Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Pasang surut seorang dewi

Perkara pertengkaran Ny.Dewi Soekarno dan Ny. Victoria Marie Osmena mulai disidangkan di pengadilan kota aspen, AS. Dewi dibela pengacara Barry Slot- nick. kisah kehidupan Dewi.

15 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUKA atau tidak, Ratna Sari Dewi, istri presiden RI pertama Soekarno, nyatanya selalu dikejar-kejar berita. Setelah bertahun-tahun dikejar berita yang melambungkan sosoknya sebagai tokoh populer di kalangan atas, kini ia mendapatkan berita buruk -- meski mungkin bisa saja bertambah populer. Senin pekan ini, ia dihadapkan sebagai terdakwa dalam sidang pengadilan di Kota Aspen, sebagai buntut dari "pertengkarannya" dengan Nyonya Victoria Marie Osmena, yang biasa dipanggil Minnie. Menurut Penuntut Umum Charles McCrory, tuntutan atas Dewi adalah "penganiayaan tingkat dua", yang ancaman hukuman maksimumnya 18 tahun atau denda US$ 500.000. Tak berarti Dewi bakal masuk bui, jikapun ia dinyatakan bersalah. Sebab, bisa saja berupa hukuman percobaan. Tuduhan ini harus dipertahankannya di depan Hakim J.E. DeVilbiss. Selain itu, Minnie yang lulusan Harvard ini menuntut ganti rugi pada Dewi US$10 juta, angka yang muncul begitu saja di benaknya. "Saya menganggap ini hal serius. Menyayat wajah seseorang," kata Minnie, kini pialang di Wall Street. Dan jika ia menang, uang itu akan disumbangkannya ke daerah kumuh Cebu di Filipina. Menghadapi tuduhan itu, pihak pengacara Dewi, Mr. Barry Slotnick -- pengacara kriminal terbaik tahun 1981 pilihan majalah American Lawyer -- mengajukan tuntutan balik. Itu sudah diajukannya ke pengadilan, 28 Januari lalu, sebelum sidang ini digelar. Slotnick mengungkapkan bahwa fakta-fakta yang ditimpakan pada Dewi tidak benar. Osmena itu, "memfitnah, menyerang, dan menyakitkan hati (dengan cara mempermalukan)" Dewi di depan umum, begitu pernyataan Slotnick. Reputasi pengacara Dewi memang mengagumkan. Slotnick pernah berhasil membela bos mafia John Gotti dari jaring kejaksaan New York. Ia tampaknya akan memilih persidangan dengan juri. Sebab, di situlah keahliannya mencuat. Berapa Dewi membayar pengacara mahabeken ini, tak jelas. Tentu sangat mahal. Dalam waktu 12 tahun belakangan ini, Slotnick konon tak terkalahkan. Tapi strategi apa yang akan dilakukannya? Ia memang belum mau bicara karena menyangkut etik pengadilan. Agaknya, tak adanya saksi yang melihat muka Minnie tersayat (tahu-tahu berdarah), dan hanya ada bukti pecahan gelas, akan dipakai sebagai senjata. Langkah Dewi lainnya menyewa kantor PR Mortimer Matz Associates untuk menghadapi pers. Luar biasa, dan entah berapa pula dolar yang keluar dari dompet Dewi. Persidangan ini tentu saja menarik untuk santapan pers, karena yang terlibat orang-orang "penting". Dewi, bagaimanapun juga, menyandang sebutan janda Bung Karno, dan di Eropa atau Amerika ia biasa dipanggil Madame Soekarno. Sedangkan Nyonya Osmena, pengusaha kaya yang pernah terjun ke politik, adalah cucu presiden Filipina sebelum negeri itu merdeka, Sergio Osmena. Mungkin tak mereka duga, keributan di Aspen Club Logde, Colorado, Senin malam 2 Januari lalu itu sampai begini panjang. Dalam pesta bufet yang diselenggarakan pangeran asal Jerman, Prince Heinrich Hanau-Schaumburg, di sebuah ruang sekitar 10 x 7 meter itu, Dewi, 52 tahun, bertengkar dengan Minnie, 43 tahun. Kedua janda jelita yang telah 20 tahun berteman itu -- dan tinggal dalam satu apartemen di Ritz Tower di Manhattan, New York -- membuat onar. Kontan saja pesta kalangan jetset itu menjadi heboh. Lebih-lebih setelah wajah Minnie berlumur darah. Lalu ada jerit histeris, lantaran seorang wanita rekan Minnie pingsan. Minnie, keturunan Cina-Filipina itu, robek pada pipi dan keningnya, terkena pecahan gelas sampanye. Sekitar 150 orang tamu, antara lain artis Barbara Streisand, Elle MacPherson, dan pengusaha Ivana Trump, sempat tertegun. Ketika Minnie dibopong petugas ke rumah sakit, janda tiga kali kawin ini masih berteriak histeris: "Apa ini akan meninggalkan bekas?" Malam itu pula wajah Minnie dipermak 37 jahitan oleh ahli bedah plastik. "Gelas itu pecah ketika menghantam kening saya," kata Minnie. Bibit pesta berdarah di Aspen itu sebenarnya sudah ada sejak Agustus tahun lalu. Persisnya dalam pesta jetset di atas kapal di perairan Pulau Ibiza, Spanyol. Di situ, dalam versi Minnie, Dewi mulai mengumbar cerita yang menyebalkan bagi Minnie, menyangkut Imelda Marcos. Dewi membela Imelda mati-matian, sedangkan Minnie tidak menyukai pembelaan itu. "Siapa sih Dewi orang luar yang tak tahu apa- apa tentang Filipina, yang berani mendebat saya soal politik di negeri saya," kata Minnie. Selain itu, Dewi mengatakan bahwa Minnie dan partnernya Steven Benson datang ke pesta itu tak diundang. Padahal, kata Minnie, mereka menerima undangan. Setelah peristiwa tersebut lama berlalu, benih pertengkaran ini berlanjut di diskotek Caribou Club di Aspen, Minggu malam, 1 Januari. Dewi merebut tempat duduk Minnie selagi ia ke kamar kecil. "Agar Dewi bisa duduk di sebelah partner saya (Steve Benson)," kata Minnie. Keributan tak meledak karena Minnie dan partnernya menyingkir. Puncak perang, ya, di Aspen Club Lodge itu, esok harinya. Namun, cerita mana yang benar, sulit dilacak. Dewi menganggap kasusnya akan jelas di pengadilan. Tapi ia mengaku bukan orang yang bikin gara-gara. "Orang-orang itu adalah tukang kibul," kata Dewi. Kasus Aspen dicium media lokal. Adalah wartawan J.R. Moechringer yang menginformasikan ke KBRI di Washington, D.C. tentang janda Soekarno itu. Theo Waimuri, Kepala Bagian Protokol dan Konsuler yang menjawab telepon Moechringer, menyatakan menyesalkan kejadian itu. Oleh Moechringer ucapan Theo itu dianggap sebagai pernyataan resmi pemerintah Indonesia untuk meminta maaf pada keluarga Nyonya Osmena. Meminta maaf? "Masa, saya berani mengatasnamakan pemerintah RI, itu kan di luar wewenang saya," kata Theo. Buntutnya, Menteri Luar Negeri Ali Alatas kabarnya marah. Duta Besar A.R. Ramly juga kena tegur. Untuk menjernihkan kasus itu, Pemerintah menyebarkan surat bantahan pernyataan permintaan maaf. Kasus ini juga sampai ke Istana Negara. Tanggal 22 Januari lalu, muncul surat berkop "R.S. Dewi" ditujukan ke Presiden Soeharto, ditandatangani Thomas Haryono. Isinya memohon pihak pemerintah Indonesia agar "melindungi" Nyonya Dewi. Surat itu tampaknya tak ditanggapi Pemerintah. Tapi, siapa Thomas Haryono? "Saya hanya kuli yang bekerja di tempat Ibu Dewi," kata Thomas. Memang sudah takdir, kehidupan Dewi penuh gelombang. Ia merangkak dari kisah duka. Ketika kecil, Naoko Nemoto -- begitu nama aslinya -- adalah putri ketiga dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang pekerja konstruksi yang kurang bisa mencukupi kebutuhan istri dan anaknya. "Perasaan yang saya kenal pertama sejak saya dilahirkan adalah ketakutan," kisah Nemoto pada majalah Bungei Shunju terbitan Jepang, 1976. Waktu itu terdengar sirene meraung-raung, dan B-29 (pesawat AS waktu Perang Dunia II) menjatuhkan bom, menghanguskan rumah-rumah. Nemoto masih berumur dua tahun saat itu. Rumahnya memang tak terbakar, tapi mata ayahnya menjadi tak bisa melihat, hingga nyaris buta karena minum methyl alkohol. Penderitaan ini belum berakhir. Ayahnya tak bisa bekerja. Ibunya pincang. Kemiskinan pun makin menerpa keluarga ini. "Sewaktu SD saya kena syok yang tak saya lupakan sepanjang hidup," tulisnya. Soalnya, teman-temannya berbaju bagus, sementara Nemoto seperti gembel. Ketika SMP, ekonomi keluarganya agak lumayan. Ia belajar nyanyi dan main organ. Menjadi aktris atau melukis adalah impiannya. Selepas SMP, Nemoto bekerja di sebuah perusahaan asuransi jiwa, Chiyoda. "Gaji pertama saya belikan pensil alis mata untuk ibu. Soalnya, karena kemiskinan, ibu terpaksa menggunakan arang yang ada di ujung korek api," tulisnya. Siang kerja, malam belajar di SMA. Belum lagi mengikuti kursus musik jazz, belajar tari Jepang, dan bahasa Inggris. Tapi semua itu merepotkan dan akhirnya Nemoto berhenti sekolah. Sewaktu belajar sambil kerja di Chiyoda, ia berkenalan dengan Eiji Kurokawa, seorang mahasiswa Universitas Waseda. Kurokawa juga bekerja di bar. Mereka bergaul cukup lama dan sempat membicarakan perkawinan. "Suatu hari kami pergi ke danau Yamanaka, dan di atas perahu pertama kali kami berciuman. Dan malam harinya kami jadi "satu". Saya tak menyesal. Malah saya menangis karena sangat terharu dengan kelakuan kami yang agung itu. Itulah upacara kami pada suatu malam, waktu saya berumur 16 tahun," tulis Nemoto di majalah itu. Pada umur 17 tahun, Nemoto menjadi kabaret part time di Music Coffee Shop, lalu di klub malam Benibasha di kawasan Akasaka, Tokyo. Saat itu Kurokawa mulai dilupakannya karena tergeletak sakit keras di rumah sakit. Menyanyi di klub malam, bagi Nemoto, menaikkan penghasilannya. Di situ ia bisa mengumpulkan uang untuk membeli sebuah bar Shirokuma (artinya beruang putih) di Shibuya. Menurut buku The Japanese and Soekarno's Indonesia, Nemoto sempat menjadi pelayan bar di klub malam Copacabana, Tokyo. Di situlah ia ketemu Bung Karno. Tapi cerita yang menyangkut Copacabana ini dibantah Dewi dalam wawancaranya dengan TEMPO pekan lalu. (Kisah ini bisa dibaca di bagian kedua laporan utama ini). Akhirnya, Dewi ke Jakarta dan kawin dengan Bung Karno. Pada tahun-tahun pertama perkawinannya, gadis Jepang yang belum lancar berbahasa Indonesia itu sangat menderita. Tinggal di rumah yang sempit, tak punya teman. Ia merasa seakan bukan istri seorang kepala negara. Hal ini dituturkan Dewi kepada Adams. Kesedihan itu sedikit agak terobati karena pelayanan Bung Karno yang memanjakannya. Namun, perasaan Dewi tetap tertekan karena ibunya yang janda sangat menyesalkan pernikahannya. Tak lama setelah Dewi menikah dan masuk Islam, ibunya meninggal dunia. "Hari itu juga satu-satunya saudara laki-lakiku bunuh diri. Dalam 26 jam saya kehilangan semuanya," tutur Dewi kepada Cindy Adams, seperti yang ditulis di Soekarno My Friend. Demi menghibur hati Dewi, Bung Karno membuatkan "istana" yang diberi nama Wisma Yosoo -- nama saudara laki-laki Dewi yang bunuh diri -- yang kini menjadi Museum ABRI. Sejak itu jalan hidup Dewi mulai "bersinar". Hampir tiap malam ia pergi ke night club Nirwana (waktu itu satu-satunya di Jakarta). Ia dikawal tiga ajudan wanita. Bisa dibilang Dewi mulai menjadi figur penting dalam dunia politik dan bisnis Jepang-Indonesia. Saat perubahan politik tahun 1965, Dewi ikut menjadi saksi sejarah. Sebab, Dewilah yang pertama kali bertemu dengan Bung Karno dibandingkan istri-istri Bung Karno lainnya setelah G30S meletus. Dan waktu itu Dewi mengaku Bung Karno tak tahu-menahu soal kudeta. November 1966, Dewi berangkat ke Jepang untuk melahirkan, dan bayi itu kemudian dinamai Karina. Mengapa di Jepang? Konon, semua ini atas perintah Bung Karno. Empat tahun kemudian -- sehari sebelum Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970 -- ia kembali ke Jakarta bersama Karina. Saat itu Bung Karno sudah parah. "Karina, ke sini. Ini Bapak, this is your father, Karina," kata Dewi sambil menggapit anaknya. Ajaib. Tangan Bung Karno tiba-tiba bergerak, seolah ingin menggapai Karina, anak yang tak pernah dilihatnya seumur hidupnya. Dewi memang istri spesial. Buktinya, jika ia marah, Bung Karno bingung. Misalnya, sewaktu otobiografi Bung Karno yang ditulis Cindy Adams terbit, Dewi uring- uringan lantaran namanya tak disebut-sebut. Bung Karno waktu itu justru marah kepada Adams: "Bagiku, masalah yang terbesar di dunia ini adalah soal perkawinanku. Dan kini Dewi marah. Anda harus menyelesaikan hal ini." Padahal, adalah Bung Karno sendiri yang memutuskan agar nama Dewi tak disebut-sebut. Nampaknya "Dewi seperti membutuhkan pengakuan bahwa ia istri Bung Karno," tulis Adams. Soal pengakuan itu pula yang membuat Dewi meradang pada zaman Orde Baru. Waktu itu, 8 November 1986, Dewi tak diundang saat Bung Karno mendapat anugerah gelar Pahlawan Proklamator. Karina juga tak diundang. "Bagi saya pribadi, tidak diundang tidak jadi soal. Tapi anak saya, sungguh dia terluka," kata Dewi dalam acara jumpa pers di ASEAN Room Hotel Hilton, Jakarta. Sepeninggal Bung Karno, Dewi dan Karina hidup di Paris. Di sana dunia pestanya tak pernah hilang. Kecantikannya juga seakan tak pudar. "Berdampingan dengan artis Gina Lolobrigida pun kecantikannya tak tertandingi," kata perancang busana Peter Sie. Bahkan, saat ia menyentuh kulitnya, so smooth, halus kayak patung Michael Angello. Dan Peter tak melupakannya seumur hidup. Benarkah Dewi pernah tak membayar busana yang dipesannya? "Salah kalau ada yang bilang Dewi tak bayar," kata Peter. Cerita soal tak bayar baju ini muncul di Paris. Seorang janda pemilik butik di Paris, kabarnya, pernah mengeluh atas kelakuan Dewi yang memborong baju tapi belum dibayar. Ia menjanjikan ada pria yang membayar, yang ternyata kemudian tak benar. Pemilik butik itu kabarnya sampai menangis. Tapi, ketika ini dikonfirmasikan, Dewi membantah. "Tak perlu menjawab pertanyaan seperti itu. Ini seperti lelucon." Di Paris Dewi tinggal di apartemen mewah di Avenue Montaigne. Ini kawasan paling elite di Paris. Baru setahun menjanda, ia pada akhir Desember 1971 dikabarkan bertunangan dengan jutawan berdarah Spanyol, Francisco Paesa. Itu terjadi di villa Paesa di tepi danau, dan dihadiri 200 tamu. Antara lain Raja Michael dari Rumania dan Pangeran Vittorio Emmanuel dari Italia. Paesa adalah bankir yang memiliki kebun anggur cukup luas, sudah beristri dan mempunyai anak. Ternyata, kabar itu melempem dengan sendirinya. Berita gosip mengenai Dewi sering muncul di sana. Jutawan atau bangsawan seperti John Bentley, Lord Lichfield, atau Juan March dikabarkan mengisi kehidupannya. Akhir tahun 1977 terbetik pula kabar ia akan menikah dengan Duke Sabran Pontives. "Saya sangat bahagia dan kami akan resmi bertunangan sekitar Natal nanti," kata Dewi waktu itu. Mereka sudah berkenalan dua tahun, dan mereka sudah sering berlibur di peristirahatan Pontives di dekat AixenProvence. Selang beberapa hari berita itu dibantah. Soalnya, pernyataan itu cuma keluar sepihak dari mulut Dewi, yang akhirnya membuat Sabran-Pontives kalang-kabut. Kabarnya, keluarga pihak Sabran-Pontives tak setuju. Kalau si cowok nekat juga, ya, habislah ikatan keluarga mereka dan tamat pula hak warisnya. Sabran-Pontives memilih pisah. Waktu itu, di Paris, Dewi bilang kepada wartawan Model: "Ya, orang tak bisa toh, untuk tinggal sendirian." Dan tentang perkawinannya: "Kalau hal itu terjadi, saya berharap dengan rahmat Tuhan" (TEMPO, 19 November 1977). Kehidupan jetset di Paris memang tersebar luas. Dan Dewi menyukainya. Ia hadir di peragaan busana tingkat tinggi, pesta gala atau dinner dengan pengusaha. Misalnya di restoran Le Pirate di Cap Martin, tak jauh dari Monaco. Le Pirate adalah tempat makan langganan Rooger Moore, Putri Soraya, dan Raja Husein. Jika tak di sana, Dewi makan malam di restoran Maxim milik Pierre Cardin, di Avenue Royal. Malam hari ia ke diskotek Le Sept atau Club 78. Pestapesta bersama Omar Shariff, Begum Aga Khan, atau Gina Lolobrigida, tak lagi asing buatnya. Kehidupan Dewi di Paris ternyata juga tak tenteram. Ia pernah berurusan di pengadilan dengan pemilik klub malam Regine di Paris. Soalnya, ia merasa diperlakukan tak adil. Keanggotaannya dari klub itu dicoret karena Dewi tak pernah membayar iuran anggota. Selain itu, pada Desember 1976 Dewi membuat keributan di situ. Makanya, ia tak boleh masuk Regine. Dewi berang dan kemudian menuntut ganti rugi 60.000 frank, waktu itu sekitar Rp 9 juta. "Regine adalah tempat minum bagi siapa saja yang sudah dewasa selama dia tak mabuk," kata Dewi. Dewi akhirnya menang walau cuma diberi ganti rugi 1 frank (TEMPO, 14 Juli 1979). Jika menghadiri peragaan busana, Dewi biasanya mendapat tempat VIP, di ujung T dari format catwalk. Tapi pada peragaan busana Poppy Dharsono di Paris, Dewi pernah marah besar. Ceritanya, ia ingin agar anaknya, Karina, mendapat kursi VIP dekat pengusaha Sudwikatmono. Tapi Poppy tak meladeninya. Karina akhirnya muncul tanpa duduk di kursi VIP. Kontan saja subuh esok harinya telepon Poppy berdering, Dewi mencak-mencak. "Bilang saja kamu iri sama anak saya yang cantik. Dan kau takut disaingi," sergah Dewi, yang ditirukan Poppy pada TEMPO pekan lalu. Mendapat "serangan subuh" begitu, Poppy ikut tarik urat. "Saya jawab, wah, sorry saja. Tidak terpikir oleh saya untuk tersaingi Karina. Tapi banyak orang yang tidak suka kalau Karina duduk di VIP," kata Poppy. Apakah Dewi suka ribut ? Seorang anak angkat Bung Karno, Puspa, 45 tahun, wanita asal Bali yang kini tinggal di Arab Saudi bersama suaminya, pernah pula cekcok dengan Dewi di acara peragaan busana. "Saya ingin menjaga nama Bapak. Tapi kalau Dewi malah menjual nama itu," kata Puspa kepada Linda Djalil dari TEMPO lewat telepon. Menurut Mien Uno, Pimpinan Sekolah Pengembangan Kepribadian John Robert Powers, Dewi sangat memperhatikan penampilan. Dalam resepsi apa saja, ia tampil spesial ekstra. Ia pintar memilih warna. Ia sadar akan warna dan kehalusan kulitnya. Makanya, ia menyukai baju model terbuka sebelah. Kekuatannya ada di bagian atas, dan tidak difokuskan di bawah. "Saya tak pernah melihat di pesta ia memakai busana pendek," kata Mien Uno. Sedang menurut Peter Sie, baju bagi Dewi adalah frame of the jewels (bingkai perhiasan). Sebab, Bung Karno pernah bilang wanita cantik tak perlu memakai perhiasaan, karena wanita itu sendiri adalah perhiasan. Soal pesona ini diakui orang banyak. "Dalam pesta misalnya, meja yang tadinya terpisah-pisah langsung menyatu untuk mendengarkan kisah Dewi. Pengetahuannya luas. Mulai dari politik, bisnis, sampai yang hura-hura," ujar Peter Fritz Saerang, penata rambut dan pemilik salon. Perlu dicatat, sanggul model Dewi, yang meninggi kecil ke atas, pernah populer di tahun 1960-an. Dewi kembali ke Jakarta (dari Paris) 1981. Ketika pesawatnya mendarat di Halim Perdanakusuma, Dewi kecewa berat. Pasalnya, tak ada wartawan yang menyambutnya. Di Jakarta ia juga kembali meletupkan genderang perang. Yang kena samber kali ini adalah Nyonya Soegiyo, yang dulu mengurus Wisma Yosoo. Ada 22 buah barang antiknya yang "dikuasai" Nyonya Soegiyo. Barang-barang itu dimintanya. "Harganya tak seberapa, tapi Dewi sayang betul karena pemberian Bung Karno," kata Rusdi Nurima, pengacara Dewi waktu itu. Akhirnya, kasus ini beres, meski sempat ke pengadilan. Kisah Dewi belum juga habis. Ia kembali ke pengadilan. Kali ini dengan sekretaris pribadinya, Nyonya Emelia Adjie. Dewi mengungkit soal penggelapan uang miliknya Rp 10 juta oleh Emelia dan pencemaran nama baiknya. "Saya hanya ingin nama baik saya diperbaiki," kata Dewi. Bukan semata soal uang. Pengadilan akhirnya memenangkan Dewi, dan Emelia dihukum sesuai dengan masa penahanannya yang 54 hari. Di persidangan, Dewi sempat menyemprot Rusdi Nurima, yang kali ini menjadi pembela Emelia. "Kalau di luar negeri lisensi Anda sebagai pengacara bisa dicabut," sergah Dewi. Namun, terlepas dari ulahnya itu, pengusaha Setiawan Djodi tetap melihat segi positifnya Dewi. Soal penampilannya di pesta, kata Djodi, Dewi masih tetap tidak melepaskan sikapnya sebagai first lady. "Saya maklum. Soalnya, dia masih muda sekali ketika menjadi istri presiden yang karismatik, dan ditinggalkan dalam usia muda pula," katanya. Jadi, kembali pada perkara Dewi di Aspen ini, adakah ia akan muncul sebagai pemenang, sebagaimana yang dinikmatinya di Indonesia? Widi Yarmanto, Bambang Harymurti, Seiichi Okawa, Linda Djalil, dan Sri Pudyastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus