BEKAS Ketua Badan Sensor Film (1968-1973 RI Soetarto, Jumat
pekan lalu beroleh bintang emas 15 gram dari Menteri Penerangan.
Orang tua 67 tahun itu diakui sebagai sesepuh Pusat Produksi
Film Negara. Banyak yang telah dikerjakannya sejak ia aktif di
bidang film (1936), di samping sebagai wartawan lepas penerbitan
antara lain Soeara Oemoem dan Pemandangan (1934-1941).
Sebagai juru kamera pada Nippon Eiga Sha (yang kemudian diambil
alih begitu Jepang menyerah, dan diubah menjadi Berita Film
Negara, 6 Oktober 1945), ada satu hal yang disesalinya. Yakni
bahwa ia tak berhasil membuat film dokumentasi proklamasi 17
Agustus. "Kunci-kunci gudang tempat peralatannya dibawa kabur
pegawai-pegawai Jepang yang antirepublik," ujarnya.
Yang berhasil diabadikannya antara lain pertempuran Palagan,
peristiwa 5 hari di Semarang, Hari Pahlawan 1945 di Surabaya,
Jepang di Pulau Galang sebelum dipulangkan, Bung Karno dan Bung
Hatta ketika dibuang ke Pulau Bangka, pengunduran Belanda dari
Yogya, Konperensi Meja Bundar dan rapat raksasa Ikada. Semua
film yang dibikin, "dengan diputar pakai tangan karena takada
baterai" itu, disimpan di PPFN -- yang pernah diketuainya selama
1950-1964.
Ia pulalah yang jadi ketua Panitia Perencana Pendirian TVRI,
1961 -- yang setelah itu seakan dilupakan orang. "Bahkan pihak
TVRI setiap kali merayakan ulang tahunnya nggak pernah
mengundang saya," katanya. "Tapi biarlah, saya tak mau ambil
pusing."
Ditemui di rumahnya di bilangan Menteng, ayah 2 anak itu mengaku
"kini tak punya kegiatan apa-apa." Kecuali barangkali mengurus
herdernya yang empat ekor. Namun ia tetap kelihatan penuh
semangat dan kukuh pendirian. Tentang film Romusha, yang ketika
ia jadi Ketua BSF diloloskannya (1972), ia bilang: "Saya tidak
mau menarik lagi tanda tangan saya. Mau ditaruh di mana muka
saya?"
Film itu, meski sudah diloloskan BSF, ternyata dilarang beredar
di sini. Sebab konon ketika film itu beredar di Malaysia, timbul
kontroversi. Dan Kopkamtib, Bakin serta leppen lantas
mengundang Soetarto. Rundingan berlangsung tiga hari tiga malam,
tanpa Soetarto berubah sikap.
"Penyensoran film adalah tugas mutlak lSF," katanya. "Kalau
film itu dianggap bermotifkan politik, terserah. Tapi,
seharusnya film itu juga film Saijah dan Adinda, jangan dilihat
dari kacamata sekarang. Pelajari sejarah!" katanya, sambil
mengingatkan bahwa batas waktu pelarangan peredaran Romusha itu
sebenarnya sudah habis tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini