Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Menerima bintang emas dari menpen

Rm sutarto, 67, mendapat bintang emas dari menpen di zaman revolusi disamping sebagai wartawan lepas juga bekerja sebagai juru kamera nippon eiga sha, yang kemudian diubah menjadi berita film negara.

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEKAS Ketua Badan Sensor Film (1968-1973 RI Soetarto, Jumat pekan lalu beroleh bintang emas 15 gram dari Menteri Penerangan. Orang tua 67 tahun itu diakui sebagai sesepuh Pusat Produksi Film Negara. Banyak yang telah dikerjakannya sejak ia aktif di bidang film (1936), di samping sebagai wartawan lepas penerbitan antara lain Soeara Oemoem dan Pemandangan (1934-1941). Sebagai juru kamera pada Nippon Eiga Sha (yang kemudian diambil alih begitu Jepang menyerah, dan diubah menjadi Berita Film Negara, 6 Oktober 1945), ada satu hal yang disesalinya. Yakni bahwa ia tak berhasil membuat film dokumentasi proklamasi 17 Agustus. "Kunci-kunci gudang tempat peralatannya dibawa kabur pegawai-pegawai Jepang yang antirepublik," ujarnya. Yang berhasil diabadikannya antara lain pertempuran Palagan, peristiwa 5 hari di Semarang, Hari Pahlawan 1945 di Surabaya, Jepang di Pulau Galang sebelum dipulangkan, Bung Karno dan Bung Hatta ketika dibuang ke Pulau Bangka, pengunduran Belanda dari Yogya, Konperensi Meja Bundar dan rapat raksasa Ikada. Semua film yang dibikin, "dengan diputar pakai tangan karena takada baterai" itu, disimpan di PPFN -- yang pernah diketuainya selama 1950-1964. Ia pulalah yang jadi ketua Panitia Perencana Pendirian TVRI, 1961 -- yang setelah itu seakan dilupakan orang. "Bahkan pihak TVRI setiap kali merayakan ulang tahunnya nggak pernah mengundang saya," katanya. "Tapi biarlah, saya tak mau ambil pusing." Ditemui di rumahnya di bilangan Menteng, ayah 2 anak itu mengaku "kini tak punya kegiatan apa-apa." Kecuali barangkali mengurus herdernya yang empat ekor. Namun ia tetap kelihatan penuh semangat dan kukuh pendirian. Tentang film Romusha, yang ketika ia jadi Ketua BSF diloloskannya (1972), ia bilang: "Saya tidak mau menarik lagi tanda tangan saya. Mau ditaruh di mana muka saya?" Film itu, meski sudah diloloskan BSF, ternyata dilarang beredar di sini. Sebab konon ketika film itu beredar di Malaysia, timbul kontroversi. Dan Kopkamtib, Bakin serta leppen lantas mengundang Soetarto. Rundingan berlangsung tiga hari tiga malam, tanpa Soetarto berubah sikap. "Penyensoran film adalah tugas mutlak lSF," katanya. "Kalau film itu dianggap bermotifkan politik, terserah. Tapi, seharusnya film itu juga film Saijah dan Adinda, jangan dilihat dari kacamata sekarang. Pelajari sejarah!" katanya, sambil mengingatkan bahwa batas waktu pelarangan peredaran Romusha itu sebenarnya sudah habis tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus