Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Okky Alparessi adalah penyandang buta warna.
Ia tak patah semangat saat gagal meraih impiannya, bahkan berprestasi dengan kekurangannya.
Ia mendirikan komunitas untuk membantu dan mengadvokasi penyandang buta warna agar tidak didiskriminasi.
Okky Alparessi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
---------
Para penyandang disabilitas buta warna rata-rata punya kisah serupa: mereka baru sadar tak bisa mengenali dan membedakan warna ketika menginjak usia dewasa. Kesadaran yang muncul terlambat itu, bagi penyandang buta warna, bisa menjadi semacam pukulan yang menyakitkan. Sebab, saat mereka baru tahu bahwa penglihatan mereka tak normal, aneka cita-cita dan impian yang diidamkan sejak kecil menjadi runtuh seketika.
Hal ini dialami Okky Alparessi, pria yang berprofesi sebagai model dan dosen di The London School of Public Relations & Business Institute (LSPR), Jakarta. Sewaktu masih duduk di bangku SMP, Okky menyaksikan harapan keluarganya pupus saat kakak pertama Okky gagal masuk akademi militer karena diketahui menyandang buta warna.
“Dulu kakakku itu menjadi tumpuan harapan keluarga. Dia punya cita-cita menjadi tentara. Keluarga juga sangat mendukung,” kata Okky, 29 tahun, kepada Tempo, Jumat lalu. Kondisi itu baru diketahui keluarga dan kakak Okky begitu mengikuti tes seleksi masuk akademi militer. “Awalnya tidak ada yang menyadari.”
Pada saat yang sama, dokter yang memberi tahu hasil tes itu juga bertanya kepada orang tua Okky apakah ada anak laki-laki lain di keluarganya. Menurut sang dokter, kondisi yang dialami sang kakak juga berpeluang besar terjadi pada anggota keluarga laki-laki lain, yakni sang adik alias Okky. Kata dokter, peluang buta warna terjadi pada anggota keluarga lain sebesar 98 persen. Okky, yang masih duduk di bangku SMP, pun langsung menjalani tes buta warna. “Hasilnya, saya juga mengalami kondisi yang sama dengan kakak saya.”
Pria asal Binjai, Sumatera Utara, itu mengaku sempat sedih karena kondisinya itu. Sebab, saat itu ia berangan-angan bisa menjadi pilot. Tapi kesadaran akan kondisi itu membuat Okky belajar berdamai dan menetapkan cita-cita lain untuk masa depannya. “Aku beruntung tahu kondisiku ketika masih remaja, sehingga aku bisa menentukan bagaimana rencana masa depanku.” Ketika masuk SMA, Okky pun memilih jurusan ilmu pengetahuan sosial yang dianggap lebih aman untuk penyandang buta warna.
Model sekaligus dosen, Okky Alparessi mendirikan Warna Lain, komunitas peduli buta warna. Dok. Pribadi
Okky pun kemudian membuktikan bahwa ia tetap bisa berprestasi dengan kekurangannya itu. Ia menonjol di bidang akademik. Saat kuliah sarjana dan pascasarjana bidang komunikasi di LSPR, ia lulus lewat jalur akselerasi. Ia juga mendapatkan sertifikasi High Distinction Strategic Issues Management di Edith Cowan University. Kini, Okky bekerja sebagai dosen sekaligus head of marketing program pascasarjana di almamaternya.
Panggilan untuk membantu orang-orang yang punya kondisi serupa datang ketika Okky mengikuti kompetisi pencarian bakat L-Men of the Year pada 2020. Lewat ajang ini, Okky bercita-cita menginspirasi para penyandang buta warna agar tidak merasa minder dan bisa berdamai dengan kondisinya. Dalam kompetisi itu, Okky sempat memberikan pidato serta menceritakan pengalaman pribadi dan kakaknya ihwal kondisi buta warna di masa lalu. Okky pun keluar sebagai pemenang dan kisahnya dianggap inspiratif bagi banyak orang.
“Lewat ajang itu, aku merasa mendapatkan platform untuk membuat gerakan sosial bagi penyandang buta warna.” Pada 2020, Okky mendirikan komunitas Warna Lain untuk mengkampanyekan isu penyandang buta warna ke banyak orang sekaligus menjangkau para penyandang buta warna di Indonesia. Komunitas yang dimulai lewat media sosial Instagram (@Warnalain.id) itu rutin membagikan informasi ihwal kondisi buta warna.
Melalui platform media sosial itu, banyak penyandang buta warna menghubungi Okky melalui direct message. “Mereka rata-rata mengaku punya cerita yang sama dengan aku dan kakakku dulu, yakni baru sadar buta warna ketika dewasa,” tuturnya. Kepada Okky, mereka juga curhat sempat mengalami perasaan terpuruk ketika mengetahui kondisinya. “Rupanya, cerita mereka rata-rata sama. Hal ini menjadi motivasi tambahan buatku untuk terus mengkampanyekan isu buta warna.”
Bersama Warna Lain, Okky berencana menjangkau sekolah-sekolah tingkat SMP untuk mengkampanyekan tes buta warna. “Karena di Indonesia, tes buta warna lazimnya baru dilakukan ketika seseorang hendak masuk dunia kerja.” Dengan melakukan tes sejak usia dini, diharapkan anak-anak yang mengalami kondisi tersebut bisa menata masa depan mereka secara lebih baik.
Okky Alparessi dalam kegiatan Warna Lain. Dok. Pribadi
Sayangnya, pandemi Covid-19 keburu datang, sehingga rencana itu belum terealisasi secara maksimal. “Sejauh ini, aktivitas Warna Lain masih berfokus di media sosial, seperti mengadakan dialog dengan dokter atau penyandang buta warna lain yang punya kisah inspiratif.” Okky juga aktif mengadvokasi inklusivitas bagi para penyandang buta warna. “Lewat Warna Lain juga saya menyuarakan inklusivitas bagi penyandang buta warna, terutama di dunia kerja.”
Pasalnya, ia pernah punya pengalaman tak mengenakkan ketika mencari kerja. Ceritanya, pada 2017, Okky hendak melamar pekerjaan di sebuah instansi tapi ditolak karena tak lolos tes buta warna. Okky, yang sulit membedakan warna (buta warna parsial deuteranomaly) abu-abu dengan jambon serta hijau dengan cokelat, pun kecewa. Sebab, bidang pekerjaan yang ia lamar itu tak berkaitan dengan kemampuan membedakan warna.
Okky merasa miris saat ini masih banyak bidang pekerjaan yang mensyaratkan calon pelamarnya harus bebas buta warna. Padahal bidang pekerjaan itu tak berkaitan dengan kemampuan membedakan warna. “Pada dasarnya, kemampuan orang buta warna juga sama dengan orang biasa. Sama-sama bisa aktif dan produktif di bidang masing-masing,” kata dia.
Memang, ia menambahkan, ada beberapa bidang yang tak bisa dimasuki penyandang buta warna, seperti pilot, militer, kepolisian, dan bidang sains. Tapi banyak bidang lain tak membutuhkan kemampuan itu. “Aku berharap, dengan tumbuhnya kesadaran akan kondisi ini pada masyarakat, ke depan kondisi dunia kerja bisa menjadi lebih inklusif.”
Bagi penyandang buta warna, Okky berharap komunitas yang ia dirikan bisa menjadi wadah untuk berbagi, sehingga mereka tak lagi merasa minder dan malu-malu atas kondisinya. Saat ini, komunitas Warna Lain telah berkembang dan memiliki belasan sukarelawan yang mengurusi berbagai bidang. “Semoga setelah pandemi berakhir, kegiatan kami bisa semakin luas.”
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo