Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta, 26 Juli 1966. Sehari setelah Soeharto menjadi penjabat presiden, saya bebas. Semua serba mendadak. Pagi hari, Jaksa Adnan Buyung Nasution muncul di Rumah Tahanan Setia Budi, Jakarta Pusat. Ia membagikan surat pembebasan tahanan yang dikarantina di situ. ”Bapak-Bapak bebas, ya. Semua pulang, bubar.”
Tak satu pun anggota keluarga yang tahu soal pembebasan itu. Polisi Militer yang menjaga tahanan mengabari keluarga saat mereka berkunjung, ”Sudah, Bapaknya diajak pulang saja.” Aha, kegembiraan itu serasa meledak di udara. Kami saling berpelukan dan beramai-ramai membereskan pakaian. Itu betul-betul sebuah kejutan.
Selepas dari bui, saya dikontak asisten pribadi Soeharto, Letnan Kolonel Ali Moertopo. Saya diajak membantu tim operasi khususnya (Opsus). Tugas saya berkampanye ke sejumlah negara di Asia soal Orde Baru dan siapa Jenderal Soeharto. Maklum, dunia internasional waktu itu hanya mengenal Jenderal Abdul Haris Nasution.
Posisi resmi yang ditawarkan Ali Moertopo adalah staf, tapi saya menolak. Saya mengatakan, ”Saya mau ikut sebagai relawan saja.” Itu pun dengan catatan, ”Kalau bertentangan dengan nurani, saya mundur.” Mengapa begitu? Karena Opsus yang dipimpin Ali Moertopo itu kan macam-macam tugasnya, dari intelijen sampai jadi ”tukang pukul”.
Situasi politik saat itu masih dipengaruhi suasana konfrontasi dengan Malaysia. Krisis politik yang berujung kudeta komunis membuat banyak negara di kawasan Asia Tenggara, mau tak mau, menoleh kepada Indonesia. Ali Moertopo sebenarnya sering menghubungi kami selama di bui. Dia mencari orang berpengalaman tapi harus antikomunis untuk mengatasi situasi. Karena itu, begitu menjadi presiden, Soeharto membebaskan kami.
Kami diminta membantu mengubah pandangan dunia internasional tentang kepemimpinan nasional yang baru. Kami dianggap berpengalaman dan memiliki kontak pribadi dengan tokoh-tokoh di luar negeri untuk merintis jalan perdamaian.
Saya dikirim ke Thailand, Taiwan, Filipina, dan Jepang. Profesor Sumitro mendapat tugas ke Amerika dan Eropa. Kebetulan, di kawasan ini saya memiliki banyak kenalan. Beberapa di antaranya dulu saya temui untuk keperluan mencari senjata semasa perjuangan PRRI.
Ketika saya dikirim ke Bangkok, Agustus 1967, kebetulan kawan lama saya, Jenderal Vargas dari Filipina, sudah menjadi Sekretaris Jenderal SEATO (South East Asia Treaty Organization). Saat itu sedang ada pembahasan Deklarasi Bangkok untuk membentuk ASEAN. Kami berbincang panjang di rumahnya, terutama membicarakan sikap negara-negara Asia Tenggara tentang pangkalan asing. Indonesia mengajukan klausul menolak pangkalan asing karena kita tak mau dianggap antek Amerika.
Waktu itu saya pergi dengan Yoga Soegama dan Benny Moerdani. Saya tidak ikut dalam tim resmi di meja perundingan. Tugas saya melakukan lobi di balik layar, bagaimana usulan itu bisa gol di meja perundingan. Saya ingat di malam terakhir, tengah malam Benny Moerdani membangunkan saya. Harusnya, malam itu semua urusan perundingan sudah selesai. Lobi terakhir ke petinggi semua negara menuai hasil. Mereka sepakat untuk tidak sepakat soal pangkalan militer. Malam itu seharusnya semua delegasi meneken deklarasi.
Entah kenapa, delegasi Filipina tak mau tanda tangan. ”Kalau Filipina nggak mau teken, perundingan bisa gagal,” kata Benny. Ini artinya ASEAN tidak jadi terbentuk. Saat itu juga saya menelepon Vargas. Saya ingat betul dia pernah bercerita bahwa para bekas panglima di Filipina selalu menjadi anggota tim penasihat Presiden Filipina meski tidak struktural.
Kami bicara panjang lebar. Saya menanyakan mengapa Filipina tak bersedia teken. Saya mengatakan ke Vargas, ”You do something.” Hanya butuh waktu 30 menit, Vargas kemudian memberi konfirmasi bahwa Menteri Luar Negeri Filipina, Carlos Romulo, tidak akan hadir dalam deklarasi. Dia hanya diwakili Sekretaris Jenderal. Keesokan paginya, semua beres. Jadilah ASEAN.
Tugas mempromosikan Soeharto ke dunia internasional tertolong karena saya sudah lama mengenal dia. Pada 1948-1949, saya pernah menjadi anak buahnya di Yogyakarta. Sebagai perwira penghubung Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS), saya diangkat menjadi Kepala Staf Brigade XVI dengan pangkat mayor. Dalam periode itulah terjadi peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Seperti peristiwa sejarah lainnya, sampai saat ini peristiwa itu masih melahirkan kontroversi. Siapa sebenarnya inisiator serangan? Sebagai pelaku, saya melihat serangan itu lahir dari inisiatif bersama. Dari segi perkembangannya, ini serangan umum kelima. Serangan pertama dilakukan pada 30 Desember 1948; yang kedua, 8 Januari 1949; yang ketiga, 31 Januari 1949; yang keempat 8-9 Februari 1949; dan yang kelima, 1 Maret 1949.
Rapat teknis penyerangan sebenarnya sudah kami lakukan pada 14 Februari 1949. Waktu itu sebagai komandan, Soeharto meminta laporan saya sebagai kepala staf. Saya menyampaikan bahwa kita sudah empat kali melakukan penyerangan ke Yogyakarta, tapi jarang masuk surat kabar karena serangan dilakukan malam hari. Kebetulan, saya mendengar akan ada observer yang berkunjung ke Yogya pada akhir Februari. ”Bagaimana kalau kita serang Yogya siang-siang saja?” Berbagai pertimbangan soal waktu kemudian muncul. Akhirnya, kami sepakat serangan dilakukan siang hari 1 Maret 1949.
Jauh sebelumnya, Sultan Hamengku Buwono IX juga memonitor situasi. Beliau kemudian menuliskan pendapatnya ke Jenderal Sudirman. Sebagai panglima besar, Sudirman mengirim surat ke panglima divisi, Bambang Sugeng, supaya dilakukan penyerangan besar-besaran. Bambang Sugeng akhirnya membuat surat perintah tertanggal 18 Februari 1949 kepada Soeharto sebagai bawahannya.
Jadi, menurut saya dua-duanya benar. Soeharto menyelenggarakannya secara taktis dan Sultan melakukannya secara strategis. Jika kemudian Soeharto berbangga atas serangan itu, bolehlah. Memang tidak mudah melakukan serangan dari berbagai penjuru.
Saya juga mengenal Soeharto ketika ia bertugas ke Makassar dengan Brigade Mataram. Di masa itu, beberapa kali kami sempat bertemu. Kami juga berada dalam satu sikap, antikomunis.
Begitu tugas Opsus selesai, saya ingin membangun perusahaan. Waktu itu Soeharto sempat bertanya, ”Apa kau bisa menjadi pengusaha?” Saya hanya tertawa, ”Ya, pasti bisa.” Saat itu, tahun 1967, bersama tujuh kawan sesama tokoh PRRI/Permesta, kami mendirikan PT Konsultasi Pembangunan Semesta. Saya menjadi presiden direktur, Kolonel Simbolon menjadi presiden komisaris, Ahmad Husein sebagai direktur, sedangkan banyak bekas anggota pasukan kami yang menjadi staf perusahaan.
Berbisnis menjadi pilihan karena situasi ekonomi saat itu begitu sulit. Sebagai kepala rumah tangga, kami jelas tak bisa diam. Keluarga butuh makan. Anak-anak perlu sekolah. Sementara kami tak lagi menjadi tentara setelah dipecat pada 1958.
Usaha kami bergerak di bidang perkayuan. Kami mendapat hak pengelolaan hutan seluas 100 ribu hektare di Maluku. Pada 1967 itu lahir Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Jadi, intinya, kami bantu pengusaha asing soal pengetahuan lokal. Waktu gerilya Permesta, kami akrab dengan hutan. Lumayan juga hasilnya.
Meski kami memiliki akses kepada kekuasaan, tak mudah bagi kami untuk mendapatkan proyek. Kami diperlakukan sama dengan lainnya. Tak jarang kami disuruh menunggu lima atau enam jam. Itu pun sering batal dan disuruh kembali esok hari. Hasil yang kami dapat di masa itu sungguh lumayan. Bahkan kami sempat membantu mencarikan dana untuk kawan-kawan, termasuk ketika Soeharto di awal pemerintahannya kesulitan dana operasional. Ada untungnya usaha kami jauh dari kekuasaan. Ketika Soeharto akhirnya lengser dan hartanya dikejar, kami aman-aman saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo