Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT mengharapkan manfaat tambahan dari rencana Menteri Pertanian Amran Sulaiman meminta kembali kewenangan mengatur izin impor komoditas pertanian. Yang pasti muncul dari pengalihan kewenangan itu adalah semakin panjangnya rantai birokrasi perizinan impor. Jalur birokrasi berbelit sudah terbukti melahirkan ekonomi biaya tinggi, yang selama ini menjadi penyakit akut perekonomian Indonesia.
Menteri Amran menginginkan kewenangan pengaturan izin impor komoditas pertanian, seperti penetapan importir dan jumlah kuota, yang sekarang berada di Kementerian Perdagangan. Permintaan ini layak dipertanyakan. Sebab, pengalihan kewenangan yang berlaku sejak 2013 itu ditempuh karena ketidakbecusan Kementerian Pertanian mengelola perizinan impor. Sampai saat ini belum cukup prestasi Kementerian Pertanian yang membuat kewenangan itu mesti dikembalikan.
Bukan hanya pengaturan impor yang kacau-balau. Ketika kewenangan itu berada di Kementerian Pertanian, perizinan impor menjadi bancakan oknum partai politik tempat asal menterinya. Penangkapan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap jual-beli kuota impor daging membuka tabir gelap itu. Dari penyidikan komisi antikorupsi ditemukan, hampir semua perizinan impor produk pertanian "diperdagangkan" untuk kepentingan oknum partai politik di Kementerian Pertanian.
Pemberian izin impor produk pertanian teramat mudah menjadi "tambang uang" bagi siapa saja yang mendapat kewenangan. Faktor utamanya, penentuan nilai barang yang diimpor dan siapa saja importirnya diputuskan segelintir orang secara tertutup. Publik tidak pernah mendapat informasi bagaimana mekanisme perhitungan: berapa kebutuhan nasional, kemampuan petani dalam negeri untuk memenuhi, dan jumlah produk yang mesti diimpor. Semua proses serba gelap, dan baru terang ketika ada oknum yang tertangkap tangan menerima suap dari jual-beli kuota impor.
Kegiatan impor produk pertanian juga menyangkut uang yang besar. Dari tahun ke tahun, volume dan jumlah produknya terus meningkat. Pada 2013, misalnya, nilai impor produk pertanian mencapai US$ 12,8 miliar, dan naik pada 2014 menjadi US$ 17,36 miliar. Jenis produk yang diimpor pun semakin beragam.
Semestinya yang perlu dipikirkan pemerintah adalah menentukan langkah terobosan pemangkasan rantai birokrasi perizinan impor produk pertanian. Sebab, rantai birokrasi perizinan impor, misalnya produk hortikultura, saat ini sudah panjang sehingga mengakibatkan kenaikan biaya yang ditanggung importir-yang pada akhirnya dibebankan ke konsumen.
Sekarang ini, setiap kegiatan mendatangkan barang pertanian dari luar negeri, misalnya produk hortikultura, mesti melalui tiga lapis perizinan. Pertama adalah mendaftarkan diri sebagai importir di Kementerian Perdagangan. Kedua, mendapatkan rekomendasi izin produk hortikultura dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian. Ketiga, meminta surat persetujuan impor dari Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan.
Sekarang, ketimbang mengalihkan kewenangan perizinan impor ke Kementerian Pertanian, lebih penting pemerintah mempercepat lahirnya kebijakan satu pintu perizinan impor produk pertanian. Proses penentuan kuota impor harus lebih transparan dan lepas dari kepentingan para makelar yang bermodalkan kedekatan dengan pejabat pemilik kewenangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo