Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari berganti mengiringi langkah kaki,
bagaikan matahari yang mengitari bumi
Walau badai masih terkadang menerjang,
kan tetap aku mainkan nyanyian kehidupan....
Keretakan kembali menggerogoti God Bless. Pada 2002, berturut-turut Eet Syahranie, Teddy Sujaya, dan Yockie Suryoprayogo mengundurkan diri. Formasi mendadak berubah. Inang Noorsaid dan Iwank Noorsaid, yang notabene pemusik jazz, menjadi personel dadakan. Mundurnya tiga personel God Bless ini memunculkan tanda tanya. Ada apa dengan God Bless? Konon, salah satu pemicunya adalah narkotik.
Berdasarkan kontrak dengan Log Zhelebour, saat menggarap album Apa Kabar? di Vila Aries Biru, Puncak, God Bless harus menyelesaikan dua album. Apa Kabar? rampung, tapi God Bless masih berutang satu album. Namun nilai kontrak tidak bertambah. Meski demikian, pada 2001, God Bless memilih merampungkannya. Studio milik Yockie di Bumi Serpong Damai dipilih sebagai bengkel kerja karena minimnya biaya. Sayang, proyek itu gagal. God Bless formasi baru ini tidak mampu menelurkan album.
Belum juga kemelut usai, pada 2007, Achmad Albar ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN). Petugas membekuk Albar di rumahnya, Jalan Kedondong, Cinere, Depok. Dia ditangkap sepulang dari mencari rumah kontrakan untuk Jetlie—seorang tersangka lain—di Jalan Pala, Cinere. Hasil tes oleh BNN membuktikan urinenya mengandung methamphetamine, unsur yang biasa terdapat dalam sabu-sabu. Dia divonis delapan bulan penjara.
Sex, drugs, and rock ’n’ roll. Sebagai band rock, God Bless pun memasuki fase ini. Setelah album pertama beredar pada 1975, God Bless seketika menjadi bintang dan dikelilingi penggemar. Ganja dan groupies berseliweran. Ketika itu, rocker mengkonsumsi narkotik dianggap hal biasa. Yockie Suryoprayogo terseret arus, mulai kecanduan narkotik. Akhirnya, dia dipecat. Deddy Stanzah, yang diberhentikan dari The Rollies karena terlibat narkotik, sempat bergabung dalam God Bless meski hanya empat bulan. Narkotik, ganja, dan minuman keras merasuk dalam hidup mereka.
Donny Fattah
Kami sejak dulu memberontak terus kepada lingkungan. Memang kami tidak bohong, tidak munafik, karena umur kami masih sangat muda, masih awal 20 tahun. Personel band rock dekat dengan pergaulan bebas, narkotik, dan minuman keras, itu memang kenyataannya. Kami memang sulit mengontrol diri. Pengaruh apa pun yang kami anggap bagus, ya, kami lakukan. Kami rasakan sendiri baik-buruknya. Bukan cuma teori. Banyak yang, kalau direnungkan, membuat kami tertawa sendiri.
Kalau soal free sex, tidak usah dibicarakan. Namanya juga remaja. Paling parah memang narkoba. Saya terus terang pernah kena narkoba. Hampir semua personel band rock mengkonsumsi narkotik. Cuma, saat itu narkoba belum tersorot, jadi sebagian besar masyarakat belum tahu. Jadi, yang paling menonjol itu kami: sekelompok anak gaul yang dicap bandel.
Zaman dulu, yang biasa dipakai adalah morfin. Sekarang disebut putaw. Saat itu, morfin lebih asli, lebih murni. Kadang saya pakai jenis yang lebih keras, LSD. Tapi pernah juga mencoba pil anjing. Narkotik itu kami peroleh dari teman, anak orang kaya yang sudah menjadi junkie.
Awal-awalnya kami terpengaruh tren dan aksi anak muda. Belakangan saya sadar, narkotik ini kok merusak inspirasi. Ide jadi butek, maunya asyik sendirian. Pelan-pelan kami mulai bersih. Saya mulai pakai pada 1967. Itu tahun paling kacau dalam hidup saya. Tapi, alhamdulillah, saat kami sudah menikah, satu per satu, mulai berhenti sendiri. Saya menikah pada 1975. Setelah itu perlahan berhenti, karena ada rasa tanggung jawab sebagai suami dan bapak.
Saya berhenti karena niat. Saya bilang sama ibu saya, ”Mam, tolong jangan diketuk-ketuk kamar saya selama tiga hari.” Ibu tidak tahu saya sudah kecanduan berat. ”Oh ya, ya.” Akhirnya, saya kunci kamar. Saya sampai panas-dingin, merendam badan di bak mandi, karena berusaha keras berhenti. Berhasil. Akhirnya, setelah tiga hari, ketagihan hilang. Tapi badan jadi tidak keruan. Saat album God Bless keluar, saya sudah mulai bersih.
Achmad Albar
Ya, anak band memang identik dengan narkotik dan minuman keras. Tapi saya rasa tidak bisa disamakan. Dalam God Bless pun ada yang seperti itu. Yockie dulu pernah kecanduan narkotik. Semua orang tahu. Tapi kan bisa sembuh sampai bersih. Tergantung pribadi masing-masing. Tidak harus dibilang musik rock identik dengan minuman keras dan narkotik. Band aliran lain pun banyak yang mengalami ketergantungan narkotik.
Dulu narkotik tidak terlalu diekspos dibanding sekarang. Jarang sekali kita dengar berita pemain band ditangkap karena narkoba. Padahal, pada 1970-an, ketergantungan narkotik para pemain band itu lebih parah dibanding sekarang. Sekarang selebritas diincar demi sensasi.
Seperti kasus saya. Saya hanya jadi kambing hitam untuk menutupi kasus yang lebih besar. Yang diincar penangkapan sekian ratus ribu butir ekstasi, padahal pengedarnya lolos. Saya yang dikurung. Saya yang dijadikan berita. Proses pengadilannya lama, sampai tujuh bulan, baru divonis, meskipun setelah itu saya bisa langsung bebas.
Tapi cukup bagi saya menjalani masa tahanan tiga bulan di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri dan empat bulan di Lembaga Pemasyarakatan Paledang, Bogor. Hal semacam itu menimpa artis yang lain. Bisa jadi direkayasa. Pelakunya orang lain, sementara si artis menjadi target berita.
Saya berterima kasih, keluarga besar God Bless banyak memberi semangat saat itu. Saya memang memilih mengikuti aturan hukum. Padahal hukumnya tidak jelas. Ada rasa tertekan saat itu, tapi saya harus siap menghadapinya. Mungkin ada hikmahnya. Saya tidak pernah merasa tidak percaya diri selepas dari penjara.
Yockie Suryoprayogo
Waktu itu tahun 2002. Baru lima lagu digarap, mendadak Teddy Sujaya mundur. Pernyataan mundur ini mengagetkan. Sayalah yang diminta Teddy menyampaikan keputusannya kepada God Bless. ”Ini gue meneruskan bahasanya Teddy. Kalau nilai kontraknya tidak disesuaikan, dia mundur.” Akhirnya, dengan berat hati, permintaan mundur Teddy dikabulkan semua personel.
Saya menghubungi Inang Noorsaid untuk mengisi posisi Teddy sebagai penggebuk drum. Inang pun bersedia menjadi additional player. Tiba saatnya rekaman vokal, tapi Achmad Albar jarang muncul di studio.
Ian Antono mengusulkan persoalan ini dibahas. ”Yock, lu ngomong, deh. Itu Iyek mau lanjutin rekaman atau enggak. Supaya gue enggak usah mondar-mandir dari Cibubur ke BSD.” ”Kenapa enggak lu yang bilang?” ”Lu aja, deh. Kan, lu di sini pimpronya. Gue sudah berkali-kali ngomong.”
Inilah awal mula perseteruan itu. Saat latihan, pertengahan 2002, ada saya, istri saya (Tiwi Puspitasari), Ian Antono, istri Ian Antono (Titiek Saelan), dan Achmad Albar di studio. Saya dan Ian menanyakan komitmen Achmad Albar. ”Rekaman ini mau diteruskan sekarang atau nanti? Kalau mau mundur, kita mundur saja,” kata saya kepada Iyek. Saya dan Iyek berdebat sengit, berujung kontak fisik. Dia memukul saya sekali, dua kali. Saya enggak tinggal diam. Saya berusaha mempertahankan diri saya.
Sampai akhirnya Achmad Albar memberikan reaksi yang tidak terduga. Sekonyong-konyong, saya ditodong beceng (pistol). Di sebelah saya ada Titiek Saelan. Titieklah yang mengamankan saya. Saya dilindungi, ditarik, lalu dibawa lewat dapur dan disuruh pulang. Studio itu berjarak sekitar 500 meter dari rumah saya.
Pada 2004, beberapa kali ada upaya mengklarifikasi. Ian Antono sempat beberapa kali bertemu dengan saya untuk menjernihkan masalah. ”Maksudnya supaya kita bisa melanjutkan God Bless kembali,” kata Ian. Tapi saya bergeming. Saya memilih mundur. Padahal Iyek itu sudah seperti kakak saya.
God Bless pun vakum. Album tersebut batal dikeluarkan. Beredar kabar, pemicu lain yang membuat saya hengkang adalah masalah narkotik. Memang, ada dugaan Albar sudah memakai narkotik saat itu. Mungkin inilah yang menjadi penyebab sikapnya berubah. Tapi, setahu saya, selama saya berhubungan dengan Achmad Albar, saya tidak pernah melihat dia mengkonsumsi narkotik. Tapi, saat insiden itu, insting saya sebagai mantan junkie berkata lain.
Saya sendiri tahu dia memakai narkoba dari Ian Antono. Padahal dulu, dari semua personel, justru dialah yang paling bersih. Saya masih ingat, ketika saya kecanduan, justru dialah yang mengawal saya. Achmad Albarlah yang menyimpankan morfin satu atau dua gram milik saya. Kalau saya sudah mulai sakaw, dialah yang memberi morfin itu sedikit demi sedikit. Dialah yang menyuntikkan morfin itu ke tangan saya.
Kini, dengan rambut personelnya yang rata-rata sudah memutih, God Bless berusaha tidak keropos dalam karya. Pertengahan tahun lalu, dalam ajang Java Rockin’ Land 2011, God Bless tetap tampil ciamik. Meski stamina tidak lagi perkasa dan napas sudah mulai ngos-ngosan, Achmad Albar tetap membawakan Anak Adam—repertoar paling sulit—dengan sempurna. Para ”penjilat matahari” ini tampaknya tidak akan pernah tidur.
Ninin P. Damayanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo