi cangkok hati selama 14 jam, yang dilakukan pertama kali di bawah supervisi Koichi Tanaka.
Hafidz memperoleh hati baru dari ayahnya. Menurut Profesor Tanaka, berat Hafidz yang hanya 14 kilogram memerlukan organ hati yang tidak terlalu besar. Cuma butuh 20 persen potongan hati Sugeng. "Secara fisik, kondisi keduanya sangat baik dan stabil, baik donor (ayah) maupun resipien (Hafidz), sehingga memungkinkan dilakukan operasi transplantasi hati," ujar Profesor Tanaka.
Menurut Kamelia, hati Sugeng yang diambil untuk Hafidz tidak membahayakan tubuh Sugeng. Ini karena hati adalah organ yang memiliki sel yang sifatnya hilang dan berganti (tumbuh). Selain itu, hati yang diambil sedikit tidak akan mengurangi fungsinya sebagaimana dalam ukuran normal. "Dalam dua-tiga bulan ke depan, hati ayah Hafidz dapat tumbuh kembali, dan sampai saat ini masih berfungsi dengan baik," kata Kamelia.
Ditemui Ahad pekan lalu, Sugeng mengatakan dia baik-baik saja dan dalam keadaan stabil. "Hanya agak pegal di bagian punggung belakang, juga pusing dan mual akibat pembiusan saat operasi," ucapnya.
Sedangkan kondisi Hafidz, meski masih berada di ruang ICU dan terbaring lemah, sudah lebih stabil. "Kadar bilirubinnya sudah mulai turun. Tanda penumpukan bilirubin dalam darah sudah mulai terurai," kata Kamelia. Jumlah air seni Hafidz yang biasanya kurang dari 200 gram per hari juga sudah mulai bertambah. Kulit Hafidz yang tadinya sangat hitam kini terlihat lebih terang.
Meski begitu, 20 dokter yang tergabung dalam tim penanganan Hafidz tidak mau lengah. Hafidz masih harus menjalani masa kritis sebelum benar-benar stabil. "Tubuh memiliki antibodi yang bereaksi begitu ada benda asing masuk. Ini harus terus diawasi dan dilihat reaksi tubuhnya, terutama di masa kritis ini," ujar Kamelia.
Cheta Nilawaty
Sindrom Alagille
Sindrom ini ditemukan oleh dokter Daniel Alagille dari Prancis pada 1969. Kasusnya lumayan jarang, terjadi pada 1 dari 100 ribu kelahiran. Di Indonesia, kasus Hafidz memang bukan yang pertama, tapi merupakan kasus dengan tingkat keparahan yang cukup tinggi dan kompleks. Belum ada obat pasti yang dapat menyembuhkan penyakit ini, selain cangkok hati.
Ciri fisik
Penyembuhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo