Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Meski dekat, saya tidak mau disebut sebagai sahabatnya. Saya hanya salah seorang warga negara yang jelas menikmati sebagian perjuangan Pak Harto. Dia memang bukan orang suci, tapi semua orang tidak lepas dari kesalahan."
KEDATANGAN Bacharuddin Jusuf Habibie tidak diketahui wartawan yang sejak sore berjaga di pintu masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, 15 Januari 2008. Pukul 21.30, Habibie ke luar ruangan dan memberi pernyataan pers. "Saya dan istri datang langsung dari Jerman, menuju RSPP untuk menjenguk Pak Harto."
Habibie mengaku bersama anak-anak Soeharto memanjatkan doa di ruangan sebelah Soeharto dirawat. Itu yang tergambar dalam buku Mereka Mengkhianati Saya (Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru).
Pengakuan Habibie berbeda dengan penjelasan tim dokter kepresidenan dan Quraish Shihab. Quraish mengatakan Habibie dan istri berdoa di kamar yang berbeda dengan kamar anak-anak Soeharto berada. "Saya sampaikan ke Pak Habibie, lebih baik jangan menemui Pak Harto karena kondisinya tidak stabil," kata Quraish mengenang.
Quraish memang mendampingi hari-hari terakhir Soeharto. Ia mulai dekat dengannya sejak Siti Hartinah alias Tien Soeharto meninggal pada April 1996. Hampir saban malam, setelah memberi ceramah di Jalan Cendana, ia menemui sang Presiden. Sejak itu, Quraish dianggap sebagai guru spiritual Soeharto-kemudian dicap Soehartois, bahkan penjilat.
Saya mengenal Pak Harto sebelum Ibu Tien wafat. Ketika itu saya adalah anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang mewakili utusan golongan dari ulama-bersama Muntaha Al Hafiz, juga KH Zainuddin M.Z.
Di MPR, saya sudah kenal Bambang (Trihatmodjo) dan Tutut (Siti Hardijanti Rukmana). Utusan golongan itu berafiliasi dengan Golongan Karya, sehingga saya sering berkomunikasi dengan mereka.
Saya beberapa kali diundang menjadi penceramah di pengajian rutin yang digelar istri Bambang, Halimah, dan menjadi pembimbing biro perjalanan umrah dan haji milik mereka. Lewat Bambang, saya jadi kenal Pak Harto.
Pak Harto yang saya kenal itu adalah orang Jawa yang bijak. Kalau menjamu makan, dia seperti bukan lagi jadi presiden, justru dia yang melayani. Saya kenal Pak Harto dari dalam (menunjuk dada), ketika dia di dalam rumah dan memakai sarung, bukan sebagai presiden.
Meski dekat, saya tidak mau disebut sebagai sahabatnya. Saya hanya salah seorang warga negara yang jelas menikmati sebagian perjuangan Pak Harto. Sebagai muslim, saya merasa terselamatkan dari komunis, yang ditumpas Pak Harto.
Dalam sebuah obrolan di Cendana, saya pernah bertanya kepada Pak Harto tentang apa yang menyebabkan dia memutuskan mengambil alih komando setelah Peristiwa G-30-S. Saat itu dia tersenyum, dan menjawab spontan ndilalah (arti ndilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu).
Pak Harto bilang ada dorongan yang begitu kuat dari dalam hati untuk melakukan itu. Ia juga tidak mengetahui benar bagaimana kemudian bisa muncul ke permukaan. Saya anggap itu adalah dorongan dari Tuhan kepada Pak Harto untuk menyelamatkan bangsa. Ketika itu kami mengobrol sambil duduk bersila, setelah pengajian.
Pertanyaan itu tidak membuatnya terkejut, apalagi marah. Saya tidak pernah melihat dia marah, tapi jarang juga saya dengar dia tertawa, sering kali hanya tersenyum.
Dari apa yang saya pahami, Pak Harto adalah orang yang berjasa untuk Indonesia. Ia bisa menumpas komunis, kemudian juga membangun seribu masjid. Dia memang bukan orang suci, tapi semua orang tidak lepas dari kesalahan. Begitu juga Ibu Tien.
DALAM ceramah di acara peringatan 40 hari wafatnya Ibu Tien, Quraish mengungkapkan kebaikan dan jasa almarhumah, termasuk mendirikan Taman Mini Indonesia Indah, Rumah Sakit Dharmais, dan Perpustakaan Nasional. Quraish mengatakan kebaikan itu bisa mengantar almarhumah ke -surga.
Pernyataan itu oleh sebagian kalangan dianggap berlebihan, dan banyak yang menilai Quraish tengah menjilat. Saat itu Pemilihan Umum 1997 tinggal berbilang bulan dan suhu politik memanas (buku Cahaya, Cinta dan Canda: Sisi Lain M. Quraish Shihab).
KETIKA peringatan malam ke-40 wafatnya Ibu Tien, saya bertanya kepada Pak Harto perlunya menuliskan isi ceramah atau tidak. Pak Harto justru bilang tidak usah, bicara saja apa adanya. Pak Harto mungkin sudah percaya saya, setelah menyimak isi ceramah saya beberapa kali.
Apa yang kemudian saya sampaikan dalam acara itu merupakan hadis Nabi. Tentu motif saya adalah ingin menghibur keluarganya. Nabi mengajarkan agar kita menyebut kebaikan yang wafat. Dalam konteks Ibu Tien, siapa pun tahu jasanya.
Saya cukup heran kenapa orang selalu punya persepsi bahwa orang yang dekat dengan Cendana atau Pak Harto itu menjilat. Tapi saya tidak peduli, dan demi Tuhan kedekatan itu tidak pernah saya gunakan untuk mendapatkan jabatan. Saya jamin saya tidak mendapat sepeser pun dari Pak Harto.
Kalau orang bilang saya sabar jika dituduh Soehartois atau penjilat, sebenarnya tidak juga. Saya bisa juga marah. Tapi lebih baik tanya ke Ibu (Fatmawati), saya sering marah atau tidak, he-he-he.... Seandainya saya kembali pada waktu itu dan diberi kesempatan berubah, saya akan memilih jalan saya ini (menjadi ulama saja).
Mungkin saya menjadi Menteri Agama itu sudah suratan takdir. Saya sendiri tidak pernah bermimpi jadi menteri. Malah terkejut ketika ditelepon Pak Harto. Telepon itu tidak lebih dari lima menit. Awalnya saya tolak, tapi tidak bisa karena Pak Harto tetap meminta.
Sebagai menteri di pengujung kekuasaan Pak Harto, saya berperan sebagai penghubung antara Presiden dan tokoh muslim, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Emha Ainun Nadjib, yang dengan derasnya menuntut mundur Pak Harto. Ketika itu Pak Harto sempat menawarkan reshuffle kabinet dan membentuk komite reformasi, tapi ditolak.
Pak Harto ingin menunjuk Cak Nur sebagai ketua komite reformasi. Dia meminta saya untuk membujuk Cak Nur, tapi Cak Nur merasa tidak enak menerima amanah itu karena masyarakat menuntut Pak Harto mundur.
PADA 20 Mei 1998, Soeharto menerima surat dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Isinya hasil kesepakatan pimpinan DPR dengan pimpinan demonstran, menyatakan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri selambatnya hari Jumat, 22 Mei. Kalau sampai hari itu tidak juga mundur, pimpinan DPR/MPR akan menggelar Sidang Istimewa pada 25 Mei. Ini adalah surat kedua dari pimpinan Dewan yang terang-terangan meminta Soeharto mundur.
Soeharto sendiri sebenarnya masih berharap Nurcholish Madjid bersedia memimpin Komite Reformasi. Tapi, pada pukul 20.00 WIB, Nurcholish dihubungi Menteri Agama Quraish Shihab dan telah memberikan kepastian tidak bersedia. Quraish lalu menghubungi Presiden Soeharto dan memberitahukan hal itu. Soeharto kemudian berujar kepada Quraish, "Ya sudah, saya akan mundur saja." "Mengapa?" tanya Quraish. "Kalau Cak Nur saja yang moderat sudah tidak mau, tak ada pilihan lain kecuali saya mundur," ujar Soeharto (buku Krisis Masa Kini dan Orde Baru).
Pak Harto tidak marah karena saya tidak bisa membujuk Cak Nur. Sikap Pak Harto itu, menurut saya, jadi pelajaran bagi para pemimpin di Timur Tengah-untuk legowo mundur jika masyarakat sudah tidak menginginkan.
Setelah lengser, Pak Harto banyak berbicara tentang ibadah dan masjid. Saya melihat religiositas Pak Harto semakin kental. Hampir setiap pagi, sebelum subuh, Pak Harto bangun untuk salat tahajud. Tidak ada canda. Kalaupun ada, porsinya amat sedikit.
Saat itu saya merasa terpanggil untuk tetap mendampinginya. Sekali lagi, saya tidak peduli orang akan mencap saya Soehartois. Itu sekaligus membuktikan bahwa saya tak berharap keuntungan apa-apa. Pada akhirnya, saya pun bersyukur hanya menjabat Menteri Agama dua bulan. Kalau sampai setahun, saya mungkin korupsi juga, ha-ha-ha....
Menjadi menteri juga menjadi jalan saya untuk bisa produktif dalam menulis. Ini adalah jalan Tuhan agar saya bisa menjadi duta besar di Mesir, kemudian menulis (Tafsir al-Misbah). Kalau saya tidak jadi menteri, Pak Habibie tidak akan mengangkat saya jadi dubes saat itu, walaupun awalnya saya tolak.
Saya katakan ke Pak Habibie bahwa saya bukan diplomat. Tapi beliau bilang diplomat itu tidak bisa jadi guru besar, tapi guru besar bisa jadi diplomat.
Sebenarnya saya tidak ingin berangkat karena tidak ingin meninggalkan Pak Harto. Saya melihat hampir semua temannya meninggalkan dia, itu amat tidak etis.
Saya kemudian bercerita kepada Pak Harto soal pengangkatan saya jadi dubes. Pak Harto malah bilang saya harus berangkat. Dia malah mengatakan jangan pernah membangkang terhadap pimpinan. Dan saya pun berangkat.
Pada hari-hari terakhirnya, Pak Harto terus saya dampingi. Saya lihat dia ikhlas dan siap menghadapi kematian. Malah jauh-jauh hari Pak Harto sudah berpesan tentang mekanisme penguburannya. Bila wafat sebelum zuhur, ia minta jenazahnya diterbangkan ke Astana Giribangun hari itu juga. Namun, jika berpulang setelah zuhur, Pak Harto meminta jasadnya diinapkan lebih dulu di Jalan Cendana.
Tidak ada pesan terakhir Soeharto kepada saya. Pada saat-saat ajal menjemput, beliau sudah susah bicara. Tidak semua orang bisa masuk ruangan. Saya salah seorang yang diizinkan masuk. Jika sadar, ia akan menjabat tangan dan mengangguk.
MINGGU, 27 Januari 2008, Soeharto wafat sesudah waktu zuhur dan jenazahnya diinapkan di kediamannya, Jalan Cendana-sebelum diberangkatkan ke Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo