Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Pensiun

Ketua Dewan Direksi PT Caltex, Julius Tahiya, menjalani pensiun. Pesta berlangsung di Hotel Jakarta Hilton dan di Rumbai, Pekanbaru. Putri Susuhunan Pakubuwono XII ikut ke Rumbai memeriahkan acara.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENTU saja serentetan pesta perpisahan harus diberikan kepada Julius Tahiya yang bulan lalu pensiun dari jabatannya sebagai Ketua Dewan Direksi PT Caltex Pacific Indonesia. Di Jakarta, pesta perpisahan diadakan di Hotel Jakarta Hilton. Akhir Jum'at bulan Maret lalu, di Rumbai - daerah pusat operasi Caltex - juga ada pesta semacam di gedung olahraga Rumbai. Tapi kali ini lebih meriah. Bahkan keluarga Susuhunan dan Mangkunegaran dari Surakarta pada datang ke Rumbai. Empat orang puteri Susuhunan Pakubuwono Xll membawakan tari serimpi "Lagu Kedempel", tari upacara keraton. Bagi keempat puteri yang mulus tersebut, menari di luar Surakarta baru pertama kali inilah mereka lakukan. Putera dari KGPAA Mangkunegoro VIII menari "Menak Koncar". Para penabuh gamelan dan pesinden khusus datang dari rombongan Pusat Kesenian Jawa Tengah. PJKT ini khusus menciptakan sebuah tarian, juga untuk Julius Tahiya. Nama tarian tersebut: Bedoyo Tolu. Tarian ini melukiskan perihal mereka yang berwuku (zodiak) Tolu, menurut perhitungan Jawa - dan Tahiya terhitung dalam wuku itu. Penghargaan bagi Julius Tahiya ini ditutup dengan pemberian tanda kenang-kenangan: dua pending antik bertahtakan intan dari dua keraton tersebut, dan sebuah topeng Pangeran Panji dari PKJT. Mengapa mereka begitu "cinta" pada Julius Tahiya? JT - demikian anak buahnya biasa memanggil - yang beristerikan dokter gigi berasal dari Australia ini banyak membantu pusat kebudayaan dan barang kesenian di Surakarta. Misalnya keraton Mangkunegaran telah dipugar atas bantuan Caltex. Beberapa waktu yang lalu, Tahiya telah menyelamatkan seperangkat gamelan yang bernama Kyahi Trusing Panireng Petaning Manah. Gamelan yang bagian slendro dan pelog-nya terpisah ini hampir saja kabur ke luar negeri kalau tidak dibeli oleh Tahiya. Maka selamatlah gamelan yang usianya seratus tahun tersebut, yang dulu dibikin atas pesanan Susuhunan Pakubuwono IX, tapi baru selesai dalam pemerintahan Pakubuwono X. Karena hal-hal inilah, Tahiya bagi kaum menak Surakarta bukanlah orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus