KARDONO, Dirjen Perhubungan Udara, kelahiran Yogya 12 Desember
1929, selain gemar mengutip falsafah Jawa dalam pembicaraannya
ternyata juga suka membaca sajak. Tapi, "seingat saya baru dua
kali," katanya. Keduanya dilakukan sewaktu meresmikan pembukaan
lapangan terbang.
Pejabat lain yang pernah juga membaca sajak dalam kedinasannya
ialah Slamet Danudirjo sewaktu menjadi Ketua Tim pemberantas
penyelundupan 'Walisongo'. Semangat sajak keduanya tentu saja
berbeda. Bila sajak Slamet mendukung aspek moral dan terdengar
pahit, bunyi sajak Kardono -- sewaktu meresmikan lapangan
terbang Mamuju, Sulawesi Tenggara bulan lalu -- begini:
Penantian fajar yang telah lama/pada gelap yang cukup
tabah/bagai sunyi tak berjangkrik/merayap keong-keong pada Ibu
Pertiwi/akhirnya datang hujan menyapu/tersadarlah khalayak 'tuk
memikirkan/dikirimlah burung-burung camar/masyarakat menyambut
riang gembira/sekarang melajulah camar-camar pada Ibu
Pertiwi/muncullah fajar pada Mamuju/burung camar ke kota dengan
cepat.
Yang dimaksud 'camar-camar' tentulah pesawat terbang, dan
'keong-keong' mungkin kendaraan darat. Boleh jugalah. Apa sajak
itu ciptaannya? Ternyata, "bukan. Saya tak bisa. Sajak yang
pertama kali saya bacakan dibikin anak perempuan saya yang masih
SMA, sedang yang di Mamuju itu ciptaan Cilik Riwut, beka
gubernur di Kalimantan," ujar bapak dari 2 anak perempuan dan 3
anak lelaki itu. "Kalau lu bisa bikinkan, boleh!" tambahnya,
menantang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini