DI hari Dr. Johannes Leimena dikuburkan di Taman Pahlawan
Kalibata-Rabu, 30 Maret - Dr. Subandrio turun ke Jakarta.
Keperluan: menyumban darah untuk rekan setahanannya yan akan
mengalami operasi. Salah seoran yang kebetulan bertemu, bergurau
dan bertanya kepada bekas Menlu yang rambutnya masih hitam ini:
"Bapak enggak ngelayat Pak Leimena? Kan sama-sam Orla".
Subandrio (pernah dia berkata "Saya kepengin naik haji. Dulu
itu, cuma ikut-ikutan"), menjawab cepat: Bagaimana sama-sama
Orla. Dia di luar saya di dalam".
Selasa pagi tanggal 29 Maret lalu Oom Jo, demikian panggilan
akrab untuk Leimena, meninggal dunia. Sejak akhir tahun lalu,
Oom Jo menderita berbagai penyakit. Tapi, dugaan, yang
membuatnya fatal adalah pecahnya urat nadi utama di perut
(aneurisma aorta).
Lahir di Amboina tanggal 6 Maret 1905, Oom Jo adalah dokter
lulusan Stovia -- tahun 1930. Setelah menjadi pimpinan
rumahsakit-rumahsakit Bandung, Purwakarta dan Tangerang Oom Jo
berhasil mempertahankan disertasinya (tentang pelayanan medis di
pedesaan dengan turut sertanya pada bidang dan dukun beranak) di
tahun 1939 untuk gelar doktor.
Setelah 1940 Oom Jo banyak berkecimpung dalam dunia pergerakan
dalam politik. Jadi ketua umum Jong Ambon (1943), salah seorang
pendiri Parkindo dan turut dalam Komite Nasional Indonesia
(1946). Ketika RI mengadakan perundingan dengan Belanda, Oom Jo
ditunjuk sebagai ketua Panitia Militer. Anggotanya waktu itu
Suryadan (almarhum), Subyakto (kolonel dan sekarang laksamana
laut), Daan Yah (kemudian hari gubernur militer Jakarta Raya),
dan sekretaris M.T. Haron (letnan jenderal yang dibunuh G-30-S,
1965) serta T.B. Simatupang.
Karir Johannes Leimena sejak 1950: 6 kali jadi wakil perdana
menteri, 11 kali jadi menteri (10 kali jadi menteri kesehatan),
anggota DPR hasil Pemilu 1955, wakil ketua III Dewan
Konstituante dan yang terakhir penjabat ketua Dewan
Pertimbangan Agung (1966-1968).
Menikah dengan wanita Jawa Barat, ayah 8 orang anak ini terkenal
sabar, sederhana dan selalu tekun melaksanakan tugas yang
dibebankan. Orang yang beriman ini rasanya tidak pernah marah.
Rekan-rekannya banyak yang berpendapat bahwa kalau Oom Jo
memimpin rapat, biasanya rapat tidak cepat berakhir karena dia
memberi kesempatan kepada setiap yang hadir untuk bicara apa
saja. Membiarkan dan menghormati pendirian orang, Oom Jo ada
kalanya dicap sebagai tokoh yang tidak punya pendirian.
Sering, kalau keadaan sudah kalut, dengan tenangnya Oom Jo
mengacungkan tangan dan berkata: "Rustig, tustig!" Itu saja. TB
Simatupang menilai sikap tenang Oom Jo ini banyak gunanya. Tulis
Pak Sim dalam Sinar Hatapan: "Tanpa seorang ketua yang bersikap
lebih rustig, maka besar kemungkinan pertemuan-pertemuan dengan
pihak Belanda (waktu itu) dapat menjadi terlalu hangat".
Juga pada saat-saat kritis di sekitar tanggal 1 Oktober 1965.
Sejarah mungkin akan jadi lain kalau Oom Jo waktu itu, di Halim
Perdanakusuma, tidak behasil mendorong Bung Karno masuk mobil
untuk pulang saja ke Bogor daripada terbang ke Yogya. Oom Jo
turut hadir dalam rapat kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober yang
dihadiri oleh tokoh PKI Lukman dan Nyoto, di Bogor. Almarhum
jugalah yang menyertai Sri Sultan Hamengkubuwono tanggal 12
Maret 1966 ke Bogor, dan meyakinkan Bung Karno bahwa
keselamatannya akan tetap dijamin kalau Bung Karno kembali ke
Jakata.
Jasadnya dari RS Gatotsubroto dibaringkan di rumah kediamannya
di Menteng. Disembahyangkan di gereja Paulus dan dihantar oleh
berbagai lapisan masyarakat ke Kalibata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini