Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burung besi itu meliuk di langit yang tampak kelabu. Pesawat terbang dengan kode Filipina itu bersiap mendarat di Lapangan Udara Mapanget (sekarang Bandar Udara Sam Ratulangi), Manado, Sulawesi Utara. Di ujung landasan, puluhan truk dan beberapa stomwals (alat berat perata jalan) sudah bersiap membuat barikade. Beberapa saat kemudian, pesawat parkir di landasan beton.
Hari itu, 23 Februari 1958, pukul 14.00. Saya bergegas membuka pintu pesawat. Sisa asap pengeboman langsung menyergap. Tercium aroma sangit. Kemarin, kota Manado baru saja dibom oleh pesawat B-25 Mitchell AURI. Hampir semua instalasi vital pusat gerakan kami seperti asrama tentara, markas Angkatan Darat Permesta, hingga Rumah Sakit Gunung Muria, Tomohon, habis terbakar. Perang dengan Jakarta sudah dimulai.
Setelah hampir dua bulan, inilah kali pertama saya kembali menginjakkan kaki di Manado. Dalam pertemuan di Sungai Dareh, Sumatera Barat, awal Januari 1958, pimpinan PRRI memutuskan melawan jika Jakarta menjawab tuntutan kami dengan kekerasan. Saya dan Sumitro Djojohadikusumo diberi tugas mencari senjata dan melakukan lobi ke luar negeri. Posisi saya sebagai KSAD Republik Persatuan Indonesia mengharuskan saya mengecek kesiapan logistik. Sekadar berjaga jika perang pecah.
Dari Sungai Dareh, kami menyeberang ke Singapura. Negara ini dikenal sebagai tempat berkumpul orang dari berbagai negara untuk beragam kepentingan, termasuk para broker senjata. Bersama Sumitro, saya bertemu James Foster Collins. Saat itu, saya mengenalnya sebagai pejabat konsul AS. Belakangan saya tahu, posisi sesungguhnya adalah Kepala Markas CIA di Singapura.
Kami bertemu beberapa kali di sebuah restoran. Collins berperawakan tinggi besar tapi bicaranya pelan. Tampaknya dia sudah mendengar banyak tentang kami, jadi paham maksud kami menemuinya. Saya berterus terang saja, perlu senjata.
Sebelumnya, kami telah membeli senjata dari Taiwan lewat seorang pialang. Dari sang broker kami juga mendapat informasi pasar senjata di Italia dan Swiss. Kami mengirim tim ke dua negara itu untuk mendapatkan senjata. Semua rata-rata sisa Perang Dunia II. Meski rongsokan, senjata-senjata itu bisa diperbaiki dan cukup ampuh.
Kami juga sudah membeli panser. Barang-barang itu kami angkut dengan kapal yang kembali ke Manado setelah mengangkut kopra. Modal kami waktu itu adalah uang hasil ekspor kopra sebesar US$ 4 juta atau sekarang senilai Rp 36 miliar.
Senjata-senjata itu, menurut saya, tidak cukup. Collins menanyakan apa saja kebutuhan kami. Saya menyebut, kami membutuhkan dua kargo senjata antiserangan udara, termasuk anti-aircraft dan dua pesawat pengebom B-26. Dia juga menawarkan kapal perang yang ada di Terusan Panama dan menyuruh kami mengambil sendiri, sekalian belanja ke Eropa. Saya sempat bertanya berapa harga senjata-senjata itu. Eh, saya dibuat kaget. ”It’s Free” kata Collins. Gratis. Tanpa syarat atau ikatan. Kami tentu senang sekali.
Waktu itu kami sudah berencana, tim kami yang ke Italia dan Swiss kelak membawa senjata melalui Panama terus ke Sulawesi Utara. Terus terang, kami tak memiliki pengalaman berbelanja senjata; apalagi melakukan kegiatan subversif. Ternyata senjata itu tak bisa keluar dari Eropa. Maka rencana ke Panama pun batal.
Lantaran tak bisa mendapat senjata di Eropa dan Panama, kami bertemu lagi di Manila. Pertemuan itu saya lakukan setelah mengunjungi Taipei dan Hong Kong. Di sana, saya bertemu sejumlah menteri dan petinggi militer, antara lain Jenderal Jesus M. Vargas. Kepada Vargas, saya menanyakan ke mana kami harus mencari senjata? Dia berterus terang hanya bisa membantu secara moril. ”Kalau membutuhkan uang dan lainnya, silakan kau bicara dengan orang Amerika.”
Di Manila saya mendapat senjata, amunisi, dan radio yang kemudian diangkut dengan pesawat ke Manado. Beberapa bantuan senjata dikirim bertahap melalui laut. Pada saat yang ditentukan kami diminta mengambil pada koordinat yang disebutkan kemudian. Pengiriman biasanya dilakukan malam hari dengan tongkang-tongkang kayu. Kebanyakan kiriman pertama terdiri dari senjata ringan dan amunisi untuk pasukan infanteri. Pengiriman selanjutnya adalah mitraliur antipesawat terbang.
Bantuan senjata akhirnya datang juga dari Amerika, termasuk dua kargo senjata antiserangan udara, dua pesawat pengebom B-26, dan para teknisi pesawat tempur. Semua diterbangkan dari pangkalan udara militer Amerika Serikat di Clark, Filipina. Para teknisi tinggal di Mess Garuda, dekat lapangan udara Mapanget. Saya tak hafal nama-nama mereka. Mungkin juga nama-nama palsu. Mereka CIA semua, tentu.
Dengan logistik sebanyak itu, lahir rencana menyerang Jakarta. Penyerangan itu kami namakan Operasi Jakarta Special. Sasaran pertama adalah menguasai Pulau Morotai di Maluku Utara. Pulau ini punya lapangan udara dengan landasan panjang untuk pesawat B-26 dan pernah dipakai untuk Perang Dunia II. Sasaran berikutnya Balikpapan dan kilang minyak di Banjarmasin untuk memutus pasokan minyak ke Jawa. Kemudian menyerang Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Rencananya kami akan masuk Jakarta lewat Cilincing. Ada pula usulan memakai Natuna sebagai titik pangkal. Perhitungannya karena dekat dengan Taiwan dan Singapura.
Aksi pengeboman pun dilakukan Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) yang kami bentuk pada April 1958. Pemimpinnya adalah Petit Muharto, bekas Atase Militer RI di Filipina dan bekas Komandan Pangkalan AURI di Manado. Dia adalah kawan karib saya. Kami juga mendapat beberapa pilot sewaan dari Amerika, Filipina, dan Polandia. Salah satunya Allen Pope Lawrence, seorang veteran Perang Korea.
Harusnya semua rencana berjalan lancar. Kemenangan beruntun telah kami peroleh di pelbagai titik gempuran. AUREV mengebom lapangan terbang Mandai (sekarang Bandara Hasanuddin), Pelabuhan Donggala, Balikpapan, Ambon, dan Ternate. Satu korvet TNI-AL juga dibom hingga tenggelam. Kemudian kami menduduki Morotai. Sayangnya, Pesawat B-26 yang dikemudikan Allen tertembak jatuh sewaktu melakukan aksi pengeboman ke Pelabuhan Ambon, 18 Mei 1958.
Saya mendengar dari RRI, dia ditangkap hidup-hidup dan divonis hukuman mati di Yogyakarta. Insiden ini cukup menggegerkan dan membuat peta peperangan berubah. Pantas saja, selama dua pekan beberapa warga Amerika yang ada di bandara wara-wiri menanyakan, adakah agen saya di Ambon? Kalau ada, mereka sebaiknya menembak Pope. Supaya tak ada bukti, kata mereka. Beberapa minggu kemudian banyak dari mereka tiba-tiba berkemas, lalu pergi meninggalkan pangkalan. Mereka tinggalkan kami begitu saja di tengah persiapan merebut Jakarta. Semua pesawat terbang juga mereka tarik.
Seperti ditulis Kenneth Conboy dan James Morison dalam bukunya, Feet to the Fire: CIA Covert Operations di Indonesia, 1957-1958, keterlibatan CIA memang jelas terlihat. Meski begitu, kami tak paham seberapa jauh mereka beroperasi. Belakangan saya tahu, ternyata semuanya dimonitor dari Washington dan Jakarta. Dari situ mereka tahu apa yang terjadi dan bagaimana harus berbelok arah.
Saya sadar betul ini bukan perjuangan mereka. AS sebenarnya tidak membantu Permesta, tapi memanfaatkan Permesta untuk kepentingan sendiri. Mereka hanya membantu karena kami antikomunis. Namun, begitu melihat arah pertempuran bahwa kami bakal kalah, mereka beralih ke Jakarta. Toh, perwira Angkatan Darat seperti Nasution dan Yani juga antikomunis.
Inilah politik. Dari situ saya paham, banyak orang salah persepsi tentang latar belakang PRRI dan Permesta dalam konteks kepentingan AS. Dalam sebuah seminar tentang Permesta di Universitas Indonesia, 30 November 1991, saya sampaikan analisis apa adanya. Di situ kebetulan hadir Barbara Silas Harvey, yang meriset soal Permesta dan Duta Besar Amerika untuk Indonesia. Saya katakan, Amerika membantu kami demi mengamankan kepentingannya. Kalau kemudian dia berubah, meninggalkan kami dan membantu jenderal di Jakarta, itu juga demi kepentingan negara mereka sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo