Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panggung yang temaram itu tampak seperti lukisan abstrak kubisme: kubus-kubus gelap, dengan di sana-sini segitiga mencolok terang, yang solid dan bergaris. Atau gambar surealis: kubisme abstrak itu menumpang pada potret hutan lebat, hijau. Ketika cahaya meneranginya, kubus menjadi benar kubus, seperti patung-patung modern di suatu taman kota atau kotak-kotak tempat patung di ruang pameran. Di belakang-atasnya, beranda memanjang dengan empat pintu kamar, yang bisa saja ditafsirkan sebagai kamar losmen, atau mungkin juga WC.
Itu adalah set panggung yang dibuat Jay Subyakto untuk pertunjukan Karna, karya Goenawan Mohamad (GM), di Salihara, Jakarta Selatan, 17-21 November lalu. Amat modern. Multimedia, rumit, tapi dengan teknik sempurna, sekecil apa pun bagiannya. Kubus kadang menjadi sungai, kadang menjadi platform kecil-kecil untuk aktor berdiri, duduk, atau pembatas "jalan". Beranda dan kamar kadang lenyap total, atau menjadi sesuatu yang lain, silih berganti—melalui sistem pencahayaan yang persis, dan tayangan gambar bergerak.
Jika saja Karna berupa garapan cerita wayang konvensional, niscaya pemanggungan itu tak cocok. Tapi Karna GM jauh dari konvensi. Seluruh cerita Karna—dari dibuang ketika bayi, dipelihara oleh keluarga seorang kusir, berguru, bertanding, hingga gugur—terungkap melalui surat-suratnya. Ada banyak hal dalam surat, yang tersurat ataupun tersirat. Karna GM bukan hanya penyampaiannya tidak linear, tidak mengurutkan sejarah asal-usul Karna (Rhadea), ia mengandung banyak muatan: nilai atau semangat "humanisme", yang tanpa batas ruang-waktu. Cerita Mahabharata (dan pewayangan Jawa-Bali) menjadi kendaraan untuk penyampaian "humanisme" ala GM itu. Ia hilangkan yang tak diperlukannya, ia tambahkan yang tak ada, ia ubah yang tak disukainya.
Maka, terlahirlah lakon yang tak pernah ada tapi yang dirasa pernah ada. Indikasi waktu, yang tak pernah ada itu, diberikan: umur Karna dan Kunthi, masa Karna belajar ilmu perang, "Bulan Chaitra, ketika orang memperingati Hari Bumi" saat Kunthi pertama melihat Karna. Nama-nama lain juga dicantumkan: Sungai Narmada, Petapaan Ratnagiri, wilayah Karnata, daun gotukola (yang menyembuhkan Karna dari gigitan kalajengking beracun). Bahkan sikap tubuh dikatakan layaknya novel atau cerpen: "Dagunya sedikit mendongak, gerahamnya terpaut keras," kata Parashurama ketika menggambarkan Karna. Dan lain-lain. Detail itu membuat cerita seolah-olah nyata, seolah-olah benar, walau ngarang, atau dari sumber lain, yang tak ada dalam Mahabharata pakem.
Bahkan surat-surat Karna itu bisa dibilang mustahil. Tidaklah mungkin surat-surat sepanjang itu, pada keempat orang, yang ditulis pada daun lontar, dilakukan oleh seorang senapati, semalam sebelum maju perang besar. Tapi kemustahilan dan kelogisan, benar dan salah, bukan tolok ukur utama dalam kesenian. Jika tergarap baik, yang mustahil bisa menjadi nyata, yang salah bisa benar, yang lampau bisa menjadi kini. Dan sebaliknya.
Inti dari cerita itu adalah petualangan Karna, yang hingga mati tak mengetahui pasti asal-usul dirinya. Ia dipelihara oleh keluarga sudra, kusir kereta. Ia berontak untuk keluar dari "identitas" kesudraan, yang memiliki cap paling hina. Ia tidak percaya takdir, semua bisa dicapai dengan belajar dan berjuang gigih.
"Ada seorang resi yang berkata: pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya adalah tindakan, laku. Dari laku lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku." Identitas, bagi Karna, bukan didapat, melainkan diraih oleh laku: "... aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Esok, pada hari ke-16 perang ini, Karna tewas atau Karna menang, keduanya akan menentukan siapa dia," tulis Karna kepada Surtikanti.
Karna percaya pada ilmu, bukan kasta, sebagai modal berbuat. Berdusta (seperti mengaku dirinya dari kalangan brahmana kepada Parashurama) bukanlah karena ingin menipu, melainkan jalan untuk bisa mendapat ilmu. Demi laku. Dengan modal itu, ia berani berontak, bahkan memperolok kalangan kesatria:
"Tuan-tuan melindungi diri Tuan-tuan dengan kasta dan kemahiran. Tuan-tuan punya dua perisai. Sedang saya hanya punya satu: hanya kemahiran saya. Tuan-tuan bisa menilai sendiri mana di antara kita yang punya keberanian bertanding," kata Karna kepada para Pandawa, yang menolak bertanding karena ia bukan dari kasta sebanding.
Jelas, Karna adalah seorang ambisius. Ia bangga ketika Suyudana mengangkatnya sebagai keluarga kesatria dan menobatkannya sebagai adipati di Awangga. Tapi, di sisi lain, ia percaya bahwa yang penting bukan perolehannya, melainkan pada laku itu sendiri. Laku seolah adalah darma:
"Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk memperoleh."
Karna GM bukan sekadar naskah drama, ia juga puisi. Keseluruhan pertunjukan itu pun menjadi seperti puisi. Hubungan satu bagian dengan yang lain sulit dijelaskan untuk dimengerti, tapi dapat dirasakan tusukannya. Pemanggungan (skenografi) Jay Subyakto modern, yang hi-tech, abstrak; musiknya (Arif Susanto & Tony Prabowo) juga umumnya modern, yang kadang tertangkap sebagai efek-efek bunyi. Kontras dengan pemeranan yang realis. Cerita yang lama. Semua itu sulit terbayang bisa menyatu. Hanya kelekatan dan kekerasan kerja sama, laku, yang bisa menyatukannya.
Surat-surat Karna adalah naskah kompleks, Empat Monolog dalam Satu Lakon, yang dimainkan lima aktor piawai: empat penerima surat—Radha, ibu yang menemukan dan membesarkannya (Sita Nursanti); Kunthi, ibu yang mungkin melahirkan dan membuangnya (Niniek L. Karim); Parashurama, brahmana sakti dan garang, gurunya (Whani Darmawan); dan Surtikanti, istrinya yang putri bangsawan (Putri Ayudya)—dan seorang penulis suratnya, Karna (Sitok Srengenge). Seperti karya GM lainnya, naskah memiliki kekuatan kata, layaknya puisi, bukan jalan cerita.
Karena itu, "Berat sekali dipanggungkan... kami berlatih 50-an kali, tak menghitung latihan terpisah dan keseluruhan," tutur Iswadi (ko-sutradara). "Jika berlebihan mengekspresikannya, ia akan kehilangan kedalaman (kata); jika terlalu ke dalam, akan tidak ’meruang’," tambahnya. GM (sebagai sutradaranya) berpendapat serupa: "Tantangan utamanya adalah pada acting yang tepat. Yang merepotkan, dunia teater kita sekarang kurang menumbuhkan kemampuan aktor dalam pemeranan (realis)."
Demikian juga kesulitan dari sudut pemain. Whani, misalnya, mengatakan yang sulit adalah karena naskah tidak banyak memberi acuan action, sehingga dituntut pendalaman dan eksplorasi habis-habisan dari setiap pemeran. Sitok merasakan setiap peran mengandung emosi ambigu. Karna, misalnya, yang diperankannya, adalah seorang pemberani, bahkan congkak; tapi ia juga yang merasa prihatin dengan keadaan itu. Ia perasa, pencinta. "Ia benci kasta kesatria, tapi ia juga menginginkan berada di dalamnya... Latihannya bukan hanya pada bagaimana memerankan. Saya harus berlatih mengatur energi, pernapasan, bahkan diet. Itu adalah tanggung jawab seorang aktor."
Jika Karna berat dimainkan, berarti berat juga ditonton. Bagi penonton awam, pengadeganan yang "minimalis" (tidak banyak laku-panggung spektakuler, atau glamor) akan banyak membuat mereka mengerutkan kening atau bosan. Bagi yang peka (dan telah membaca naskah awal), ada yang berpendapat pengadeganan itu sebagian ada yang mengganggu "kekuatan kata".
Karna GM adalah petualangan GM melalui cerita Karna. GM boleh dikata beruntung mendapatkan sejumlah pendukung yang bukan hanya piawai, tapi turut bertualang. Hasilnya juga mengajak penonton bertualang dalam memaknai: hanya sebagian masuk pada nalar, sebagian pada emosi, sebagian lagi entah masuk ke mana. Walau tak pernah jelas, semua membekas dan membayang. Ada penonton "setengah awam", tapi merasa puas, mengatakan: "Layaklah Jakarta ini dibanggakan. Kita masih memiliki cukup penonton untuk melihat pertunjukan serius, yang memenuhi auditorium kotak-hitam Salihara selama empat malam."
Bahkan konon banyak penonton yang tidak bisa masuk karena karcis telah habis. Adalah kebetulan, "Pertunjukan kami perpanjang semalam, tanggal 21, untuk Wakil Presiden, beberapa menteri, dan para birokrat lainnya, dan sekaligus bisa melayani publik yang belum kebagian," kata salah seorang pengurus Salihara.
Endo Suanda, etnomusikolog, peneliti, dan pengarsip kesenian, tinggal di Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo