RANTING-ranting belukar menghitam tanpa daun. Permukaan tanah di antara gerumbul semak yang gosong itu berwarna merah-kehitaman dan retak-merekah, membentuk celah. Di sela-sela rekahan tanah ini mengepul asap putih pekat. Asap itu makin tebal setelah tanah tersiram hujan. "Dan baunya tambah sangit," ujar Idrus, yang hampir tiap hari melewati daerah ini. Bagi Idrus, sopir taksi Samarinda-Balikpapan, bau itu tak lagi asing. Asap putih berbau itu mulai merebak sejak beberapa pekan lalu, dan hingga kini masih mengepul dari tengah semak-semak tipis pinggiran jalan, pada kilometer 30 jalur Samarinda-Balikpapan, Kal-Tim. Rupanya, api mengamuk di kawasan itu. "Kali ini bara api ada di bawah permukaan tanah," ujar Prof. Soetrisno Hadi, ahli kehutanan yang menjabat Rektor Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Tumbuhan tampaknya belum bisa leluasa tumbuh di daerah ini, sejak terjadi bencana kebakaran hutan di Kal-Tim lima tahun silam. Dalam bencana -- yang dianggap kebakaran hutan terbesar sepanjang sejarah dan berlangsung antara Ok-tober 1982 dan April 1983 itu -- 3,6 juta ha hutan terpanggang. Kawasan hutan di kanan-kiri Jalur penting itu termasuk bagian yang luka parah akibat amukan api. Api rupanya sekarang datang lagi. "Kali ini yang terbakar adalah deposit batu bara di bawah tanah," kata Soetrisno Hadi. Api yang membara di di bawah permukaan itu, menurut dugaan Soetrisno, adalah buntut kebakaran lima tahun silam. Bara api yang menggila waktu itu membuat retakan pada lapisan tanah. Lalu serpihan api itu ada yang menyusup ke dalam celah retakan dan mencapai lokasi lapisan batu bara. Keruan saja serpihan api itu mudah menyulut lapisan batu bara yang telanjur panas oleh pengaruh bara di permukaan. Maka, sedikit demi sedikit batu bara itu terbakar dan menjalar ke mana-mana. Siraman hujan dan tetesan embun selama lima tahun ini tak mampu mendinginkan api yang merambah batuan bawah tanah itu. Tapi dugaan Soetrisno ditolak oleh tim IPB yang pernah menyurvei lokasi kebakaran itu. "Kebakaran lima tahun lalu itu sudah lama padam. Sudah berulang kali saya pergi ke sana, tak ada lagi sisa api lama," tutur Dr. Gunarwan Suratmo, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, yang memimpin tim itu. Memang, kebakaran sekali-dua kali terjadi pada semak belukar yang kembali hijau setelah terpanggang lima tahun lalu itu. Kebakaran lokal terjadi akibat ulah penduduk setempat yang hendak berladang. "Cara mereka membuka ladang, ya, dengan membakar belukar itu," tambah Gunarwan. Kebakaran lokal itu, kata Gunarwan, boleh jadi menerpa lapisan batu bara muda itu dan kadangkala menyembul di atas permukaan tanah. Batuan itu memang mudah terbakar. Maka, membaralah lapisan dan menyebar ke sana-sini. "Tapi yang terbakar hanya bagian atas saja," ujarnya. Terbakarnya batu bara muda itu tak akan lama. "Kalau terjadi hujan besar, nanti bara itu padam," ujarnya. Sebab, batuan itu masif, tak banyak menjerap oksigen untuk pembakaran. Jadi, sumber oksigen ya dari udara luar. Pada lapisan yang lebih dalam, oksigen tak tersedia. Batas kedalaman yang bisa terjilat api, menurut taksiran Gunarwan, paling banter sampai 3 meter. Kawasan Kalimantan Timur sebenarnya bukanlah termasuk daerah kerontang. Curah hujan di kawasan itu setahun antara 1.800 dan 2.700 mm. Jadi, menurut Gunarwan, kebakaran jangka panjang bisa diatasi sendiri oleh alam. Kemungkinan bahwa timbunan deposit batu bara akan terpanggang habis boleh dilupakan. Yang dikhawatirkan oleh Ketua PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup) IPB ini bukanlah bara yang marambah di bawah tanah. "Bara itu bisa menjadi sumber api yang sewaktu-waktu dapat membakar hutan di atasnya," katanya. Kemarau memang bisa menimbulkan bala di tengah rimba. Pada keadaan kering ini, serasah (lantai hutan) merupakan material yang mudah termakan api. Timbunan dedaunan, ranting, dan batang tumbuhan rambat bisa menjadi ajang bagi api untuk berpesta pora. Di tengah hari, kelembapan nisbi udara hutan Kal-Tim bisa turun sampai 40%. Gambut yang terletak di bawah secara sah, bagai diperas, kering sampai kedalaman 50 cm. Akibatnya, tumbuhan merambat dan semak, yang memancangkan akar di gambut, mati kehausan. Kebakaran lima tahun silam, menurut studi lain oleh PPLH IPB tahun 1984, adalah akibat cuaca kering itu. Waktu itu, jeluk hujan yang jatuh di rimba Kal-Tim jauh dari angka biasanya. Tiga bulan menjelang kebakaran itu terjadi (Oktober 1982), curah hujan kurang dari 200 mm. Dan selama 10 bulan antara Juli 82 dan April 83, curah hujan turun 68%, dari adat normalnya. Tentang pemicu yang mengobarkan api, tim tak bisa mengusutnya. Pemicu kebakaran hanya bisa diraba-raba. Kemungkinan api timbul dari peladang yang ingin membuka ladang baru atau pemburu yang memasak di tengah hutan. Kemungkinan lain adalah gesekan kayu-kayu hutan akibat empasan angin. Yang terang, melihat dari arah perambatan api dan luas jangkauan kebakaran itu, tim menyimpulkan bahwa api tak tumbuh dari satu tempat. Kerugian materi yang ditimbulkan api selama delapan bulan itu sungguh memilukan. Intensitas kematian pohon mencapai 50 persen. Yang tragis, pohon-pohon dari kerabat meranti, yang berkualitas bagus, paling tak tahan api. Ada pohon mati yang masih bisa ditebang karena tak hangus total. Kendati begitu, perhitungan total toh menunjukkan penurunan potensi kayu mencapai 48%. Atas dasar asumsi bahwa potensi sebelum kebakaran mencapai 82 m3/ha, kerugian total ditaksir sekitar 122 juta m. Itu belum terhitung kerugian akibat menyusutnya peran ekologisnya. Ketika hujan besar turun, Juli 1984, desa-desa sepanjang Sungai Mahakam tergenang. Tak ada lagi pepohonan besar yang menangkap air. Putut Tri Husodo, Diah Purnomowati (Jakarta) dan Rizal Effendi (Samarinda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini