LIMA puluhan pasukan suku Asmat menyerbu Rahayu Effendi di restoran Dali-Dali, Kebayoran Baru, Rabu malam pekan lalu. "Dor momo . . ." teriak yang diserang. Merasa disambut dengan bahasa kebesaran suku Asmat (dor momo kira-kira semacam selamat datang), salah seorang dari kaum Asmat itu ganti berteriak: "Ho ... Ibu Rahayu, cantik bunuh .... Bunuh? Mbak Yayuk, 43 kini, tertegun sesaat. Orang Asmat itu memang memasuki restoran dengan membawa tombak dan kapak, dengan wajah coreng-moreng, dan bulu-bulu di kepala. Tapi, percayalah, mereka orang baik-baik dan juga paham bahasa Indonesia. Melihat tuan rumah tertegun, seseorang menjelaskan, "bunuh itu sama dengan nian, jadi cantik nian." Mbak Yayuk tersenyum, cantik. Dan, eh, bergiliran orang Asmat itu diciumi pipinya. Kegembiraan ala Asmat segera berlangsung. Mbak Yayuk diajak menari. Tata lampu restoran yang diatur ala disko membuat suasananya mirip adegan tari cak Bali. Pada akhir tarian, Rahayu Effendi diangkat menjadi Kepala Desa Sawa Erma - asal orang Asmat ini. Ia diberi kapak. Lalu, "Hou ... hou ... aouuu ..." teriak Mbak Yayuk mengucapkan sumpah, bagai harimau mengaum. "Saya heran, mengapa film-film yang dibuat selama ini selalu menonjolkan keprimitifan suku Asmat. Ini 'kan bertentangan dengan Pancasila," pidato Kepala Desa Sawa Erma itu kemudian, didampingi anggota suku yang semuanya bertelanjang dada. Ia lantas menjelaskan maksudnya mengundang saudaranya orang Asmat, yaitu keinginannya membuat film yang menonjolkan kemajuan suku Asmat. "Suku Asmat sudah mengenal koperasi, rumah-rumah mereka sudah ada jendelanya. Pokoknya, Pancasilais, deh." Hou . . . Hou ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini