NAMANYA Kiai Slamet. Tubuhnya putih karena dia albino alias bule. Tokoh inilah pendukung utama dan satu-satunya protes seorang punggawa Keraton Kasunanan, Solo ketika ia minta kenaikan gaji. Ceritanya, malam menjelang 1 Suro lalu, waktu pihak Keraton Kasunanan harus mengarak pusaka-pusaka berkeliling istana, Kiai Slamet tak muncul pada waktunya. Padahal, Kirab Pusaka, demikian istilahnya, hanya sah bila divoor-rijderi Kiai Slamet. Begitu jam menunjuk pukul 10 malam, pihak panitia, yang terdiri dari keluarga Keraton, panik. Akhirnya diputuskan untuk menjemputnya. Wah, Kiai ternyata masih santai. Dan begitu panitia Kirab muncul, ia melenguh dan memalingkan kepala ke atas atap. Kiai Slamet, memang seekor kerbau. Dan di atap kandang bersembunyi Pak Kromo Mahesoprawiro, pengasuh si kerbau yang protes. Pak Kromo, ayah 8 anak dan kakek 4 cucu asal Klaten, sejak diangkat sebagai pengasuh Kiai pada 1953 sampai sekarang, gajinya tak pernah naik dari Rp 3.500. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, ia bekerja serabutan. Pokoknya halal. Kini, obyekannya mulai sepi, maka ia protes. Singkat cerita, permintaan pengasuh itu diterima. Bahkan satu tuntutan tambahan -- kalau si bule beranak dua, satu untuk Pak Kromo, bila anak kerbau cuma satu, pengasuh itu mendapat uang seharga anak kerbau, sekitar Rp 100.000 -- disetujui pula. Tak seorang pun berani ambil resiko menggagalkan Kirab. Lalu berapa persen gaji voorrijder itu naik? "Berapa saja akan saya terima yang penting naik," kata Pak Kromo. Tak ada komentar dari Kiai Slamet, harap maklum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini