DALAM minggu lalu tiga orang anggota Dewan Pertimbangan Agung
telah berangkat ke Hanoi untuk menyaksikan dari dekat
perkembangan negara tersebut. Sebelum ke Hanoi mereka singgah
dulu di Vientiane (Laos) dan Rangoon (Birma).
Kunjungan ketiga anggota lembaga tinggi negara tersebut boleh
jadi merupakan suatu langkah ke arah pendekatan antara Indonesia
dengan negara-negara di Indo Cina. Di bawah ini kami sampaikan
perkembangan terakhir di tiga negara Indo Cina tersebut.
Pergantian pimpinan di Washington telah membawa udara baru dalam
diplomasi Amerika. Ini kelihatan, setidak-tidaknya, dalam sikap
baru yang dianut pemerintah Carter terhadap Vietnam. Demikianlah
pada 16 Maret suatu missi utusan Presiden Carter yang terdiri
dari lima orang di bawah pimpinan Leonard Woodcock - tokoh
Persatuan Buruh Mobil Amerika - telah tiba di Hanoi.
"Komisi Lima" tersebut resminya bertugas untuk menghitung dan
mencari data sekitar serdadu-serdadu Amerika yang "hilang dalam
pertempuran" semasa Perang Vietnam. Namun, menurut beberapa
kalangan, missi khusus tersebut dibebani tugas lain lebih
penting yang mungkin akan merubah wajah Vietnam.
Sebuah berita dari Hanoi pekan silam mengatakan, bahwa dalam
suatu wawancara Woodcock menerangkan, pemerintah Hanoi telah
menyerahkan kerangka dari 12 serdadu Amerika yang sebelumnya
dinyatakan hilang. Selain dari itu Woodcock mengungkapkan bahwa
delegasi yang dipimpinnya, bersama dengan pemerintah Vietnam
telah membentuk suatu koordinasi untuk menyelusuri jejakjejak
mereka yang hilang dalam perang. Tetapi di samping itu, kata
Woodcock, koordinasi tersebut bertugas pula untuk mencari jalan
ke arah kemungkinan normalisasi hubungan Washington-Hanoi.
Bisnis Amerika
Dugaan kuat mengatakan bahwa langkah pemerintah Carter ini
sedikit banyak merupakan hasil desakan berbagai kalangan bisnis
Amerika. Perusahaan-perusahaan minyak sangat bernafsu untuk
mengadakan perundingan dengan para penguasa Hanoi. Mereka memang
sudah didahului oleh perusahaan-perusahaan minyak Perancis,
Jepang dan Jerman Barat.
Sebuah berita dalam The Asian Wall Street Journal menyebut
Vietnam sebagai "kantong rezeki di Asia untuk masa datang".
Walau ada perundingan dengan maskapai-maskapai minyak yang bukan
Amerika, tak pelak lagi, Hanoi akan sangat tertarik oleh
teknologi pengeboran di lautan dalam yang hanya dimiliki oleh
Amerika.
Para ahli minyak menaksir, besar kemungkinan akan didapatkan
deposit minyak yang memadai di lepas pantai negara itu. Karena
itu banyak laporan yang mengatakan bahwa beberapa maskapai
minyak Amerika telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan mendalam
dengan pihak resmi Vietnam di Paris dan Singapura.
Ada yang-mengungkapkan tentang dua perusahaan Amerika yang
bertindak lebih jauh. Kedua perusahaan itu mengirimkan kurir
untuk berunding secara langsung dengan para pemimpin Vietnam di
Hanoi. Dengan demikian mereka telah melanggar peraturan embargo
dan larangan berdagang Amerika dengan negara itu.
Simpati Internasional
Di pihak lain, sekutu-sekutu Amerika sejak lama telah mencoba
meyakinkan para pemimpin Washington, bahwa sikap ogah berunding
atau memusuhi Vietnam tak akan ada gunanya. Hasilnya malahan
akan kontra-produktif. Sebagai misal mereka menunjukkan, dua
kali veto yang dilakukan Amerika di PBB untuk memblokir
keanggotaan Vietnam, malahan telah menciptakan simpati
internasional yang luas kepada negara itu.
Missi Woodcock dengan demikian dianggap sebagai suatu langkah
untuk menjinakkan isyu eksplosif mengenai "tentara yang hilang
di Vietnam" yang beredar dalam masyarakat Amerika. Jadi
pengiriman missi Woodcock pada dasarnya bisa dianggap sebagai
konsumsi domestik Amerika.
Laporan missi yang menyenangkan akan memberi jalan ke arah
pembatalan embargo dan pelarangan dagang dengan Vietnam. Kalau
ini beres, ikatan diplomatik bisa menyusul.
"Langkah maju" Amerika ini rupanya bersamaan waktunya dengan
mulai dianutnya "politik pintu terbuka" oleh Hanoi. Tak syak
lagi, Vietnam sedang menghadapi tugas berat membangun kembali
negaranya yang hampir hancur karena perang. Inilah yang terletak
di muka para penguasa negeri itu untuk ditangani: pemulihan
ketertiban, distribusi penduduk dan pembangunan ekonomi.
Ketertiban mungkin belum pulih betul. Laporan-laporan intel
mengabarkan bahwa perlawanan bekas-bekas pasukan bersenjata
rezim lama masih ada. Kabarnya, baru-baru ini para pembangkang
itu telah berhasil meledakkan jalan kereta api penghubung
Utara-Selatan yang pembangunannya baru saja rampung.
Masalah distribusi penduduk dan pembangunan ekonomi menduduki
tempat utama. Ini jelas sekali dibeberkan oleh Perdana Menteri
Pham Van Dong pada Kongres ke-4 Partai Lao Dong (Partai Pekerja)
yang berlangsung akhir tahun lalu.
Pada kongres partai yang baru berlangsung sejak 17 tahun
terakhir ini Pham membeberkan Rencana Lima Tahun Pembangunan
Ekonomi. Yang jadi tugas besar menurut perdana menteri adalah
pendaya-gunaan kurang lebih empat juta penganggur. Caranya
dengan menyebarkan kembali penduduk dan supaya distribusi
penduduk bisa merata. Keempat juta orang itu, kata Pham, harus
disalurkan ke bidang pertanian dan industri.
Jelas bahwa pembangunan memerlukan modal dan teknik. Keduanya
tidak dimiliki oleh Hanoi. Moskow dan Peking sejak berakhirnya
perang telah mengurangi jumlah bantuannya kepada Hanoi. Tak ada
jalan lain bagi Hanoi daripada beralih ke negara-negara
kapitalis Barat, terutama Amerika.
Rencana peraturan penanaman modal asing yang sudah beredar sejak
beberapa bulan ini akan merupakan daya tarik bagi para penanam
modal asing. Bahkan rencana peraturan itu disebut sebagai
peraturan yang paling "liberal" yang pernah dibuat oleh sebuah
negara sosialis.
Salah satu bagian dari peraturan mengizinkan partisipasi modal
asing minimum 30% dan maksimum 49% dalam perusahaan-perusahaan
bersama yang mengusahakan minyak dan pertambangan. Apabila usaha
itu hanya pada bidang ekspor, maka para parner asing malahan
boleh memiliki modalnya sampai 100%. Izin usaha diberikan
berkisar antara 10 sampai 15 tahun. Apabila ada tindakan
nasionalisasi, maka si pemilik modal asing dijamin akan mendapat
penggantian. Sikap terhadap Amerika tidak keras lagi. Bahkan
seolah olah para penguasa Hanoi ingin melupakan masa lalu
tatkala kedua bangsa itu saling bunuh.
Sungguh menarik, keterbukaan terhadap Amerika ini ditandai pula
oleh lambang-lambang tertentu. Suatu siaran radio dari Vietnam
yang berhasil dimonitor di Bangkok baru-baru ini mengabarkan
bahwa motto a la Kennedy yang terkenal kini telah jadi lambang
bagi para remaja Vietnam dalam membangun tanah air. Kutipan
Kennedy itu berbunyi: "Jangan tanyakan apa yang negerimu dapat
perbuat untukmu, tanyakan apa yang dapat kau perbuat untuk
negerimu". Tentu saja ini dalam bahasa Vietnam dan dimanipulir
jadi kutipan kata-kata Le Duan, sekretaris jenderal partai,
mungkin karena Kennedy lah orangnya yang memulai keterlibatan
Amerika di Vietnam.
Pendeknya bisa dikatakan bahwa seperti RRC -, tetangganya di
sebelah Utara -- Hanoi sedang menjalankan kebijakasanaan
pragmatis dengan pembangunan ekonomi sebagai titik perhatian
mereka. Sikap ini bukannya tidak mengundang kekhawatiran dan
gerutuan para penganut radikalisme kiri. Bisa disebut misalnya
Cheryl Payer, itu pengarang buku The Debt Trap, yang
mengkhawatirkan Hanoi sedang menempuh jalan "komunisme goulash",
seperti para penguasa di Moskow.
Menarik pula untuk mengikuti perkembangan situasi umum di Indo
Cina setelah perang selesai. Vietnam tadinya disangka akan jadi
bocah nakal di kawasan ini. Dan kecurigaan ini cukup beralasan.
Data yang dikumpulkan oleh Institute of Strategic Studies
menunjukkan bahwa di awal tahun 1975 Vietnam Utara memiliki
kira-kira 583.000 serdadu yang bersenjata lengkap. Ini ditambah
dengan 20.000 pasukan keamal-an dan polisi rahasia serta 1,5
juta milisi.
Senjata bukan soal untuk Vietnam. Menurut taksiran Pentagon,
dalam bulan Maret-April 1975 saja Amerika telah menuangkan
peralatan perang seharga Amerika $ 3 bilyun. Ke dalamnya
termasuk pesawat-pesawat pemburu, pembom, helikopter, tank-tank,
senjata berat, senjata ringan serta beratus ribu ton amunisi.
Diperkirakan bahwa dari pesawat-pesawat terbang saja, Vietnam
bisa membangun - di atas kertas - suatu angkatan udara nomor
empat di dunia.
Ada lagi ketakutan dari negara-negara Asia Tenggara lain, bahwa
senjata-senjata itu bisa diekspor dan dipakai untuk
mempersenjatai para pemberontak komunis. Tapi di luar dugaan,
Vietnam ternyata merupakan negara yang paling tenang di kawasan
ini. Ia lebih memperhatikan konsolidasi ke dalam ketimbang
mengejar ambisi untuk menjadi kekuatan dominan di kawasan ini.
Dalam kongres partai di bulan Desember tahun lalu, para
pemimpinnya sedikit sekali menyinggung masalah
pemberontak-pemberontak komunis di beberapa negara Asia
Tenggara.
Dalam menanamkan pengaruhnya di Selatan pun, para penguasa Hanoi
tidak menjalankan kekerasan dan balas dendam seperti yang telah
dilakukan oleh Khmer Merah di Kamboja. Memang terjadi pemindahan
penduduk dari kota-kota besar, tapi itu dilakukan tanpa
kekerasan. Bekas-bekas pegawai pemerintah Thieu dan para perwira
tentara rezim lama - sampai ke jenderal-jenderalnya - tidak
dibunuh. Mereka malahan "dididik kembali" agar bisa berguna
untuk "masyarakat baru" Vietnam.
Akan halnya Kamboja tak banyak yang diketahui. Menurut
laporan-laporan terakhir, para penguasa baru masih sibuk dengan
kampanye "anti kota". Penduduk didistribusikan kembali terutama
ke daerah-daerah pertanian yang semasa perang berkecamuk
terlantar.
Menjadi teka-teki mengenai maksud Kamboja membuat
insiden-insiden perbatasan dengan Thailand. Ada yang berpendapat
bahwa komunikasi di negeri tersebut demikian sukarnya sehingga
pemerintah pusat tidak dapat memberikan perbekalan atau pun
menguasai kesatuan-kesatuan Khmer Merah yang ada di daerah
perbatasan Thailand. Tentara yang kekurangan makan itulah yang
menyerbu wilayah Thailand. Ada pula yang mengatakan bahwa sikap
keras Kamboja terhadap Thailand ini erat hubungannya dengan
tindakan keras Thailand terhadap kaum komunis dan anasiranasir
kiri lainnya.
Tapi akhir-akhir ini terlihat gejala bahwa Kamboja pun mulai
membuka diri. Ieng Sari, wakil perdana menteri yang juga
mengurus soal-soal hubungan dengan luar negeri baru saja
mengadakan kunjungan ke Singapura dan Malaysia. Diharapkan bahwa
langkah ini akan memulai suatu babak baru dalam hubungan antara
negeri itu dengan negaranegara Asia Tenggara lainnya.
Laos yang biasanya tenang baru-baru ini dilanda pergolakan.
Bekas raja Savang Vathana telah ditahan oleh pemerintah komunis.
Ia dituduh terlibat dalam komplotan untuk menggulingkan
pemerintah. Peristiwanya bermula dari pertempuran sengit yang
berkecamuk antara sisa-sisa pasukan kanan dengan tentara
pemerintah. Insiden itu terjadi di daerah sekitar Vientiane.
Penangkapan Savang Vathana diduga untuk mencegah jangan sampai
para pemberontak menjadikan bekas raja tersebut sebagai lambang
pemersatu. Berita lain mengatakan bahwa bekas raja itu telah
dijatuhi hukuman mati oleh suatu pengadilan militer.
Sibuk dengan "golongan kanan" penguasa komunis Laos tidak pula
lupa berusaha untuk mengadakan pendekatan dengan Amerika.
Pasalnya gemersik lembaran dolar juga. Tadinya hubungan
Viantiane-Washington sedikit terhalang, dengan belum didapatnya
data sekitar 500 serdadu Amerika yang hDang. Untuk menunjukkan
bahwa mereka sudi bekerja sama, para penguasa Laos bersedia
menerima kedatangan panitia kecil Kongres Amerika untuk
mengadakan penyelidikan. Apabila soal ini terselesaikan,
terbukalah kesempatan untuk mendapat bantuan Washington bagi
membangun kembali Laos, seperti yang disyaratkan oleh perjanjian
Paris di tahun 1973.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini