Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rambutnya disisir kelimis ke kanan. Ia tampak berbeda dengan sosoknya saat tampil di layar kaca. Sore itu, di rumahnya di kawasan Cilandak Timur, Jakarta Selatan, Muhammad Quraish Shihab, 71 tahun, mengenakan kemeja cokelat, terlihat lebih besar. ”Kamera televisinya itu yang salah,” kata Quraish terkekeh.
Jangan tertipu oleh gaya serius dia di televisi. Tema pembuka obrolan: sepak bola. ”Walau tanpa Neymar (kapten Brasil), Brasil menang 2-1 (melawan Venezuela dalam Copa America 2015),” ujarnya Senin dua pekan lalu. Quraish penggemar berat Brasil.
Wartawan Tempo Heru Triyono dan fotografer Nurdiansyah kemudian memintanya menceritakan perjalanan hidup awalnya. Rayuan pertama gagal dengan alasan ia tidak suka berkisah tentang diri sendiri. Bahkan ia bertanya, ”Rubrik Memoar bukannya untuk orang yang sudah meninggal?” Demikian candanya.
Quraish Shihab sampai kini telah menulis sekitar 30 judul buku, termasuk Tafsir al-Misbah, yang terdiri atas 15 volume dan dia kerjakan dalam empat tahun. Di luar itu, ia pernah menerima amanah di beberapa posisi jabatan. Mengajar lalu menjadi rektor di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia, Menteri Agama, hingga duta besar.
Beberapa kali Quraish tersandung kontroversi. Dia dituding sebagai penganut Syiah, juga pernah dianggap melecehkan Nabi Muhammad. Bukan hanya itu, dia sempat membuat gusar banyak muslim konservatif karena pandangannya tentang jilbab. Kepada Tempo, Quraish berbicara panjang-lebar tentang masa kecil, keluarga, pemikiran, sepak bola, sampai hubungan dekatnya dengan presiden kedua Soeharto.
RUANG tamu beratap tinggi itu dihiasi satu set meja-kursi berwarna emas. Yang mencolok adalah bingkai foto keluarga ukuran 1,5 x 1 meter yang terpajang di dinding. Quraish Shihab terlihat bersama istri (Fatmawati), anak, dan cucu. Kata Quraish, foto itu dibuat lima tahun lalu. Quraish memiliki lima anak. Empat wanita dan satu pria. Semua nama putrinya diawali dengan huruf N, yakni Najla, Najwa, Naswa, dan Nahla. Sedangkan yang putra diberi nama Ahmad.
Kenapa N? Menurut Quraish, karena Tuhan bersumpah di Al-Quran tentang budi pekerti Nabi Muhammad dengan huruf N. ”Nuun, wal qolami wa maa yasthuruun,” katanya. N, demi pena dan segala sesuatu yang dituliskannya. Di kosakata Arab, ia menambahkan, N melambangkan hal positif. Misalnya Naswa, yang tafsirnya berarti kegembiraan.
Ketertarikan Quraish terhadap tafsir Al-Quran memang wajar. Sejak kecil ia dididik dengan Al-Quran karena ayahnya, Abdurrahman Shihab, adalah pakar Al-Quran dan tafsir. Ia mengikuti pengajian Al-Quran yang diadakan ayahnya. Selain menyuruh Quraish giat membaca Al-Quran, ayahnya menguraikan kisah-kisah dalam Al-Quran. Dari situlah benih ketertarikan Quraish kepada Al-Quran tumbuh.
Saya terlahir dengan nama Muhammad Quraish Shihab di Lotassalo, Rappang, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. Dalam bahasa Arab, quraish berarti ikan hiu kecil. Rappang adalah kampung ibu saya. Namanya Asma Aburisy. Saya memanggilnya Emma (panggilan dalam dialek Bugis karena sang ibu orang Bugis).
Meski hanya lima tahun di sana, saya tak bisa melupakan Rappang, khususnya Sungai Salo Karaja. Sungai itu dekat rumah orang tua, tempat masyarakat mandi dan mencuci baju. Pernah ketika sedang ikut Zahrah, nenek saya, mencuci pakaian di pinggir sungai, saya terpeleset dan terseret arus. Beruntung seorang ibu menyelamatkan saya. Airnya begitu deras. Kejadian tersebut saya masih ingat, meski ketika itu masih berusia empat tahun.
Saat kecil, saya dipanggil Bang Odes. Alasannya, lidah saya cadel untuk menyebut nama sendiri: Quraish, tapi jadi terdengar Odes. Ayah (Abdurrahman Shihab) dan kakak-kakak panggil saya Quraish, tapi para adik memanggil Abang Odes, sampai sekarang. Saya adalah anak keempat dari 12 bersaudara.
Setelah kelahiran Alwi Shihab (adik saya), Ayah membawa keluarga ke Makassar, di Jalan Sulawesi. Di kota ini bisnis Ayah semakin maju, dengan memiliki toko bernama Toko Raya. Di toko ini, Ayah menjual batik dan barang kebutuhan rumah tangga atau apa saja.
Umar Shihab, kakak, dan saya berbagi tugas menjaga toko. Namanya remaja, saya kadang nakal. Saya suka diam-diam menonton film di bioskop, yang tidak jauh dari toko. Saya mengatur strategi dengan Umar. Ketika Umar menjaga toko, saya diam-diam menonton film. Demikian sebaliknya.
Kalau minta izin nonton ke orang tua belum tentu dikasih. Apalagi nonton itu perlu duit. Zaman dulu nonton masih hitungan perak, sebelum 1950.
Dalam buku Cahaya, Cinta dan Canda: Sisi Lain M. Quraish Shihab disebutkan bahwa Quraish gemar menonton film. Selain menyenangi film yang dibintangi aktor P. Ramlee, ia menyukai film India. Film-film ini diputar di bioskop ”Indonesia”.
Suatu hari, gedung bioskop yang berjarak 15 menit dari rumahnya itu terbakar. Panik bioskop kesayangannya terbakar, Quraish spontan berteriak sambil berlari di jalan raya, ”Hancur Indonesia! Hancur Indonesia!” Warga yang tak mengetahui duduk soalnya pun terheran-heran.
Pada masa itu P. Ramlee, aktor dan musikus Malaysia, jadi pujaan banyak orang, termasuk saya. Karena sangat mengidolakannya, saya pernah meniru gaya rambut ikalnya. Bahkan, sewaktu sekolah dasar, saya pernah ikut lomba menyanyi lagu P. Ramlee, tapi tidak jadi juara. Selain Ramlee, penyanyi favorit saya adalah Ummu Kultsum (penyanyi Mesir).
Dari hobi menyanyi itu, saya pun dianggap sebagai penghibur di keluarga. Dalam setiap acara kumpul keluarga, saya selalu menguasai mikrofon untuk bernyanyi.
Meski penuh keceriaan, keluarga saya dididik disiplin oleh Emma dan Aba—panggilan untuk ayah saya. Setiap anak wajib mencuci pakaian dan menyetrika sendiri. Kami diberi tugas harian membersihkan rumah. Saya kebagian tugas mengepel lantai.
Pernah saya ketahuan bolos sekolah. Emma menghukum saya. Saya disuruh berdiri di meja, dengan satu kaki diangkat. Tangan kanan saya digantung pada ikatan kain. Ketika itu, hampir setiap rumah di Makassar terdapat kain yang digantung di langit-langit untuk ayunan bayi.
Emma memang sangat bersih dan detail, bahkan sampai saya sudah menikah. Kalau datang ke rumah, Emma akan melakukan inspeksi ke kolong-kolong bangku untuk melihat berdebu atau tidak.
Emma yang membentuk saya jadi lelaki apa adanya. Saya dilarang berutang, uang ataupun barang. Efeknya, setiap memberi tausiah, ada syarat dari saya, saya tidak mau mengenakan baju sponsor. Apa untungnya? Kalaupun iya, saya akan meminta baju itu sebagai hak milik, untuk kemudian saya kasih ke orang lain. Saya cuma ingin tampil apa adanya. Tidak usah membuat imitasi, apalagi pakai lipstik segala di televisi.
Sikap moderasi saya berasal dari didikan Aba, yang menekankan pentingnya mencari titik temu. Bukan hanya antarkelompok umat Islam, melainkan juga dengan nonmuslim. Sahabat Aba beragam. Malah ada orang Cina yang sering ke rumah belajar bahasa Arab.
Saya pun selalu konsisten berada di tengah, dan memilih organisasi yang lebih menyatukan umat. Saya bukan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Sunni, atau Syiah. Saya pilih menjadi pengurus Majelis Ulama Indonesia, juga Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Aba kerap menyampaikan pentingnya meraih pendidikan tinggi. Saya didoktrin untuk meraih gelar doktor ketika masih di sekolah menengah pertama.
Pilihan saya memilih bidang tafsir juga tak lepas dari petuah-petuah yang ditanamkan Aba. Saya selalu ingat pesan dia saat pengajian bakda salat magrib. Dia mengatakan, ”Rasakan keagungan Al-Quran sebelum engkau menyentuhnya dengan nalarmu.”
Saya sendiri begitu senang merantau ke Malang untuk masuk Pesantren Dar al-Hadits al-Faqihiyah. Sejak itu, bakat menyanyi saya hilang karena tersihir sosok karismatis Habib Abdul Qadir Bilfaqih—ahli hadis sekaligus pemimpin pesantren—yang mengajari saya banyak tentang Al-Quran.
Dalam buku Cahaya, Cinta dan Canda: Sisi Lain M. Quraish Shihab diketahui, meskipun mondok sambil sekolah, dengan cepat Quraish menguasai beragam materi pelajaran pesantren. Tahun pertama di Al-Faqihiyah, ia sudah hafal lebih dari seribu hadis. Quraish tidak hanya rajin mencatat, tapi juga mampu menjelaskan kandungan kitab-kitab kuning yang dipelajarinya.
Merujuk pada kandungan kitab kuning yang usianya sudah berabad abad itu, Quraish piawai memberi contoh dan analogi yang selaras dengan konteks kekinian. Karena itulah ia tak sekadar memperoleh hak istimewa sekolah di luar pesantren. Ia pun kerap diajak Habib mendampinginya berdakwah di luar lingkungan Al-Faqihiyah. Quraish hanya dua tahun nyantri di Al-Faqihiyah.
Demi meraih pendidikan tinggi, saya tak pernah dihambat Aba pergi ke luar kota, bahkan luar negeri. Alwi justru lebih dulu nyantri di Pesantren Dar an-Nasyi’in, Lawang, Malang, saat usianya belum 9 tahun. Setelah dua tahun mondok sekaligus melanjutkan pendidikan SMP di Malang, saya merantau ke Mesir bersama Alwi pada November 1958. Usia saya masih 14 dan Alwi 12 tahun.
Setelah 9 tahun di rantau orang, saya meraih sarjana tafsir dan hadis. Alhamdulillah, hanya dua tahun saya sudah meraih gelar master of arts (MA) pada jurusan yang sama.
Pada 1980, saya kembali ke Mesir untuk memenuhi doktrin Aba meraih gelar doktor bidang ilmu Al-Quran. Titel itu bisa saya raih dalam waktu dua tahun, dengan nilai summa cum laude.
Mesir membekali saya dengan apa yang dinamakan dengan wasathiyyah (moderasi). Saya beranggapan bahwa perbedaan itu lumrah. Saya rasa tidak apa-apa kalau kita berbeda. Saya berkeyakinan Tuhan tidak bertanya 4 + 4 berapa? Yang Tuhan tanya adalah 8 itu berapa tambah berapa? Jadi, kalau saya berkata 8, bisa jadi itu penjumlahan dari bilangan 7 + 1, atau bisa juga dari 6 + 2, semuanya sama. Jadi kita menghormati semua pendapat, tapi bukan berarti kita menerima pendapat itu.
Sama halnya dengan berjilbab. Karena pandangan ini saya dikritik. Saya beranggapan jilbab baik, tapi jangan paksakan orang mengenakan jilbab, karena ada ulama yang berpendapat bahwa jilbab tidak wajib. Memang semua ulama berpendapat menutup aurat itu hukumnya wajib. Tapi mereka berbeda pendapat tentang batasan aurat itu.
Untuk menegaskan pendapatnya, Quraish menulis buku Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan Lentera Hati pada 2004. Ia merasa perlu menulis buku itu karena masih banyak yang salah paham terhadap pandangannya seputar jilbab.
Sampai saat ini saya berpendapat yang tak berjilbab tapi berpakaian terhormat belum tentu salah. Tapi, kalau mau dijamin, pakailah jilbab. Tapi jangan anggap wanita tak berjilbab itu bukan muslimah.
Bukan soal jilbab saja saya dikritik. Tudingan Syiah terhadap saya juga deras. Saya katakan terhadap pihak yang menuduh itu untuk menunjukkan bukti dari buku-buku saya, kalau terbukti saya Syiah, silakan ambil royaltinya.
Secara simbol, mudah melihat tanda Syiah atau bukan. Lihat saja, sewaktu saya beribadah haji, apakah saya naik bus menggunakan atap terbuka seperti yang dilakukan jemaah haji Syiah. Kalau saya salat, apakah menggunakan batu Karbala di tempat sujud? Kalau saya berbuka puasa, apakah menundanya 10-15 menit seperti orang Syiah?
Saya mengira dugaan orang menilai saya Syiah disebabkan oleh sejumlah ceramah atau karya tulis saya yang kentara menyatakan cinta saya ke keluarga Nabi Muhammad dan keturunannya dari Fathimah dan Ali bin Abi Thalib. Saya memang cinta Ahlul Bait karena saya punya hubungan darah dengan mereka, jadi cinta saya berlipat.
Dalam buku Cahaya, Cinta dan Canda: Sisi Lain M. Quraish Shihab disebutkan bahwa Quraish tak tahu kapan persisnya tudingan Syiah muncul pertama kali. Seingat dia, cap Syiah mulai berembus ketika ia meluncurkan edisi percobaan Ensiklopedia Al-Qur’an pada 1997. Quraishlah yang menggagas sekaligus memimpin penyusunannya sejak 1992, melibatkan puluhan dosen dan mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo