Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Raksasa yang Tak Mau Mati

Bongkar-pasang formasi, diwarnai konflik, intrik, juga narkoba, bukanlah pukulan yang bisa mematikan God Bless. Mendekati usia 40 tahun, band rock tertua di Indonesia ini seperti raksasa yang tetap tegak dan jadi ”kiblat” sejumlah band yang datang kemudian. Kepada wartawan Tempo Nieke Indrietta dan Ninin Damayanti serta fotografer Dwianto Wibowo, para personel God Bless menuturkan kisahnya.

28 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prolog

ACHMAD Albar belakangan jarang mendiami rumahnya di daerah Cinere, Jakarta Selatan. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah barunya di kaki Gunung Salak, Jawa Barat. Sesekali ia "turun gunung" menyambangi kediamannya di Cinere. Pria berambut kribo ini pencinta anjing. Beberapa anjing pudel berambut kriwil berhamburan menyambut kedatangan Tempo di teras rumahnya.

Albar hanya meninggalkan rumahnya yang jauh dari Jakarta untuk latihan persiapan konser. Latihan berlangsung di studio yang dibangun Ian Antono di halaman belakang rumahnya.

Bersama Donny Fattah, Albar dan Ian adalah personel God Bless yang paling awet dari berkali-kali bongkar-pasang. Di usianya yang hampir 40 tahun, God Bless dengan formasi mutakhir Albar (vokal), Ian (gitar), Donny (bas), Abadi Soesman (keyboard), dan Yaya Moektio (drum) masih kerap mendapat undangan konser. Bagaimana mereka bisa bertahan? Inilah kisah Albar, Donny, dan Ian, juga Yockie Sur-yoprayogo, yang pernah lama mengisi posisi pemain keyboard.

l l l

Achmad Albar

SAYA lahir sebagai putra kedua pasangan Syech Albar, tokoh musik gambus, dan Farida Alhasni pada 16 Juli 1946 di Surabaya. Waktu umur saya tiga tahun, Ayah meninggal. Ibu kemudian menikah dengan Djamaludin Malik, tokoh perfilman nasional. Dari perkawinan itu, lahirlah adik saya, Camelia Malik. Bakat seni almarhum Ayah menurun kepada saya. Saya main film Djenderal Kantjil, ikut band bocah Bintang Remaja, lalu bikin band Kuarta Nada bersama Titi Qadarsih.

Pada 1960, saat peristiwa Gerakan 30 September, orang tua mengirim saya kepada keluarga di Belanda. Saya bersekolah musik selama delapan bulan. Seni masih jadi bagian hidup saya: menang kontes bakat di TV Holland, vokalis tamu di The Tee Set, bergabung dengan Take Five, lalu jadi vokalis Clover Leaf. Lewat Don't Spoil My Day dan Grey Clouds, Clover Leaf menembus Top 40 di Austria, Belgia, Luksemburg, Jerman, dan beberapa negara lain di Eropa. Pada 1972, band ini vakum.

Setelah delapan tahun tinggal di Belanda, saya memutuskan pulang liburan ke Indonesia bersama Ludwig Le-mans, gitaris Clover Leaf. Yang tadinya cuma niat liburan jadinya malah balik nge-band gara-gara ketemu Fuad Hasan dan Donny Fattah, personel Fancy Jr. Kami bikin band Crazy Wheels. Pada 1973, kami ubah menjadi God Bless ketika Donny mendapat ide dari tulisan "May God bless you" pada kartu-kartu ucapan hari raya. Pada tahun yang sama, Yockie Suryoprayogo masuk sebagai pemain keyboard.

Pergelaran perdana di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. God Bless melakukan latihan persiapan di Puncak selama dua minggu. God Bless main selama tiga perempat jam, membawakan lagu-lagu Barat milik orang lain. Sambutan penonton bagus. Setelah itu, kami sering mendapat tawaran manggung.

Rumah ibu saya di Tebet jadi ramai gara-gara anak band sering ngumpul. Lalu saya dan beberapa anak band menyewa rumah di Kalibata, buat ngumpul dan latihan. Di rumah ini tidak ada listrik. Kalau mau mandi, kami mesti menimba dulu, minimal sepuluh kali.

Saat itu God Bless mulai sering berpentas. Ludwig, yang sudah sembilan bulan di Indonesia, terpaksa balik ke Negeri Tulip, setelah tiga kali memperpanjang visa. Perpanjangan visa dipersulit, sehingga Ludwig memutuskan pulang untuk seterusnya. Yockie, karena narkoba, dikeluarkan dari God Bless. Penggantinya adalah Soman Lubis. Setelah itu, banyak pergantian personel (lihat infografis).

Pada 1974, Fuad dan Soman meninggal karena kecelakaan lalu lintas di Tugu Pancoran, Jakarta Selatan. Itu masa paling suram bagi saya. Sejak itu, saya dan Donny tak tinggal di rumah Kalibata. Markas pindah ke Jalan Pegangsaan. Anak-anak band kembali ke tempat masing-masing. Saya pulang ke rumah ibu saya. Donny balik ke rumah orang tuanya di Tebet.

God Bless vakum. Hanya saya dan Donny yang tersisa.

l l l

Donny Fattah

God Bless berkabung. Fuad Hasan, dulu adik ipar Achmad Albar, suami Camelia Malik, cukup berarti buat saya. Dialah orang yang mengajak saya. Fuad sering melihat saya—yang masih di SMP—main band, lalu mengajak saya bergabung.

Saya ingat betapa beratnya perjuangan kami kala God Bless masih bayi. Indonesia baru mengenal musik rock. Waktu latihan, kami kerap disambangi ketua RT atau RW yang minta—secara halus atau kasar—kami pergi dan tidak membuat keributan. Kami terpaksa melakukan latihan sembunyi-sembunyi. Kadang dilempari batu kalau ketahuan.

Peralatan band seperti amplifier, gitar elektronik, mikrofon, dan echo adalah barang langka. Fuad itu jagoan kami. Dia punya banyak kenalan orang kaya dan teman yang punya peralatan band. Semua peralatan God Bless hasil pinjam kiri-kanan.

Kepergian Fuad mengguncang. Tapi saya dan Albar tak mau tenggelam. Setahun kemudian, saya mengajak Yockie bergabung lagi. Dia memperkenalkan Ian Antono dan Teddy Sujaya, kenalannya dari Malang, untuk mengisi kekosongan personel. Kami manggung lagi. Salah satunya di Taman Ismail Marzuki. Beberapa media mulai memberitakan sepak terjang God Bless. Salah satunya majalah Aktuil dari Bandung.

Tahun itu pula, Soerjoko, bos PT Aquarius Musikindo (Pramaqua), menawari God Bless masuk dapur rekaman. Soerjoko tahu God Bless dari Ian Antono. Mereka teman lama. Kami tak mau menyia-nyiakan kesempatan, karena saat itu hanya musik pop yang bisa muncul di publik. Kami mulai memasukkan lagu-lagu berbahasa Indonesia ciptaan sendiri. Tadinya God Bless menyanyikan lagu-lagu Focus, Kansas, Grand Funk Railroad, The Beatles, dan Rolling Stones.

Achmad Albar kebetulan bekerja sama dengan Sjumandjaja, sutradara, jadi banyak lirik yang berhubungan dengan film. Misalnya Huma di Atas Bukit dan Sesat. Saya, Albar, dan Sjumandjaja yang menggarap liriknya. Proses rekaman cepat, cuma sebulan, album bertajuk God Bless selesai. Inilah pertama kalinya Pramaqua, yang biasanya meluncurkan lagu-lagu Barat, mengorbitkan artis dalam negeri.

Di pengujung 1975, God Bless tampil sebagai band pembuka Deep Purple, yang saat itu menjadi perhatian dunia. Kami jadi headline di koran. Saya tidak tahu seberapa jauh God Bless dikenal masyarakat. Saya baru menyadarinya ketika koran dan majalah kerap memberitakan kami. Banyak permintaan dari teman-teman untuk manggung di kampus-kampus.

Di tengah kesuksesan, Yockie berhenti karena narkoba. God Bless kembali vakum. Posisi Yockie diisi Abadi Soesman. Butuh waktu hingga setahun untuk penyesuaian. Musik-musik kami waktu itu banyak terpengaruh Genesis, sehingga dibilang rumit. Saya banyak terpengaruh Deep Purple yang lirik-liriknya mengenai Perang Vietnam, bernada protes terhadap perang dan lingkungan hidup. Lagu-lagu inilah yang mengisi album kedua, Cermin. Lagu Anak Adam, misalnya, yang panjangnya hampir 12 menit.

Pada 1981, saya berangkat ke Amerika Serikat karena ingin bersekolah musik. Posisi saya diisi Rudi Gagola. Tapi niat saya bersekolah musik terpaksa urung gara-gara cuma mendapat visa diplomatik. Akhirnya, saya main band di Kedutaan Besar RI dan di pub-pub di Houston.

Pada 1984, saya pulang ke Indonesia. Begitu tahu saya sudah kembali, Achmad Albar dan Ian datang dengan jip ke rumah. "Ayo main lagi," begitu kata mereka. Tawaran yang tidak mungkin saya tolak.

l l l

Pada 1980-an, Log Zhelebour mulai gencar bikin festival musik rock. Beberapa lagu God Bless dari album Cermin, seperti Anak Adam, jadi lagu wajib di ajang itu. Selain Anak Adam, ada Musisi, Selamat Pagi Indonesia, dan Sodom & Gomorah. Dari segi penjualan, album ini memang yang paling jeblok. Tapi banyak kalangan pemusik justru menilai musik di album ini tergolong progresif. Durasi lagunya panjang-panjang. Ketika rekaman, Teddy Sujaya, drummer kala itu, sengaja tidak menggunakan metronom. "Musiknya juga rumit," kata Donny.

Waktu membuat Cermin, God Bless tak peduli dengan sisi komersial. "Kami sangat idealis," kata Ian. Ini bentuk "pemberontakan" God Bless terhadap industri musik yang selalu mendikte musikus. Juga bentuk protes terhadap musik pop bertema cinta menye-menye. "Jadinya, ya, kehidupan ekonomi kembang-kempis," ujar Ian, terbahak-bahak.

l l l

Ian Antono

Pada 1980-an, sempat muncul penyesalan karena menjadi terlalu idealis tanpa mengutamakan sisi komersial. Kehidupan ekonomi jadi kembang-kempis. Ternyata orang bekerja di industri musik itu tidak gampang. Saya putus asa dan ingin pulang. Tapi, kalau balik ke Malang, saya malu kepada orang tua. Sudah kepalang tanggung.

Yah, saya pergi ke Jakarta ini lari. Orang tua tak setuju kalau saya terjun ke dunia seni. Mereka ingin saya melanjutkan sekolah, jadi pekerja formal seperti dokter atau insinyur. Waktu saya mengutarakan niat ke Jakarta, mereka bilang, "Ya udah, kalau kamu pergi, pergi."

Pada 1975, waktu Yockie mengajak bergabung ke God Bless, saya masih bermain di Band Bentoel. Dengan band ini, saya sering manggung di Jakarta Fair, jadi bolak-balik Malang-Jakarta-Malang. Posisi saya di Band Bentoel cukup mapan. Ada fasilitas perusahaan. Waktu itu industri musik tidak seperti sekarang, yang ada manajernya. Kami belum kenal istilah manajer dan promotor. Kami menyebut "bos" atau "cukong" kepada orang yang membiayai band. Kalau ke Jakarta, saya mengambil risiko meninggalkan itu semua.

l l l

Setelah Fuad Hasan meninggal karena kecelakaan, God Bless vakum. Achmad Albar dan Donny Fattah butuh gitaris dan drummer. Yockie segera teringat kepada Ian Antono dan Teddy Sujaya, dua temannya yang main di Band Bentoel, Malang. Yockie tahu keduanya saat menonton permainan mereka di Malang. Setelah Albar merestui idenya, bergegas ia ke Malang untuk meminang Ian dan Teddy.

"Ian, kamu mau enggak ke Jakarta?" tanya Yockie.

Ian berat membuat keputusan. Ada kekhawatiran yang tebersit di hatinya. Jakarta belum pasti menjanjikan kesuksesan. "Di mana nanti saya tinggal?"

"Ya, nginep di tempat saya ajalah," ujar Yockie.

Ian menerima pinangan itu. Ia bersama Yockie selama setahun. Selama itulah Ian menjadi orang yang paling tahu kehidupan Yockie sebagai junkie. "Buat saya, Ian sudah seperti keluarga," kata Yockie.

l l l

Setelah beberapa tahun tinggal di Jakarta, saya merasa berjuang di dunia industri musik itu ternyata berat. Waktu itu memang belum masanya orang menikmati mencari duit di musik. Karena kami idealis dalam menggarap album, jadinya begini. Tak punya kendaraan pribadi. Saya sempat ngamen dari bus ke bus.

Saya dan Titiek Saelan, istri saya, tak punya rumah sendiri. Titiek dulu penggebuk drum di band yang anggotanya perempuan semua. Tapi, waktu menikah, istri saya berhenti main band. Kami berdua—sama-sama kabur dari Malang—tinggal bersama anak-anak band di rumah kontrakan di Tebet, yang disewakan bos. Rumah itu banyak kamarnya. Satu keluarga menempati satu kamar. Makan juga seadanya, nasi dengan lauk telur asin. Saya dan penghuni kamar lain urunan untuk membeli makanan.

Tapi saya tidak menyesal God Bless menghasilkan album Cermin. God Bless ini proyek idealis dan bukan cari uang. Perasaan sentimental ini melahirkan lagu Rumah Kita, kerinduan pulang ke rumah di kampung halaman.

l l l

Setelah meluncurkan Cermin, God Bless mulai jarang manggung. Mereka lagi-lagi vakum. Abadi Soesman mundur. Untung saja, Ian Antono berhasil dengan proyek-proyek musiknya di luar God Bless. Pada 1980-an, Ian berhasil mengorbitkan Nicky Astria.

Ian dan Albar kerap membuat kolaborasi. Salah satunya membuat album dangdut rock, Zakia. "Ada wartawan bolak-balik mendatangi saya, menanyakan kenapa enggak bikin dangdut," kata Albar. Mulanya Albar menolak. Tapi wartawan itu rajin menyambangi sambil menanyakan hal yang sama, berulang-ulang. Lama-lama Albar gerah juga.

Si wartawan pun menerangkan ada produser yang tertarik dan menawarkan honor Rp 25 juta. Tergiur pada nilai nominal yang ditawarkan, Albar pun mencolek Ian untuk bergabung bikin aransemennya. Voila. Jadilah 12 lagu dangdut ala musik Timur Tengah, yang melambungkan lagu Zakia dan Raja Kumbang.

God Bless pun pernah tampil bersama Rhoma Irama, membawakan Begadang dan Neraka Jahanam. Di luar God Bless, tiap personelnya rata-rata punya kegiatan untuk membuat asap dapur tetap mengepul. Albar, misalnya, berduet dengan Ucok Harahap, vokalis AKA, dalam kelompok Duo Kribo.

l l l

Yockie Suryoprayogo

Tahun 1981. Saya dan Chrisye sedang latihan di Studio Musika. Sejak keluar dari God Bless, saya berusaha lepas dari kehidupan junkie. Sudah begah. Lalu saya menyibukkan diri dengan kegiatan musik.

Achmad Albar dan Ian Antono mampir dan mengajak saya makan siang. Ternyata mereka meminta saya bergabung lagi untuk membangun God Bless. Karena kami sudah lama tidak tampil, strateginya adalah muncul kembali dengan konsep menyanyikan repertoar Deep Purple. Jujur saja, saya agak setengah hati dengan ide itu. Sejak 1977, saya dan Chrisye sudah membuat dan memainkan lagu-lagu sendiri. Jadi, buat apa membawakan lagu Barat? Tapi, karena tujuannya adalah pasar, akhirnya saya setuju.

Setelah beberapa kali God Bless latihan di Kemang, Log Zhelebour, promotor, menemui saya dan menawarkan masuk dapur rekaman. Saya mau kalau lagu-lagunya lagu Indonesia. Log setuju. Tapi tidak semua sepakat. Albar masih ragu-ragu. Wajar, dia sering tampil dengan lagu Barat. Lagu-lagu album pertama God Bless yang berbahasa Indonesia jarang dibawakan—kecuali She Passed Away.

Saya mencoba meyakinkan Ian dan Albar. Toh, sudah mulai banyak lagu berbahasa Indonesia, meski masih didominasi pop. Obsesi saya, musik rock harus bisa memakai bahasa Indonesia. Akhirnya, kami sepakat.

Saya mengajak Donny Fattah mengeksplorasi lagu. Kami berdua menyewa studio di Mampang. Ian sedang punya kesibukan mengurus rekaman Nicky Astria. Albar sedang mempersiapkan album single. Pada 1998, akhirnya album Semut Hitam kelar. Promosi dan tur Semut Hitam sukses. Penjualan kaset untuk saat itu terbilang baik. Tapi kami tidak tahu nilai nominalnya.

Industri musik belum mengenal sistem royalti kala itu. Sistem yang berlaku adalah beli putus. Kami dibayar produser di muka 30 persen, di tengah proses 30 persen, dan sisanya setelah album selesai. Kontrak Semut Hitam, kalau tidak salah, tidak melebihi Rp 50 juta. Angka itu standar. Waktu album itu meledak, kami colek-colek Log. "Log, bonus dong!"

Log diam saja. Tapi suatu hari Log datang dan bagi-bagi duit sejuta untuk masing-masing anggota. "Nih, bonus buat lu." Kami tak menyalahkan Log. Hukum dan kontrak yang berlaku di industri memang belum melindungi musikus. Dia hanya menjalankannya sesuai dengan aturan yang ada.

Kenapa Semut Hitam bisa meledak? Menurut saya, karena pada masa itu, secara sosiologis, tidak ada lagu rock berbahasa Indonesia yang bisa bertutur kata kepada publik. Masyarakat bisa menangkap pesan dalam album ini, yang menggunakan kalimat lugas, bukan puitis.

l l l

Beberapa lagu dalam Semut Hitam yang hit: Semut Hitam, Kehidupan, dan Rumah Kita. God Bless melakukan tur di Jawa dan Sumatera. Sekali jalan, bisa tur ke 10-15 kota. Sponsor-sponsor dari industri rokok mengalir.

Keberhasilan ini membuat Ian melupakan penyesalannya meninggalkan Malang. Ia dan istrinya memang masih mengontrak rumah, tapi tidak pindah-pindah seperti sebelumnya. Kondisi keuangan mulai stabil. Ian bisa membeli mobil Datsun. Anggota God Bless kembali tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Tapi ada masalah antarpersonel, juga personel dengan produser, yang bercampur aduk menjadi satu dengan masalah kontrak. God Bless masih dalam masa kontrak dengan Log, yang dananya dari satu perusahaan rokok. Personel lain membuat kontrak baru dengan pabrik rokok lain untuk konser di tempat berbeda. Yockie berpendapat ini tidak etis. Personel lain menuding Yockie membela Log. Pertengkaran ini sempat membuat hubungan Yockie dengan personel lain mengalami "perang dingin". Dengan keadaan seperti ini, God Bless membuat rekaman album berikutnya, Raksasa.

l l l

Kami melakukan rekaman album Raksasa di Triple M Studio. Persiapannya empat hari untuk cek studio dan sound. Pada hari kelima, Ian Antono mengajukan surat pengunduran diri dengan alasan sakit. Kami mencari pemain pengganti agar proses rekaman bisa berlanjut. Saya mengajak Robin, teman dari Filipina, untuk mengisi posisi Ian di gitar. Setelah merekam empat lagu, Log tak bisa meneruskan, karena terganjal visa Robin. Pemain pengganti harus orang Indonesia.

Saya menemukan pemain pengganti lain, Eet Syahranie. Waktu saya ajak bergabung ke God Bless, Eet histeris. "Waaa! Gila! Saya fan God Bless dari kecil," seru Eet girang.

Pada 1989, promosi dan tur album Raksasa sukses meski tidak meledak seperti Semut Hitam. Setelah itu, tiap personel sibuk sendiri-sendiri. God Bless vakum. Setahun berikutnya, saya berkolaborasi dengan Kantata. Ian, Donny, dan Albar dengan Gong 2000. Log ngambek karena Raksasa kami abaikan.

Log meminta God Bless bikin dua album sekaligus. Semua setuju. Namun, menjelang rekaman, Albar tak ada kabarnya. Hanya ada saya, Eet, Teddy, dan Donny. Saat itu, Albar memang sedang sibuk dengan Gong 2000. Donny, yang bareng Albar di Gong 2000, mengaku tidak tahu.

Suatu hari, Log berbicara kepada saya, Albar bersedia ikut rekaman asalkan Ian terlibat. Bagi saya bukan masalah. Yang penting, rekaman tetap jalan sesuai dengan kontrak. Tapi bagaimana nasib Eet? Saat saya menjelaskan kepada Eet situasinya, kalimat pertama yang muncul, "Mas, aku mundur aja." Dia sungkan dan minder pada Ian. Eet mengidolakan Ian.

"Et, enggak bisa gitu. Kalau lu keluar, bubar aja." Kami mencari solusi terbaik. Eet kebingungan. Posisinya sangat tidak enak. Maju kena, mundur juga kena. Kemudian Eet melontarkan ide, permainannya mengikuti Ian. "Saya di rhythm aja, biar Mas Ian yang mimpin."

Memadukan permainan dua gitar tentu tidak mudah. Log menyewakan vila di Puncak agar kami bisa melakukan workshop dan menciptakan lagu untuk dua album sekaligus. Kenyataannya, hanya bisa bikin sepuluh lagu.

Dalam kondisi tidak nyaman, album Apa Kabar? lahir pada 1997. Kami masih utang satu album. Tapi semua kembali sibuk.

Log menagih sisa satu album sesuai dengan perjanjian. Masalahnya, patokan harga sewa studio dan peralatan sudah berubah. Log masih memakai patokan harga lama. Menekan biaya, God Bless menggunakan studio saya. Setelah empat lagu tercipta, mulai ada keluhan: fasilitas terbatas, biaya besar, dan harus nombok. Saat proses pembuatan album mencapai 60 persen, Teddy menyatakan tak sanggup karena faktor ekonomi.

Saya menyampaikan masalah ini kepada personel lain. "Teddy bilang akan mundur kalau permintaan fasilitas tidak dipenuhi." Personel lain tak punya pilihan, karena kondisi mereka pun terjepit. Mereka mempersilakan Teddy mundur jika tak sanggup. Walau berat, saya memberi tahu Teddy. "Ya udah, gue mundur aja," begitu kata Teddy.

Inang Noorsaid menggantikan Teddy. Waktu jadwal rekaman vokal, Albar tak datang. Semua resah. Ian meminta tolong saya menanyakan kepada Albar, kapan mau rekaman. "Kenapa enggak lu yang nanya?" saya balik bertanya.

Ian menjawab tak mendapat balasan dari Albar. Saya dianggap sebagai pemimpin produksi sehingga berhak bertanya. Padahal tak ada pemimpin produksi, hanya kebetulan memakai studio saya. Kemudian muncul berita, proses rekaman tersendat karena saya tak mau diatur dan mengubah aransemen. Saya abaikan kabar burung itu.

Saya menemui Albar dan menanyakan kepastian rekaman. Reaksinya di luar dugaan saya (lihat "Seks, Drugs, dan Beceng"). Suatu hari, Log memanggil saya dalam suatu pertemuan di kantornya, yang dihadiri semua personel God Bless dan para istri. Log bilang, ikuti saja permintaannya, tak usah macam-macam. Saya merasa harga diri saya diinjak-injak. Buat saya, ucapan itu seolah-olah meminta saya mundur. Ya sudah, saya mundur.

Sebenarnya saya tak punya masalah dengan Albar ataupun dengan God Bless. Dia tetap kakak bagi saya. Inti persoalannya adalah perbedaan: yang satu transparan dan akuntabel, yang lain masih menganggap transparansi itu tabu. Perbedaan pendapat dinilai sebagai pemberontakan. Ini bukan masalah perseteruan ego tapi budaya.

l l l

Epilog

Setelah peristiwa itu, Apa Kabar? diluncurkan, pada 1997, dan seakan-akan menjadi album terakhir. God Bless kembali tidur panjang. Tapi Abadi Soesman masuk lagi, menggantikan Yockie. Pada 2009, God Bless akhirnya menelurkan album 36.

Hingga kini, God Bless masih menunjukkan ketangguhannya dengan tur-tur antarkota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. God Bless mendapat pujian dari Peter F. Gontha waktu tampil bersama The Cranberries dalam acara Java Rockin' Land akhir Juli lalu di Kemayoran, Jakarta. Menurut Albar, Peter F. Gontha mengaku senang dengan penampilan God Bless. "Dia berpesan, tahun depan, kalau ada Java Jazz bulan Maret, God Bless mesti ikut," kata Albar.


Jejak-jejak God Bless

God Bless (Pramaqua, 1975)

Ini adalah album pertama God Bless. Album ini merupakan proyek pertama Radio Prambors dengan PT Aquarius Musikindo (Pramaqua) untuk artis dalam negeri. Soerjoko, bos Aquarius, tertarik kepada God Bless yang masih meniru band asing, seperti Deep Purple, Grand Funk Railroad, dan Kansas.Beberapa lagunya menjadi latar musik sejumlah film layar lebar. Sebut saja Huma di Atas Bukit dan Sesat dalam film Laela Majenun. Lalu ada Setan Tertawa dalam film Semalam di Malaysia. Sebagian besar lirik disumbangkan Sjumandjaja, yang lebih dikenal sebagai sutradara film. Album ini juga memuat repertoar asing, yaitu Eleanor Rigby (The Beatles) dan Friday on My Mind (Easybeats). Pengaruh Genesis kentara dalam album ini.

God Bless membutuhkan ikon, seperti halnya bibir dower Mick Jagger dalam The Rolling Stones. Markoes Djajadiningrat kemudian memoles wajah close-up dan rambut kribo Achmad Albar menjadi maskot dalam album pertama ini. Sejak itu, Achmad Albar menjadi ikon utama God Bless.

Cermin (Billboard Indonesia, 1980)

Album ini dibuat setelah pergantian Yockie oleh Abadi Soesman. Inilah album yang paling dicari kolektor. Dalam album inilah God Bless memberontak melawan dominasi industri rekaman yang menuntut musikus kooperatif kepada pasar. Kecuali Balada Sejuta Wajah, repertoar dalam album ini penuh dengan komposisi rumit.

Sebut saja repertoar njelimet Anak Adam yang membutuhkan waktu hingga 12 menit. Atau, contoh lain, Selamat Pagi Indonesia dan Sodom & Gomorah.

Dari segi pencapaian estetika, Cermin boleh dibilang tak tertandingi album God Bless yang lain. Sayang, proyek idealis ini terhitung tidak laku. Pasar ketika itu sedang terlena oleh lagu-lagu cinta dengan komposisi sederhana. Cermin dianggap lahir melampaui zamannya.

Semut Hitam (Logiss Records, 1988)

Inilah album God Bless yang paling laris manis. Setiap personel bermetamorfosis menjadi hampir sempurna. Sound gitar Ian Antono berubah menjadi sangat metal. Permainan keyboard Yockie tidak mengenal batas ekspresi. Vokal Achmad Albar dalam Trauma, misalnya, menunjukkan kualitasnya sebagai seorang vokalis rock mumpuni. Sedangkan Donny Fattah dan Teddy Sujaya memanfaatkan ruang dengan cerdas dan sangat memberi warna. Album ini meninggalkan jejak abadi: lagu berjudul Kehidupan dan Rumah Kita.

Raksasa (Logiss Records, 1989)

Ian Antono mundur saat penggarapan album ini baru dimulai. Tapi Eet Syahranie mampu mengisi kekosongan penuh percaya diri. Dia memberi warna baru, membuat God Bless tampil lebih agresif. Eet dan Yockie tampil total, sebagai musikus dua generasi yang mampu berduet tanpa saling mengalahkan. Maret 1989 dan Menjilat Matahari adalah karya unggul dalam album ini. Meski album ini membuat God Bless terlihat lebih muda, ciri mereka tidak hilang. Misteri barangkali mewakili resep lama God Bless yang tetap memiliki daya pikat.

Apa Kabar? (Logiss Records, 1997)

Album ini lahir saat God Bless dilanda kemelut internal. Eet Syahranie masih memegang posisi kunci sebagai gitaris, tapi Ian Antono kembali bergabung. Duet gitaris tidak membuat komposisi semakin dahsyat. Tidak ada satu pun lagu yang menunjukkan mereka musikus papan atas. Eksperimen duo gitaris dianggap gagal. Eet dan Ian saling meredam ”ego” bermusik masing-masing, sehingga potensi mereka tidak muncul. Serigala Jalanan, yang mestinya bisa menjadi repertoar dengan aransemen megah, diabaikan begitu saja. Lagu Apa Kabar? sebetulnya merupakan lagu reuni, setelah sekian lama para personel God Bless berpisah. Suasananya sengaja dibuat seringan mungkin. Sayang, lagu ini gagal total. Mungkin sulit dipercaya bahwa Apa Kabar? lahir dari band sekaliber God Bless.

36 (Nagaswara, 2009)

God Bless masih menghadirkan lagu-lagu energetik, seperti NATO (Not Action Talk Only) atau Rock n Roll Hidupku. Sebagian besar repertoar adalah lagu-lagu berkomposisi sederhana. God Bless tidak lagi tampil galak seperti dalam album-album terdahulu. Tapi kita bisa merasakan vibrasi dari musikus yang telah mengukir sejarah. Dalam lagu bernuansa balada, Karna Kuingin Kau Bahagia, penampilan Achmad Albar yang hanya diiringi Ian dan Abadi Soesman mengingatkan kita pada hit Balada Sejuta Wajah, Syair Kehidupan, atau Panggung Sandiwara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus