Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUGAS besar menanti Marsekal Hadi Tjahjanto begitu menjadi Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara pada pertengahan Januari lalu. Mantan Sekretaris Militer Presiden itu mesti mengusut pembelian satu unit helikopter angkut berat merek AgustaWestland (AW) 101, yang menjadi polemik dalam beberapa bulan terakhir.
Tiga pekan setelah dilantik, Hadi membentuk tim investigasi untuk menyelidiki dugaan pelanggaran prosedur dalam pembelian helikopter tersebut. Tim itu terdiri atas 12 orang dan diketuai Inspektur Jenderal TNI Angkatan Udara Marsekal Muda Anang Murdianto. Hingga pekan lalu, tim ini sudah merampungkan 70 persen investigasi. "Dokumen sudah terkumpul, dari pengusulan hingga kontraknya," ujar Hadi, Senin pekan lalu. "Masih kami investigasi semuanya."
Satu unit helikopter produksi perusahaan patungan Westland Helicopters asal Inggris dan Agusta asal Italia tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada akhir Januari lalu. Helikopter itu pernah terparkir di Skadron Teknik 021 TNI Angkatan Udara dan diberi garis polisi.
Sebelum helikopter itu tiba, pada akhir Desember tahun lalu, Presiden Joko Widodo sudah mencurigai ada penyelewengan. Sebab, Presiden pernah menolak rencana pembelian helikopter tersebut. "Kalau ada penyelewengan, tahu sendiri akibatnya," ujar Jokowi kala itu.
Pengadaan AW101 berawal dari rencana Angkatan Udara membeli satu skuadron helikopter combat search and rescue. Pengadaan 16 unit helikopter itu masuk Rencana Strategis TNI Angkatan Udara 2009-2014. Realisasinya, Angkatan Udara telah membeli enam helikopter full combat SAR mission EC725 dari PT Dirgantara Indonesia pada 2012. Pembelian itu memakai anggaran Kementerian Pertahanan dengan nilai kontrak 155,6 juta euro.
Pengadaan 10 helikopter sisanya masuk ke Rencana Strategis Angkatan Udara 2015-2019. Semula, yang diincar helikopter full combat SAR mission EC725. Belakangan, rencana berubah menjadi 6 helikopter angkut berat dan 4 helikopter very very important person (VVIP). Menurut Hadi Tjahjanto, perubahan terakhir masuk Rencana Strategis TNI Angkatan Udara 2015-2019. "Sudah dialokasikan anggarannya," ujar Hadi.
Pada medio 2015, Kepala Staf Angkatan Udara ketika itu, Marsekal Agus Supriatna, mengusulkan pembelian AgustaWestland 101 sebagai helikopter VVIP untuk presiden. Pembelian itu untuk mengganti Eurocopter EC225 Super Puma, helikopter VVIP buatan PT Dirgantara Indonesia yang sudah berumur lebih dari 20 tahun.
Menurut Agus, pemilihan AW101 sudah melalui kajian panjang. Agus beralasan, Angkatan Udara ingin helikopter VVIP yang menjamin keamanan, kenyamanan, dan keselamatan. "Yang memenuhi spesifikasi itu AgustaWestland 101," ucap Agus pada akhir November tahun lalu.
Lantaran helikopter VVIP itu bakal dipakai presiden, Angkatan Udara mengusulkan agar pembeliannya dibiayai anggaran Sekretariat Negara, bukan anggaran Kementerian Pertahanan seperti umumnya pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Presiden Joko Widodo menolak usul itu dalam rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, pada 3 Desember 2015. Jokowi menganggap Super Puma masih bisa dipakai. Dia juga menilai AW101 terlalu mahal. "Presiden akan tetap menggunakan helikopter yang ada meski harus punya back-up," ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Untuk helikopter back-up pun, menurut Pramono, Jokowi menginginkan produksi dalam negeri.
Berdasarkan spesifikasinya, AW101 memiliki 13 kursi penumpang berhadapan. Sedangkan pesaing utamanya, Super Puma, memiliki 12 kursi, empat di antaranya berhadapan. Dari sisi harga, satu unit AW101 bisa mencapai US$ 50 juta. Sedangkan Super Puma cuma US$ 40 juta. Meski begitu, Super Puma tercatat dipakai 34 kepala negara dan raja, sedangkan AW101 baru dipakai empat kepala negara.
India tadinya akan menjadi negara dengan koleksi helikopter AW101 terbanyak: 12 unit. Namun, seperti dikutip The Guardian, pada 1 Januari 2014, pemerintah India membatalkan kontrak pembelian 12 helikopter VVIP AW101 senilai 466 juta pound sterling. Belakangan, diketahui petinggi AgustaWestland menyogok pejabat India untuk memuluskan kontrak pengadaan helikopter itu.
Skandal di India tak membuat Agus goyah. Dia berkukuh memilih AW-101. "Kalau Presiden tak mau pakai, kami tetap gunakan sebagai helikopter VVIP," kata Agus kala itu. Angkatan Udara pun mengubah rencana pembelian enam helikopter angkut berat dan empat helikopter VVIP menjadi delapan helikopter angkut berat AW101. Perubahan terakhir masuk lagi ke Rencana Strategis 2015-2019.
Kementerian Pertahanan pun menyetujui rencana pembelian delapan unit helikopter AW101. Pada 10 Februari 2016, Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan Marsekal Madya Muhammad Syaugi-kini Kepala Badan SAR Nasional-mengirim surat kepada Askolani, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Syaugi mengusulkan perubahan alokasi anggaran helikopter VVIP menjadi helikopter angkut berat.
Ketika dimintai konfirmasi, Syaugi tak membenarkan atau membantah telah mengirim surat usul perubahan alokasi anggaran helikopter VVIP itu. "Urusan AW101 sudah diambil alih Kepala Staf Angkatan Udara. Sebaiknya tanya ke beliau," ucap Syaugi, Jumat pekan lalu.
Askolani kemudian mengirimkan surat kepada Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung pada 24 Februari 2016. Dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo, Askolani menjelaskan permintaan perubahan alokasi anggaran itu. "Mengingat pengadaan helikopter VVIP RI-1 merupakan arahan Presiden RI, kiranya perubahan peruntukan tersebut memerlukan arahan Presiden RI lebih lanjut," tulis Askolani. Sewaktu dikonfirmasi, Askolani tak membantah telah mengirim surat itu.
Lima hari berselang, atas nama Kepala Staf Angkatan Udara, Asisten Perencanaan dan Anggaran Marsekal Muda Supriyanto Basuki juga mengirim surat ke Pramono Anung. Isi surat menjelaskan rencana pengadaan delapan helikopter AW101. Dua unit bakal dikirim ke Indonesia pada 2017, empat pada 2018, dan sisanya 2019.
Pemilihan AW101, menurut surat itu, lantaran pertimbangan teknis. Helikopter AW101 punya tiga mesin dan lebih aman. Selain itu, Angkatan Udara ingin memutus monopoli pengadaan oleh Airbus Helicopter (Eurocopter). Angkatan Udara kemudian menunjuk PT Diratama Jaya Mandiri sebagai agen pembelian delapan AW101.
Keganjilan muncul karena surat itu tak konsisten menyebut jumlah helikopter yang bakal dibeli. Pada bagian lain surat itu tertulis rencana pembelian sembilan helikopter AW101, bukan delapan. Pendanaan delapan unit bakal berasal dari pinjaman dan hibah luar negeri, sedangkan satu unit lainnya dari anggaran rutin Angkatan Udara. "Eksekusi pengadaan dengan pendanaan APBN/rutin TNI AU masih terkendala di Kemenkeu, yang menunggu clearance dari Setkab," begitu isi surat itu.
Pada 12 April 2016, Pramono Anung membalas surat Kepala Staf Angkatan Udara. Menurut Pramono, berdasarkan Undang-Undang Industri Pertahanan, pengadaan sistem persenjataan dari luar negeri hanya dilakukan jika belum bisa diproduksi di dalam negeri.
Belakangan, Kementerian Keuangan pun "membintangi" anggaran pembelian helikopter itu. Rencana yang "dikunci" itu masuk anggaran belanja modal TNI Angkatan Udara di Kementerian Pertahanan.
Terkunci di anggaran belanja modal, Agus Supriatna memutuskan tetap membeli satu helikopter AW101 dengan sumber anggaran lain. Rencana pembelian itu disampaikan Agus kepada Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu melalui surat tanggal 29 Juli 2016. Dalam surat itu, Agus menyebut pemilihan AW101 sudah berdasarkan analisis dan kajian. Selain itu, Agus menyatakan AW101 siap memberikan transfer teknologi kepada industri dalam negeri.
Kontrak pembelian satu unit AW101 bernilai US$ 55 juta atau sekitar Rp 740 miliar. Menurut seorang perwira Angkatan Udara, Agus bermanuver membeli AW101 dengan anggaran rutin (belanja barang). Padahal biasanya anggaran rutin cuma dipakai untuk biaya operasional. Misalnya untuk pemeliharaan dan pembelian suku cadang, bukan pengadaan alutsista. "Ini bentuk subordinasi," katanya.
Ketika dimintai konfirmasi, Agus Supriatna tak membenarkan atau membantah telah "bermanuver" menyiasati anggaran Angkatan Udara untuk membeli satu AW101 itu. "Kalau masalah itu harusnya tanya ke Kementerian Pertahanan atau Kementerian Keuangan," ujar Agus, Jumat pekan lalu.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kemudian meminta pembelian satu AW101 itu dibatalkan. Melalui surat tanggal 14 September 2016, Gatot menyatakan pembelian helikopter AW101 melanggar sejumlah aturan pengadaan alutsista. "Sudah saya buat surat untuk pembatalan kontrak," ujar Gatot pada akhir Desember tahun lalu. "Tidak jadi beli." Tapi Agus tak membatalkan pembelian helikopter itu.
Anggota tim ahli Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), Said Didu, juga menyebut pembelian helikopter AW101 tak sesuai dengan Undang-Undang Industri Pertahanan. Antara lain karena pembelian itu menggunakan agen dan tidak meminta izin KKIP. "Ini pelanggaran yang sangat jelas," ucapnya.
Polemik pembelian helikopter itu memuncak dalam rapat bersama Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin dua pekan lalu. Jenderal Gatot dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, yang menghadiri rapat itu, sama-sama menyatakan tidak tahu proses pembelian satu helikopter AW101. Alasannya, sepengetahuan keduanya, pembelian helikopter AW101 itu memakai anggaran Sekretariat Negara.
Belajar pada kisruh pembelian AW101 ini, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Hadi Tjahjanto berencana menerapkan sistem pengadaan persenjataan yang lebih transparan. Menurut Hadi, nantinya perencanaan hingga pengadaan persenjataan akan berlangsung secara online. "Manajemen saya terang-benderang," kata Hadi.
Prihandoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo