PERATURAN "Jakarta kota tertutup" (No. 14/P/DPRD/1970) belum
dicabut. Namun larangan pemukim baru dari luar daerah, kecuali
mempunyai pekerjaan di sini dan lantas dapat mengusahakan tempat
tinggal sendiri, rupanya tak akan begitu ketat lagi
dilaksanakan. Setidaknya begitu kesan kalangan anggota DPRD DKI
Jakarta, mendengar pidato Gubernur Tjokropranolo pada sidang
istimewa badan legislatif tersebut, Sabtu dua pekan lalu.
Sidang istimewa, seperti biasa, diadakan untuk memperingati
genap 452 tahun Jakarta 22 Juni lalu. Dalam kesempatan itu
Tjokropranolo mengemukakan beberapa hal yang sudah dilakukan dan
yang sedang dihadapi. Menyangkut soal pendatang, yang membanjir
terus dari waktu ke waktu, menurut Gubernur tak begitu saja
boleh diabaikan. "Mereka juga punya hak dan andil dalam
membangun kota ini," katanya.
Jika diingat Jakarta merupakan ibukota negara tentunya wajar
saja. Lebih-lebih, seperti dinilai Bang Nolly, pertumbuhan
ekonomi di berbagai daerah seakan-akan tidak sepesat di Ibukota.
"Belum lagi jika diperhitungkan, di daerah kerap terjadi bencana
seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi atau kekeringan."
Bertolak dari keseluruhan pidato 8 halaman folio Gubernur tadi,
para anggota DPRD rupanya banyak yang menafsirkan seolah-olah
Jakarta kini sebagai "kota terbuka." Maka, seorang anggota DPRD,
dari komisi yang antara lain membidangi masalah kependudukan,
menjadi ragu apakah Gubernur sudah memahami betul apa-apa yang
diatur dalam ketentuan Jakarta kota tertutup? "Sekalipun Jakarta
disebut tertutup, pada hakekatnya tetap terbuka bagi pendatang
yang mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal tetap," kata anggota
dewan tersebut.
Geladangan
Betulkah Gubernur akan membuka Jakarta? "Siapa yang mengatakan
begitu? Wartawan itu kalau baca jangan sepotong-sepotong.
Jakarta bukan tempat orang non produktif!" sangkal Tjokropranolo
sedikit gusar.
B. Harahap, juru bicara Balaikota, dalam keterangannya kepada
TEMPO mengesankan maksud Gubernur "Pokoknya orang daerah atau
dari manapun boleh-boleh saja datang ke kota ini asal tidak
lantas menambah jumlah gelandangan." Itu tidak bertentangan
dengan Peraturan Daerah (Perda). Lebih-lebih jika diingat,
"dengan tata kota yang ideal, Jakarta sebenarnya bisa menampung
penduduk sampai sekitar 10 juta," kata seorang pejabat Balaikota
yang lain. Tata kota ideal yang bagaimana, sayangnya, pejabat
tersebut tak menjelaskan lebih lanjut.
Namun, seperti dikatakan Kepala Dinas Kependudukan, drs Sutan
Bachtiar, lahirnya Perda Kota Tertutup berkaitan dengan rencana
induk DKI sampai tahun 1985. Katanya, sampai tahun tersebut
Jakarta diproyeksikan hanya cukup untuk hidup 6 juta penduduk.
Jadi, menutup Jakarta "merupakan salah satu upaya untuk mengerem
kepadatan."
Bachtiar menambahkan seraya menuding angka-angka: 1962 penduduk
Jakarta tercatat 3,64 juta, dan tahun 196 tak kurang dari 4,6
juta. Artinya, pertambahan perduduk selama 6 tahun meliputi
1,42 juta.
Akhir 1978 tercatat 5,58 juta dan sekarang-sekarang ini
diperkirakan 5,6 juta. Kesimpulannya, menurut Bachtiar, di satu
pihak sudah mendekati batas maksimum angka yang diisyaratkan
rencana induk dan di lain pihak Perda Kota Tertutup cukup
bermanfaat. Coba saja, jika pada tahun-tahun sebelum Perda tadi
terbit, pertambahan penduduk Jakarta mencapai 5,8% setahun
pendatang dari luar, tahun-tahun terakhir hanya 1,89% saja yang
bukan kelahiran sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini