Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tercemar Vaksin Abal-abal

Polisi membongkar komplotan pemalsu vaksin yang telah beroperasi belasan tahun. Puluhan rumah sakit pun dilaporkan memakai vaksin yang tak jelas asal-usulnya.

11 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan itu bergegas masuk ketika mobil Tempo parkir di depan rumahnya pada Kamis dua pekan lalu. Sesaat kemudian ia mengeluarkan sepeda motor Yamaha Mio Z merah dari rumah nomor 31 di kompleks Taman Alamanda, Tambun Utara, Bekasi, itu.

Sewaktu Tempo bertanya tentang pemilik rumah bernama Juanda, perempuan itu menjawab, "Yang punya rumah pergi semua." Sambil mengunci pintu pagar, wanita berjilbab ini menambahkan, "Saya bukan siapa-siapa di sini."

Sejurus kemudian, wanita 30-an tahun itu tancap gas memboyong dua anak kecil yang sebelumnya bermain di depan rumah berkelir cokelat tersebut. Menurut beberapa tetangga, wanita itu tak lain istri Juanda. Pasangan ini tinggal di Taman Alamanda sejak 2000-an.

Polisi menangkap Juanda di rumahnya pada Kamis malam, 16 Juni lalu. Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Brigadir Jenderal Agung Setya, Juanda menjadi tersangka karena diduga terlibat pemalsuan vaksin. Dia menyalurkan vaksin abal-abal lewat CV Azka Medical. Di perusahaan ini, Juanda menjadi direktur utama. "Distribusinya ke apotek, klinik, dan rumah sakit," kata Agung.

Setelah menangkap Juanda, polisi meringkus Agus Priyatno, pembuat dan pemasok vaksin oplosan untuk Azka Medical, pada Rabu, 22 Juni. Agus ditangkap di rumah kontrakannya di kompleks Puri Bintaro Hijau Blok D 12 Nomor 4, Pondok Aren, Tangerang Selatan. Polisi menduga kedua orang ini masih satu jaringan.

Sejauh ini polisi berhasil mengendus empat komplotan pembuat dan pengedar vaksin palsu. "Jaringan Azka Medical salah satunya," kata Agung. Sebanyak 17 orang dari keempat jaringan itu telah menjadi tersangka. Polisi masih menelisik keterlibatan pelaku dan jaringan pemalsu vaksin lain. "Kasus ini masih kami kembangkan," ujar Agung.

Kemungkinan pemalsuan vaksin melibatkan jaringan lebih luas terungkap dalam rapat Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat pada 28 Juni lalu. Kala itu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan 37 rumah sakit dan klinik yang menggunakan vaksin dari sumber tak jelas. Sebagian besar rumah sakit swasta di Jakarta dan sekitarnya. Ada juga rumah sakit di kota lain, seperti Bandung.

l l l

Jaringan pemalsuan vaksin ini terungkap setelah Bareskrim Polri menerima laporan tentang kelangkaan pasokan cairan imunisasi tersebut. "Beberapa klinik dan apotek kehabisan stok." Sebaliknya, menurut laporan yang masuk ke meja polisi, ada sejumlah sarana kesehatan yang cadangan vaksinnya berlimpah. "Awalnya kami curiga ada penimbunan," kata Agung Setya.

Pada akhir April lalu, Direktorat Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim membentuk tim untuk menelusuri rantai produksi sampai distribusi vaksin. Tiga bulan terjun di lapangan, polisi menemukan jejak jaringan pemalsu vaksin yang sudah belasan tahun beroperasi. "Klinik atau apotek yang vaksinnya berlimpah rupanya dipasok jaringan itu," kata Agung. Mata rantai jaringan pemalsu yang paling awal tertangkap radar polisi adalah CV Azka Medical.

Badan Pengawas Obat pun rupanya telah mencium jejak Azka Medical sebagai distributor vaksin palsu. Kepala Subdirektorat Inspeksi dan Distribusi BPOM Eka Purnamasari menuturkan, pada Januari lalu, lembaganya menerima laporan dari PT Sanofi-Aventis Indonesia. Importir obat-obatan merek Sanofi asal Paris, Prancis, itu melaporkan dugaan peredaran vaksin palsu yang mencatut merek dagang mereka. Penelusuran BPOM pun menggiring mereka ke nama Azka Medical.

Tim BPOM lalu menggandeng satu rumah sakit di Jakarta untuk memesan vaksin dari Azka Medical. Benar saja, barang yang terkirim bermerek Sanofi. Tim BPOM kemudian menelusuri alamat Azka Medical di Jalan Raya Karang Satria Nomor 43, Tambun, Bekasi—seperti yang tercantum dalam identitas perusahaan tersebut. Hasilnya nihil. "Kami tak pernah menemukan kantor Azka Medical," kata Eka.

Penelusuran Tempo atas alamat Azka Medical juga mentok di sebuah rumah makan Padang dan bengkel mobil. Menurut polisi, Azka Medical memang memakai alamat palsu untuk menyamarkan keberadaan mereka. "Semua surat izin distribusi serta keterangan dari produsen obat juga palsu," kata Agung.

Kantor Azka Medical yang "asli" belakangan terlacak polisi. Kantor itu berupa rumah kontrakan seluas 25 meter persegi di kompleks Perumahan Bumi Sani Permai Nomor 10, Tambun, Bekasi. Namun sejumlah tetangga mengaku tak mengetahui aktivitas di dalamnya. "Yang kami tahu hanya ada lima orang tinggal di sana," kata seorang lelaki. Tetangga lain menyahut, "Kalau ditanya kerja di mana, jawabannya karyawan pabrik." Sehari-hari penghuni kompleks tak pernah melihat ada aktivitas mencurigakan di rumah itu.

Ketika Tempo menyambangi rumah kontrakan tersebut pada Kamis dua pekan lalu, seorang pemuda membukakan pintu pagar rumah. Namun ia bergegas pergi menggunakan sepeda motor ketika Tempo turun dari mobil. Sebelumnya, polisi menggeledah "kantor" tersebut pada 16 Juni lalu. Dari rumah ini polisi menyita ratusan jenis obat imunisasi palsu. Rinciannya: 195 botol vaksin hepatitis B, 221 paket vaksin pediacel, 364 vaksin campak kering, dan 81 sachet vaksin polio.

Seorang penyidik menuturkan, setidaknya ada dua rumah sakit dan dua klinik yang terendus membeli vaksin dari Azka Medical. Salah satunya Rumah Sakit Permata Bekasi. Polisi telah memanggil penanggung jawab rumah sakit ini pada Rabu, 22 Juni lalu. Pengurus rumah sakit ini belum bisa dimintai tanggapan. Ketika Tempo mengantar surat permohonan wawancara, Rabu dua pekan lalu, seorang petugas bagian pelayanan masyarakat mengatakan akan berembuk dulu dengan semua pengurus rumah sakit.

Setelah meringkus Juanda dan Agus, polisi mencokok penjual vaksin palsu bernama Thamrin di rumahnya di Jalan Manunggal, Kalisari, Jakarta Timur. Menurut Agung, Thamrin merupakan distributor untuk jaringan Hidayat Taufiqurrahman dan Rita Agustina. Pasangan suami-istri ini ditangkap di tempat tinggalnya di perumahan Kemang Pratama Regency, Bekasi, pada 22 Juni 2016.

Polisi kemudian menangkap penyalur vaksin palsu bernama Seno di Jalan Lampiri, Jatibening, Bekasi. Seno adalah pramuniaga yang bekerja untuk Syahrial, tersangka pembuat vaksin palsu lainnya. Syahrial ditangkap di Jalan Serma Hasyim, Bekasi Timur.

Terakhir, polisi mencokok Nur Aeni, pembuat vaksin palsu dari jaringan berbeda. Perburuan jaringan ini sempat tersendat karena dua distributornya kabur. Mereka adalah Sutarman dan Mirza. Keduanya baru ditangkap pada Selasa, 28 Juni lalu, di sebuah hotel di Semarang.

Berdasarkan penelusuran polisi, keempat jaringan yang terbongkar itu bekerja secara terpisah. "Mereka punya periuk sendiri-sendiri," kata Agung. Jaringan Azka Medical dicokok lebih awal karena mereka terbilang paling "nekat". Mereka berani mengedarkan vaksin palsu dengan bendera perusahaan. "Sedangkan yang lain hanya perorangan," kata Agung.

Pegawai Azka Medical, menurut seorang penyidik, juga aktif menawarkan vaksin tiruan ke klinik dan apotek di sekitar Jakarta. Padahal rumah sakit dan apotek di Ibu Kota biasanya meminta distributor menunjukkan surat izin resmi.

Juanda dan kawan-kawan tampaknya sudah mengantisipasi hal tersebut. Menurut seorang penyidik, kelompok ini memalsukan surat izin sebagai distributor dari Kementerian Kesehatan. Bahkan Azka Medical membuat portofolio yang menjelaskan "kesuksesan" mereka dalam menjual vaksin ke rumah sakit besar. "Mereka mencatut beberapa rumah sakit yang sudah punya nama agar sarana kesehatan percaya," kata penyidik ini.

Menurut polisi, vaksin palsu dari Azka Medical juga beredar melalui apotek dengan papan nama Ibnu Sina. Apotek ini beralamat di Pasar Kramat Jati, Blok B, Nomor 50, Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur. Polisi telah menggeledah tempat ini pada Selasa, 21 Juni 2016. Di sana polisi menyita 307 kemasan vaksin campak kering dan tetanus yang diduga palsu. Pemilik toko obat ini, Mohamad Farid, juga diciduk.

Di Pasar Kramat Jati, ada empat apotek bernama Ibnu Sina yang berdekatan. Tiga lainnya bernomor 49, 51, dan 66. Bayu, pemilik apotek Ibnu Sina nomor 50, mengatakan keempat apotek ini tidak berhubungan meski memakai nama yang sama. "Dulu, kalau enggak salah, memakai nama yang sama agar ngurus izinnya gampang," kata Bayu. Lelaki ini pun mengaku tak tahu-menahu bagaimana aktivitas apotek tetangganya.

Adapun kelompok Nur Aeni, misalnya, tak masuk ke klinik dan apotek yang "digarap" Azka Medical. Jaringan Nur Aeni memasok vaksin palsu ke tempat praktek bidan. Mereka, misalnya, menjual vaksin ke Elly Novita, bidan yang berpraktek di Jalan Centex Raya, Kelurahan Ciracas, Jakarta Timur. Menurut seorang penyidik, dalam catatan sang bidan sejak 2016, ada 48 anak balita yang diimunisasi dengan vaksin dari jaringan Nur Aeni. Polisi pun sudah menetapkan Elly sebagai tersangka.

Kepada penyidik, Nur Aeni mengaku membuat vaksin palsu sejak 2003. Jaringan Nur Aeni menjual vaksin merek impor dengan harga murah sehingga bidan bersedia membelinya. Elly, misalnya, membeli vaksin hepatitis palsu seharga Rp 180 ribu. Dia kemudian mematok tarif Rp 325 ribu untuk setiap kali pemberian vaksin. Di sejumlah rumah sakit, biaya imunisasi dengan vaksin ini rata-rata Rp 400 ribu.

Cara kerja kelompok Nur Aeni juga mirip dengan jaringan Azka Medical. "Mereka mengaku sebagai sales dari distributor resmi," kata seorang penyidik. Bedanya, kelompok Nur Aeni dan dua kelompok lain tidak sampai membuat perusahaan abal-abal seperti Azka Medical.

Menurut Agung, banyak juga petugas kesehatan dan apotek yang terkecoh. Soalnya, cara kerja jaringan pemalsu ini terbilang rapi. Kemasan vaksin oplosan, misalnya, dibuat sangat mirip dengan yang asli. Caranya, antara lain, mereka memakai botol bekas vaksin asli yang tak jadi dimusnahkan rumah sakit. Pada mata rantai ini, polisi telah menangkap Irna Endah, yang bekerja sebagai pengepul botol vaksin bekas untuk jaringan Azka Medical.

Kepada polisi, Irna mengaku memperoleh wadah bekas vaksin dari Rumah Sakit Hermina Bekasi. Untuk botol yang tampak utuh, lengkap dengan dus dan buku petunjuk pemakaian, Irna menjual Rp 25 ribu per botol. Jika yang ada hanya wadahnya, Irna menjualnya Rp 5.000.

Wakil Direktur Umum Rumah Sakit Hermina Bekasi Selatan, Syarifudin, menyangkal disebut kecolongan mengawasi botol bekas vaksin. Menurut dia, Hermina telah menggandeng PT Wastec International di Tangerang, Banten, untuk menghancurkan limbah medis tersebut. "Kami tak membuang sembarangan," ujarnya.

Agar kemasan terlihat seperti baru, jaringan pemalsu vaksin juga mencetak ulang label yang mirip dengan merek aslinya. Tukang cetak label yang dicokok polisi antara lain Sutarno. Ia bekerja untuk jaringan Azka Medical. "Cetakannya rapi. Sulit dibedakan dengan yang asli," kata seorang penyidik.

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengaku tak habis pikir sampai ada rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu. Setiap rumah sakit dan klinik seharusnya tahu siapa saja distributor resmi vaksin. "Mereka bisa mengecek ke Kementerian dan BPOM," katanya. "Kalau mau mengecek, pasti tidak kebobolan." SYAILENDRA PERSADA, ABDUL MANAN, REZKI ALVIONITASARI, AVIT HIDAYAT, ADI WARSONO (BEKASI), MUHAMMAD KURNIANTO (TANGERANG SELATAN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus