Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengintip ke dalam alam ho ci-minh

Presiden carter mengirim utusannya ke vietnam yang ditugaskan menghitung dan mencari data serdadu as yang hilang dalam perang vietnam.

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM minggu lalu tiga orang anggota Dewan Pertimbangan Agung telah berangkat ke Hanoi untuk menyaksikan dari dekat perkembangan negara tersebut. Sebelum ke Hanoi mereka singgah dulu di Vientiane (Laos) dan Rangoon (Birma). Kunjungan ketiga anggota lembaga tinggi negara tersebut boleh jadi merupakan suatu langkah ke arah pendekatan antara Indonesia dengan negara-negara di Indo Cina. Di bawah ini kami sampaikan perkembangan terakhir di tiga negara Indo Cina tersebut. Pergantian pimpinan di Washington telah membawa udara baru dalam diplomasi Amerika. Ini kelihatan, setidak-tidaknya, dalam sikap baru yang dianut pemerintah Carter terhadap Vietnam. Demikianlah pada 16 Maret suatu missi utusan Presiden Carter yang terdiri dari lima orang di bawah pimpinan Leonard Woodcock - tokoh Persatuan Buruh Mobil Amerika - telah tiba di Hanoi. "Komisi Lima" tersebut resminya bertugas untuk menghitung dan mencari data sekitar serdadu-serdadu Amerika yang "hilang dalam pertempuran" semasa Perang Vietnam. Namun, menurut beberapa kalangan, missi khusus tersebut dibebani tugas lain lebih penting yang mungkin akan merubah wajah Vietnam. Sebuah berita dari Hanoi pekan silam mengatakan, bahwa dalam suatu wawancara Woodcock menerangkan, pemerintah Hanoi telah menyerahkan kerangka dari 12 serdadu Amerika yang sebelumnya dinyatakan hilang. Selain dari itu Woodcock mengungkapkan bahwa delegasi yang dipimpinnya, bersama dengan pemerintah Vietnam telah membentuk suatu koordinasi untuk menyelusuri jejakjejak mereka yang hilang dalam perang. Tetapi di samping itu, kata Woodcock, koordinasi tersebut bertugas pula untuk mencari jalan ke arah kemungkinan normalisasi hubungan Washington-Hanoi. Bisnis Amerika Dugaan kuat mengatakan bahwa langkah pemerintah Carter ini sedikit banyak merupakan hasil desakan berbagai kalangan bisnis Amerika. Perusahaan-perusahaan minyak sangat bernafsu untuk mengadakan perundingan dengan para penguasa Hanoi. Mereka memang sudah didahului oleh perusahaan-perusahaan minyak Perancis, Jepang dan Jerman Barat. Sebuah berita dalam The Asian Wall Street Journal menyebut Vietnam sebagai "kantong rezeki di Asia untuk masa datang". Walau ada perundingan dengan maskapai-maskapai minyak yang bukan Amerika, tak pelak lagi, Hanoi akan sangat tertarik oleh teknologi pengeboran di lautan dalam yang hanya dimiliki oleh Amerika. Para ahli minyak menaksir, besar kemungkinan akan didapatkan deposit minyak yang memadai di lepas pantai negara itu. Karena itu banyak laporan yang mengatakan bahwa beberapa maskapai minyak Amerika telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan mendalam dengan pihak resmi Vietnam di Paris dan Singapura. Ada yang-mengungkapkan tentang dua perusahaan Amerika yang bertindak lebih jauh. Kedua perusahaan itu mengirimkan kurir untuk berunding secara langsung dengan para pemimpin Vietnam di Hanoi. Dengan demikian mereka telah melanggar peraturan embargo dan larangan berdagang Amerika dengan negara itu. Simpati Internasional Di pihak lain, sekutu-sekutu Amerika sejak lama telah mencoba meyakinkan para pemimpin Washington, bahwa sikap ogah berunding atau memusuhi Vietnam tak akan ada gunanya. Hasilnya malahan akan kontra-produktif. Sebagai misal mereka menunjukkan, dua kali veto yang dilakukan Amerika di PBB untuk memblokir keanggotaan Vietnam, malahan telah menciptakan simpati internasional yang luas kepada negara itu. Missi Woodcock dengan demikian dianggap sebagai suatu langkah untuk menjinakkan isyu eksplosif mengenai "tentara yang hilang di Vietnam" yang beredar dalam masyarakat Amerika. Jadi pengiriman missi Woodcock pada dasarnya bisa dianggap sebagai konsumsi domestik Amerika. Laporan missi yang menyenangkan akan memberi jalan ke arah pembatalan embargo dan pelarangan dagang dengan Vietnam. Kalau ini beres, ikatan diplomatik bisa menyusul. "Langkah maju" Amerika ini rupanya bersamaan waktunya dengan mulai dianutnya "politik pintu terbuka" oleh Hanoi. Tak syak lagi, Vietnam sedang menghadapi tugas berat membangun kembali negaranya yang hampir hancur karena perang. Inilah yang terletak di muka para penguasa negeri itu untuk ditangani: pemulihan ketertiban, distribusi penduduk dan pembangunan ekonomi. Ketertiban mungkin belum pulih betul. Laporan-laporan intel mengabarkan bahwa perlawanan bekas-bekas pasukan bersenjata rezim lama masih ada. Kabarnya, baru-baru ini para pembangkang itu telah berhasil meledakkan jalan kereta api penghubung Utara-Selatan yang pembangunannya baru saja rampung. Masalah distribusi penduduk dan pembangunan ekonomi menduduki tempat utama. Ini jelas sekali dibeberkan oleh Perdana Menteri Pham Van Dong pada Kongres ke-4 Partai Lao Dong (Partai Pekerja) yang berlangsung akhir tahun lalu. Pada kongres partai yang baru berlangsung sejak 17 tahun terakhir ini Pham membeberkan Rencana Lima Tahun Pembangunan Ekonomi. Yang jadi tugas besar menurut perdana menteri adalah pendaya-gunaan kurang lebih empat juta penganggur. Caranya dengan menyebarkan kembali penduduk dan supaya distribusi penduduk bisa merata. Keempat juta orang itu, kata Pham, harus disalurkan ke bidang pertanian dan industri. Jelas bahwa pembangunan memerlukan modal dan teknik. Keduanya tidak dimiliki oleh Hanoi. Moskow dan Peking sejak berakhirnya perang telah mengurangi jumlah bantuannya kepada Hanoi. Tak ada jalan lain bagi Hanoi daripada beralih ke negara-negara kapitalis Barat, terutama Amerika. Rencana peraturan penanaman modal asing yang sudah beredar sejak beberapa bulan ini akan merupakan daya tarik bagi para penanam modal asing. Bahkan rencana peraturan itu disebut sebagai peraturan yang paling "liberal" yang pernah dibuat oleh sebuah negara sosialis. Salah satu bagian dari peraturan mengizinkan partisipasi modal asing minimum 30% dan maksimum 49% dalam perusahaan-perusahaan bersama yang mengusahakan minyak dan pertambangan. Apabila usaha itu hanya pada bidang ekspor, maka para parner asing malahan boleh memiliki modalnya sampai 100%. Izin usaha diberikan berkisar antara 10 sampai 15 tahun. Apabila ada tindakan nasionalisasi, maka si pemilik modal asing dijamin akan mendapat penggantian. Sikap terhadap Amerika tidak keras lagi. Bahkan seolah olah para penguasa Hanoi ingin melupakan masa lalu tatkala kedua bangsa itu saling bunuh. Sungguh menarik, keterbukaan terhadap Amerika ini ditandai pula oleh lambang-lambang tertentu. Suatu siaran radio dari Vietnam yang berhasil dimonitor di Bangkok baru-baru ini mengabarkan bahwa motto a la Kennedy yang terkenal kini telah jadi lambang bagi para remaja Vietnam dalam membangun tanah air. Kutipan Kennedy itu berbunyi: "Jangan tanyakan apa yang negerimu dapat perbuat untukmu, tanyakan apa yang dapat kau perbuat untuk negerimu". Tentu saja ini dalam bahasa Vietnam dan dimanipulir jadi kutipan kata-kata Le Duan, sekretaris jenderal partai, mungkin karena Kennedy lah orangnya yang memulai keterlibatan Amerika di Vietnam. Pendeknya bisa dikatakan bahwa seperti RRC -, tetangganya di sebelah Utara -- Hanoi sedang menjalankan kebijakasanaan pragmatis dengan pembangunan ekonomi sebagai titik perhatian mereka. Sikap ini bukannya tidak mengundang kekhawatiran dan gerutuan para penganut radikalisme kiri. Bisa disebut misalnya Cheryl Payer, itu pengarang buku The Debt Trap, yang mengkhawatirkan Hanoi sedang menempuh jalan "komunisme goulash", seperti para penguasa di Moskow. Menarik pula untuk mengikuti perkembangan situasi umum di Indo Cina setelah perang selesai. Vietnam tadinya disangka akan jadi bocah nakal di kawasan ini. Dan kecurigaan ini cukup beralasan. Data yang dikumpulkan oleh Institute of Strategic Studies menunjukkan bahwa di awal tahun 1975 Vietnam Utara memiliki kira-kira 583.000 serdadu yang bersenjata lengkap. Ini ditambah dengan 20.000 pasukan keamal-an dan polisi rahasia serta 1,5 juta milisi. Senjata bukan soal untuk Vietnam. Menurut taksiran Pentagon, dalam bulan Maret-April 1975 saja Amerika telah menuangkan peralatan perang seharga Amerika $ 3 bilyun. Ke dalamnya termasuk pesawat-pesawat pemburu, pembom, helikopter, tank-tank, senjata berat, senjata ringan serta beratus ribu ton amunisi. Diperkirakan bahwa dari pesawat-pesawat terbang saja, Vietnam bisa membangun - di atas kertas - suatu angkatan udara nomor empat di dunia. Ada lagi ketakutan dari negara-negara Asia Tenggara lain, bahwa senjata-senjata itu bisa diekspor dan dipakai untuk mempersenjatai para pemberontak komunis. Tapi di luar dugaan, Vietnam ternyata merupakan negara yang paling tenang di kawasan ini. Ia lebih memperhatikan konsolidasi ke dalam ketimbang mengejar ambisi untuk menjadi kekuatan dominan di kawasan ini. Dalam kongres partai di bulan Desember tahun lalu, para pemimpinnya sedikit sekali menyinggung masalah pemberontak-pemberontak komunis di beberapa negara Asia Tenggara. Dalam menanamkan pengaruhnya di Selatan pun, para penguasa Hanoi tidak menjalankan kekerasan dan balas dendam seperti yang telah dilakukan oleh Khmer Merah di Kamboja. Memang terjadi pemindahan penduduk dari kota-kota besar, tapi itu dilakukan tanpa kekerasan. Bekas-bekas pegawai pemerintah Thieu dan para perwira tentara rezim lama - sampai ke jenderal-jenderalnya - tidak dibunuh. Mereka malahan "dididik kembali" agar bisa berguna untuk "masyarakat baru" Vietnam. Akan halnya Kamboja tak banyak yang diketahui. Menurut laporan-laporan terakhir, para penguasa baru masih sibuk dengan kampanye "anti kota". Penduduk didistribusikan kembali terutama ke daerah-daerah pertanian yang semasa perang berkecamuk terlantar. Menjadi teka-teki mengenai maksud Kamboja membuat insiden-insiden perbatasan dengan Thailand. Ada yang berpendapat bahwa komunikasi di negeri tersebut demikian sukarnya sehingga pemerintah pusat tidak dapat memberikan perbekalan atau pun menguasai kesatuan-kesatuan Khmer Merah yang ada di daerah perbatasan Thailand. Tentara yang kekurangan makan itulah yang menyerbu wilayah Thailand. Ada pula yang mengatakan bahwa sikap keras Kamboja terhadap Thailand ini erat hubungannya dengan tindakan keras Thailand terhadap kaum komunis dan anasiranasir kiri lainnya. Tapi akhir-akhir ini terlihat gejala bahwa Kamboja pun mulai membuka diri. Ieng Sari, wakil perdana menteri yang juga mengurus soal-soal hubungan dengan luar negeri baru saja mengadakan kunjungan ke Singapura dan Malaysia. Diharapkan bahwa langkah ini akan memulai suatu babak baru dalam hubungan antara negeri itu dengan negaranegara Asia Tenggara lainnya. Laos yang biasanya tenang baru-baru ini dilanda pergolakan. Bekas raja Savang Vathana telah ditahan oleh pemerintah komunis. Ia dituduh terlibat dalam komplotan untuk menggulingkan pemerintah. Peristiwanya bermula dari pertempuran sengit yang berkecamuk antara sisa-sisa pasukan kanan dengan tentara pemerintah. Insiden itu terjadi di daerah sekitar Vientiane. Penangkapan Savang Vathana diduga untuk mencegah jangan sampai para pemberontak menjadikan bekas raja tersebut sebagai lambang pemersatu. Berita lain mengatakan bahwa bekas raja itu telah dijatuhi hukuman mati oleh suatu pengadilan militer. Sibuk dengan "golongan kanan" penguasa komunis Laos tidak pula lupa berusaha untuk mengadakan pendekatan dengan Amerika. Pasalnya gemersik lembaran dolar juga. Tadinya hubungan Viantiane-Washington sedikit terhalang, dengan belum didapatnya data sekitar 500 serdadu Amerika yang hDang. Untuk menunjukkan bahwa mereka sudi bekerja sama, para penguasa Laos bersedia menerima kedatangan panitia kecil Kongres Amerika untuk mengadakan penyelidikan. Apabila soal ini terselesaikan, terbukalah kesempatan untuk mendapat bantuan Washington bagi membangun kembali Laos, seperti yang disyaratkan oleh perjanjian Paris di tahun 1973.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus