Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Qreschev, Si Kereta Penabrak Lawan

Quraish dan Alwi Shihab berangkat ke Mesir pada 1958 dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta-dengan kapal Neptunia. Untuk sampai di Mesir, dia harus merasakan ditimang-timang ombak di laut selama 16 hari.

6 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam Buku Cahaya, Cinta Dan Canda: Sisi Lain M. Quraish Shihab Disebutkan Bahwa Quraish Bersama Rombongan Pemuda Sulawesi Yang Dikirim Gubernur Andi Pangeran Menuntut Ilmu Agama Ke Mesir. Selain Quraish Dan Alwi, Ada Musytari Yusuf, Hafsah Intan, Titin Kahar, Muzakkar, Dan Pemuda Lain.

Di Mesir Saya Masuk Sekolah Al-azhar. Saya Diterima Di Kelas Ii I'dadiyah, Setara Dengan Sekolah Menengah Pertama Atau Tsanawiyah Di Indonesia. Saya Tinggal Di Asrama Madinah Al-bu'uts, Yang Banyak Dihuni Pelajar Luar Negeri. Pelajar Lokal Bermukim Di Ma'had Al-qahirah. Tiap Pelajar Menempati Kamar Masing-masing, Tapi Tanpa Pintu.

Kalau Libur, Saya Suka Mengunjungi Klub Himpunan Pemuda Pelajar Indonesia (hppi) Di Bab Al-luq. Di Situ Saya Bertemu Dengan Gus Dur (abdurrahman Wahid), Penggerak Organisasi Mahasiswa Indonesia. Saya Pun Akhirnya Aktif Di Hppi, Memegang Bidang Olahraga.

Di Mesir, Saya Mulai Aktif Bermain Bola. Saya Tidak Tahu Darah Olahraga Ini Turun Dari Aba Atau Emma. Sebab, Saya Tidak Pernah Melihat Aba Berolahraga. Paling Jalan Kaki Jauh Sekali, Dari Rumah Ke Kantor.

Dengan Alwi, Saya Gagas Klub Bola Bernama Bu'uts. Pemainnya Penghuni Asrama Madinah Al-bu'uts. Di Klub Ini, Ada Juga Gus Mus (achmad Mustofa Bisri) Dan Abdullah Syukri Zarkasyi (kini Pemimpin Pondok Modern Darussalam Gontor).

Tidak Hanya Di Bu'uts, Saya Juga Terdaftar Di Tim Junior Zamalek, Klub Berjulukan Benteng Sungai Nil. Hingga Kini, Zamalek Menjadi Klub Yang Bersaing Dengan Al-ahly Di Liga Mesir, Seperti Persaingan Real Madrid Dan Barcelona Di La Liga Spanyol.

Saya Tidak Ikut Akademi Sekolah Bolanya Di Zamalek. Saya Cuma Tercatat Di Klub. Saya Tidak Sanggup Membagi Waktu Antara Sekolah Dan Bola. Latihan Pun Bukan Dengan Tim Utama, Melainkan Dengan Yang Sebaya. Namun, Saat Latihan, Saya Bisa Melihat Pemain Favorit Saya Berlatih. Di Antaranya Striker Ali Muhsin Asal Yaman.

Di Zamalek Junior, Saya Bermain Di Posisi Bek. Karakter Saya Amat Lugas. Saya Dijuluki Kereta, Yang Kalau Lari Begitu Kencang Tapi Terkadang Tidak Bisa Menahan Lari, Sehingga Menabrak Lawan. Pokoknya Tak Ada Kompromi. Penyakit Punggung Saya Mungkin Berawal Dari Kerasnya Permainan Saya Di Lapangan. Dokter Yang Memeriksa Saya Menduga Penyakit Punggung Itu Karena Dulu Saya Kerap Jatuh Dan Berbenturan.

Saya Ingat, Saat Ulang Tahun, Zamalek Mengundang Klub Pujaan Saya, Real Madrid. Tentu Saja Saya Senang. Siapa Pun Tahu Alfredo Di Stéfano, Pemain Terbaik Dunia 1957 Dan 1959, Bermain Di Sana. Jauh-jauh Hari Saya Menyisihkan Uang Untuk Tiket Yang Harganya 5 Pound Sterling, Sementara Uang Beasiswa Saya Hanya 7 Pound Sterling. Saya Harus Mengatur Uang Secara Ketat. Apalagi Saya Hidup Di Mesir Tanpa Biaya Dari Orang Tua.

Strateginya Ketika Itu Adalah Diet. Jadi, Jika Saya Makan Roti Yang Berisi Gula, Separuhnya Saya Makan Saat Siang, Sisanya Saya Simpan Untuk Makan Malam. Sayangnya, Roti Murah Itu Cepat Keras. Maka, Sebelum Roti Dimakan Saat Malam, Saya Mengendap Ke Ruang Cuci Dan Menyetrika Rotinya Biar Lembut Kembali. Dan Gulanya Pun Meleleh Kena Panas Setrika. Enak.

Pada Hari Pertandingan Madrid Melawan Zamalek, Saya, Alwi, Dan Beberapa Teman Menuju Stadion Nasional Mesir. Kami Berjalan Kaki Kira-kira Dari Jalan Jeruk Purut Ke Senayan. Waktu Itu Zamalek Kalah Dengan Skor Tipis. Madrid Datang Bukan Untuk Mempermalukan Tuan Rumah. Mereka Bermain Cantik Saja, Untuk Menghibur.

Dari Pengalaman Menonton Itu, Saya Sering Menceritakan Nama-nama Alfredo, Pele, Atau Ali Muhsin-yang Pernah Saya Lihat Langsung Dalam Bermain-ke Anak Dan Cucu Saya. Tapi Khusus Untuk Dua Cucu Saya: Fathi Dan Izzat, Saya Memunculkan Nama Pemain Lain. Dialah Qreschev.

Pemain Ini Bermain Di Zamalek, Sebagai Bek Dan Punya Keterampilan Bagus Dalam Olah Bola, Juga Fisik. Ini Membuat Dua Cucu Saya Bersemangat Untuk Bermain Bola Di Sekolah Bola Liverpool Dan Arsenal. Padahal Qreschev Adalah Sosok Imajiner, Pelesetan Dari Nama Saya Quraish Shihab.

Bagi Saya, Sepak Bola Itu Cantik Dan Memiliki Nilai Seni. Dari Bola, Saya Banyak Belajar Tentang Kesabaran, Disiplin, Kerja Sama, Dan Bagaimana Melakukan Manuver.

Tapi, Kalau Orang Bertanya Hiburan Saya Apa, Yang Pertama Itu Adalah Menulis. Yang Kedua Berenang Dengan Cucu Dan Yang Ketiga Nonton Sepak Bola.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus