Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARUM jam hampir menunjuk angka 09.30. Mario Viegas Carrascalao memasuki lobi Hotel Timor di seberang Pelabuhan Dili. "Belum terlambat, kan?" kata mantan Gubernur Timor Timur ini. Provinsi yang dulu dipimpinnya itu kini telah menjadi negeri berdaulat, Timor Leste, setelah jajak pendapat pada 1999. Mario melepas kewarganegaraan Indonesia dan menjadi warga negara Timor Leste.
Tak sulit bertemu dengan Mario. Dia kini memiliki banyak waktu luang. "Saya sudah 76 tahun. Sudah saatnya istirahat," ujarnya sambil tertawa. Sejak mundur dari jabatan Wakil Perdana Menteri Timor Leste sekitar tiga tahun lalu, ia tak lagi memiliki segudang kegiatan.
Awal November lalu, Mario menerima Purwani Diyah Prabandari dan fotografer Subekti dari Tempo dalam dua kesempatan. Pada pertemuan pertama, Rabu pagi di Hotel Timor, dia sanggup berbicara sekitar empat jam tanpa jeda, bahkan tak minum. Dia hanya berhenti bicara dua kali saat menerima telepon dari istrinya, Maria Helena Stoffel Cidrack Viegas, yang mengingatkannya untuk makan siang. Pertemuan kedua, pada Kamis sore, berlangsung di rumahnya, tak jauh dari Bandar Udara Presidente Nicolau Lobato. Di sana ikut bergabung kontributor Tempo di Dili, Jose Sarito Amaral. Mario tampak bugar meski mengidap penyakit jantung dan lever.
Ayah saya, Manuel Viegas Carrascalao, adalah orang Portugal yang dibuang ke Timor karena melawan pemerintah. Sedangkan ibu saya, Marcelina Guterres, orang Timor asli. Dari 12 bersaudara, hanya kakak saya, Manuel; adik saya, Joao; dan saya yang menggeluti dunia politik.
Sejak kecil, kami sudah harus bekerja. Ayah saya mengurus perkebunan. Baru pada umur 12 tahun, saya masuk sekolah dasar. Saya berhasil lulus dalam satu tahun, sesuai dengan yang disyaratkan Ayah. Setelah sekolah menengah atas, tak ada pendidikan lanjutan. Saya meneruskan pendidikan ke Portugal hanya dengan bekal 1.800 escudo (waktu itu senilai US$ 20). Untuk bertahan hidup, saya bekerja di kantin karena bisa makan siang dan malam gratis. Saya lulus menjadi insinyur kehutanan dan menjadi orang Timor Portugal kesepuluh yang mencapai gelar sarjana—selama 400-an tahun penjajahan Portugal.
Pada 1970, saya, istri, dan anak saya, Pedro Miguel Stoffel Cidrack Viegas Carrascalao, pulang ke Timor Portugal. Beberapa bulan kemudian, saya diangkat menjadi Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan.
Ketika Revolusi Bunga menjatuhkan diktator Salazar-Caetano di Lisabon, saya ikut membentuk Serikat Demokratik Timor (UDT) bersama Manuel dan Joao Carrascalao pada 11 Mei 1974. Waktu itu, pemerintah di Dili mengizinkan pembentukan partai politik. Mungkin saat itu saya satu-satunya orang yang paham partai politik karena pengalaman saya di Portugal.
April sebelumnya, Francisco Lopes da Cruz, yang kemudian menjadi Presiden UDT, pergi ke Jakarta untuk mencari dukungan dan persahabatan, bukan untuk berintegrasi. Ia ditemui orang Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Kolonel Aloysius Sugiyanto.
Pada 20 Mei 1974, terbentuk ASDT, yang kemudian menjadi Front Revolusioner Timor Timur (Fretilin). Dan pada 27 Mei, didirikan Asosiasi Demokratik Rakyat Timor (Apodeti), yang sebelumnya Asosiasi untuk Integrasi Timor ke Indonesia (AITI).
Partai-partai itu memiliki keinginan berbeda. Menurut saya, kami tidak mungkin bergabung dengan Portugal karena mereka sudah miskin dan harus berperang menghadapi gerakan kemerdekaan di koloni di Afrika. Tapi kami juga berpendapat tidak bisa langsung merdeka. Sedangkan ASDT ingin langsung merdeka. Adapun Apodeti ingin bergabung dengan Indonesia. Sebelum semua partai terbentuk, orang-orang Bakin sudah masuk ke Timor Portugal. Di antaranya Dading Kalbuadi dan Louis Taolin.
Beberapa waktu kemudian, kami diberi tahu bahwa Fretilin, yang dianggap komunis, akan melakukan kudeta. Saya dan Joao berbeda pendapat. Saya berpendapat jangan sampai ada kekerasan. Kalau perang dimulai, akan sulit menghentikannya. Tapi Fretilin selalu menyebut orang yang bukan pengikutnya sebagai fasis dan harus dilawan.
UDT, di bawah adik saya, Joao, melakukan kudeta lebih dulu pada 11 Agustus 1975, untuk menyingkirkan komunis dari Timor Portugal. Orang-orang UDT menangkapi orang-orang Fretilin. Perang saudara pun pecah dan memakan korban begitu banyak dari berbagai pihak. Kapal-kapal datang untuk mengangkut pengungsi, baik ke Portugal maupun Australia.
Sekitar akhir Agustus, Kolonel Subyakto dan Konsul Indonesia untuk Timor Portugal E.M. Tomodok mengundang kami, kecuali Fretilin. Ketika kami sedang berunding, di luar beredar desas-desus bahwa Joao sudah lari ke kapal Indonesia. Pasukan kami mundur ke arah barat. Saya bergabung.
Pada 25 Agustus 1975, ketika kami berada di Liquica, saya memutuskan mengirim istri dan dua anak saya, Pedro dan Sonia Carrascalao, ke Indonesia. Mereka berangkat pagi. Sore hari, dari handy-talky terdengar laporan ke markas Fretilin tentang keluarga fasis yang mengarah ke Indonesia. Orang itu juga bilang bahwa ia memerintahkan semua fasis ditembak. Belakangan saya ketahui dia berbohong. Dia, Aquiles dos Santos, adalah teman sekolah saya. Ketika melihat itu keluarga saya, dia hanya pura-pura menembak.
Sekitar September, Fretilin menyerang Batugade. Kami terpaksa masuk ke Timor Barat, Atambua. Kemudian kami dibawa ke Kupang, baru ke Jakarta. Selama kami di Jakarta, pertengahan 1976, ada rombongan dari Timor Portugal yang membawa petisi integrasi untuk diserahkan kepada Presiden Soeharto.
Setelah itu, kami ke Bali untuk dipersiapkan melakukan propaganda pro-Indonesia. Saya dikirim ke Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Sedangkan Joao ke Timur Tengah, tapi kemudian dia ditarik karena malah menjalankan propaganda anti-Indonesia.
Bagi saya, proses Timor Portugal menjadi bagian Indonesia itu bukan integrasi, melainkan aneksasi. Sebab, tidak ada konsultasi ke rakyat, dan pengambilalihannya secara paksa.
SEKITAR April 1982, ketika saya bertugas di kantor Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB di New York, saya diminta menemui Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) Mayor Jenderal Leonardus Benjamin (Benny) Moerdani di Washington, DC. Waktu itu, dia langsung berkata, "Saya mau Anda jadi Gubernur Timor Timur."
Saya menjawab akan bertanya kepada istri dulu. Ternyata istri saya berkata, "Kamu tidak punya musuh. Tapi, kalau kamu mau melakukan tugas ini, kamu akan punya musuh." Saya bilang, "Kalau halangannya itu saja, saya terima."
Tugas utama saya sebagai gubernur adalah mencoba merebut hati rakyat. Ketika itu, perlawanan Fretilin masih keras. Militer pun sangat berkuasa. Saya berkata, "Kalau mereka masih di hutan dan melakukan perlawanan, itu tugas Anda. Tapi, kalau mereka sudah turun, sudah menyerah, itu tugas saya."
Militer sendiri terpecah dalam menangani Timor Timur. Konflik itu terlihat pada masa kontak damai. Sekitar April 1983, Benny Moerdani datang dan saya diminta menemuinya di Baucau. Dia bilang anak buahnya terpecah: ada yang mau menyelesaikan masalah Timor Timur dengan damai, ada pula yang mau perang.
Dia memberi kesempatan 30 menit bagi saya untuk menjelaskan kepada para anggota staf yang dia bawa dari Jakarta. Dalam pertemuan yang diikuti sekitar 20 perwira tinggi tersebut, banyak pertanyaan dilontarkan. Misalnya: apakah Xanana Gusmao itu jujur? Saya jawab, "Saya tidak tahu. Tapi dia komandan gerilya, berarti dia dipercaya."
Kemudian Benny memberi waktu tiga bulan kepada Komandan Resor Militer Wira Dharma Kolonel Poerwanto dan Panglima Daerah Militer Udayana Mayor Jenderal R.P. Damianus Soetarto untuk membantu saya menyelesaikan masalah ini. Di dalam pesawat ke Dili, Poerwanto bilang, "Karier saya sudah habis."
Tak ada sepekan, ia menelepon saya dan kemudian kami ngobrol di pinggir pantai. Poerwanto bercerita tentang Prabowo Subianto—Wakil Komandan Detasemen 81 (Penanggulangan Teror) Kopassus—yang diam-diam datang ke Timor Timur tanpa memberi tahu dia. Ia juga menyatakan Prabowo tak setuju kontak damai.
Beberapa bulan kemudian, terjadi insiden di Kraras, Viqueque. Saya diberi tahu petinggi militer (ketika itu ABRI) di Timor Timur, awalnya ada seorang anggota pertahanan sipil (hansip) yang baru pulang dari markas Komando Pasukan Khusus mendapati istrinya telah diperkosa tentara. Hansip yang dekat dengan Angkatan Bersenjata untuk Pembebasan Timor Timur (Falintil) itu melapor ke hutan, dan 16 tentara yang sedang bersama orang-orang desa untuk mempersiapkan peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus dibunuh. Tentara membalas. Lebih dari 30 warga desa dieksekusi. Warga lain lari ke hutan. Yang tinggal hanya perempuan dan anak-anak.
Tak sampai sebulan, tentara berhasil meyakinkan penduduk Kraras agar keluar dari hutan dan dibawa ke Klerek Mutin. Ternyata kemudian banyak warga, terutama laki-laki, dibunuh sehingga desa ini dikenal sebagai desa janda. Ketika berkunjung, saya menyaksikan memang tidak ada laki-laki di sana. Dalam pertemuan, para janda membenarkan cerita petinggi ABRI yang memberi tahu saya.
(Kiki Syahnakri, mantan Panglima Kodam IX/Udayana, yang kerap ditugasi ke Timor Timur, dalam buku Timor Timur: The Untold Story menyebutkan insiden itu bermula dari undangan tokoh desa kepada tentara untuk pesta. Saat pesta berlangsung, tentara diserang dan hanya ada satu yang selamat. Kemudian terjadi pembalasan. Xanana Gusmao mengaku tidak tahu insiden penyerangan tersebut dan curiga ada pihak ketiga yang bermain.)
Saya dengar tentara menciptakan kondisi agar insiden itu terjadi. Seperti juga ada seorang komandan rayon militer dan camat di Liquica yang menaruh bendera Fretilin di rumah warga untuk menjadi alasan penangkapan. Ternyata mereka kemudian mengambil kopi warga. Saya menemui mereka dan mengancam akan melapor ke Jakarta.
Pada 1989, saya menemui Panglima ABRI Try Sutrisno. Saya bilang, "Banyak tentara di Timor Timur baik. Tapi ada dua orang yang harus Bapak tarik: Komandan Komando Operasi Keamanan Timor Timur Brigadir Jenderal Mulyadi dan Prabowo Subianto. Mereka itu akan menciptakan masalah bagi Indonesia."
Menurut Try Sutrisno, menarik Mulyadi itu gampang. Tapi Prabowo adalah menantu Presiden Soeharto. Saya memperhatikan Mulyadi sejak kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989. Benny Moerdani saat itu juga datang. Ternyata kemudian terjadi keributan. Setelah acara selesai dan Benny akan pulang, ia minta Mulyadi jangan main tangkap.
Pada awal Prabowo datang, banyak orang senang. Tapi kemudian dia mengambil langkah keliru. Dia juga memusuhi gereja Katolik, misalnya Pastor Locatelli dari Fatumaka, Baucau, yang dianggap membantu kelompok Xanana.
Padahal, kunci saya memimpin Timor Timur, bila kita ingin mendekati rakyat, harus mendekati gereja. Kalau di tempat lain, gubernur adalah orang nomor satu. Tapi di Timor Timur tidak. Nomor satu adalah uskup, nomor dua gubernur, nomor tiga baru panglima.
Jadi Gubernur Timor Timur itu sangat sulit karena ABRI tidak segaris dengan pemerintah. Mereka mengurus semuanya sendiri dan banyak melakukan penyalahgunaan wewenang, bahkan korupsi. Mereka mengolah kebun di sini seolah-olah kebun mereka. Mereka juga mengimpor barang ke sini, kemudian mengirimkannya ke Surabaya atau kota lain di Indonesia.
Contoh kasus: Mayor Aziz Hasyim, yang memegang semua proyek di Timor Timur. Saya dilapori Bank Dagang Negara, dana miliaran rupiah untuk pembangunan rumah rakyat telah dia ambil. Ketika saya minta dia membereskannya, dia mengatakan, kalau yang saya bilang benar dan dia naik pesawat, pesawat itu akan jatuh. Saya menjawab, "Pesawat itu tidak akan jatuh karena ada penumpang lain, Pak. Kalau penumpangnya Bapak sendiri, akan jatuh."
Karena saya tak mau menandatangani pencairan uang tersebut, datang tim dari Jakarta di bawah Mayor Jenderal Sutaryo, Wakil Kepala Bais. Saya bilang, "Kalau uangnya ada di bank, pasti langsung saya teken. Tapi ini uangnya sudah tidak ada." Akhirnya, Aziz Hasyim diadili di pengadilan militer dan diganjar hukuman pada 1984.
SEJAK awal menjadi gubernur, saya melakukan pertemuan dengan rakyat setiap Jumat. Orang antre dari pagi sampai malam. Ada yang melaporkan penyiksaan, penahanan tanpa pengadilan, ada pula orang yang dibunuh hanya karena keluarganya di hutan.
Bahkan ada sekitar 5.000 orang yang dibuang ke Pulau Atauro karena dianggap membantu orang di hutan atau ada anggota keluarganya di hutan. Saya berbicara dengan petinggi Bais agar mereka dikeluarkan dari sana. Akhirnya, mereka dipulangkan ke desa masing-masing. Tapi sekitar 500 orang ditempatkan di kamp di Ainaro.
Saat mendengar insiden Kraras dan Klerek Mutin, saya juga segera mengadakan hearing. Begitu pula soal Desa Janda Beasu. Dari hasil pertemuan dengan rakyat, saya telah membuat sekitar 10 ribu memo. Memo-memo ini saya kirim ke berbagai pihak. Saya juga selalu berbicara dengan gereja, terutama Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, yang kerap memberi informasi kepada saya.
Saya pernah pula berbicara dengan Falintil, meski saya tak dekat dengan mereka. Selama menjadi gubernur, saya dua kali bertemu dengan pemimpin mereka, Jose Alexandre Gusmao alias Xanana Gusmao. Pada pertemuan pertama, sekitar Maret 1983, saya ditemani Kolonel Poerwanto. Kami bertemu di Larigutu, Viqueque. Saya melihat di meja ada bendera Fretilin dan rokok Gudang Garam.
Dalam pertemuan sekitar 40 menit itu, saya katakan, "Suatu saat senjata akan habis, peluru habis, Anda mau apa?" Xanana menjawab, "Mario Carrascalao, Anda harus tahu, saya memang tidak punya pabrik senjata atau peluru. Tapi pusat senjata dan peluru saya itu di Surabaya atau Jakarta. Sekarang ini justru sulit karena kita ada kontak damai."
Pertemuan kedua, sekitar April 1983, berlangsung di Ariana. Xanana berbicara terus terang bahwa dia perlu tiga bulan untuk mengatur kembali perlawanannya. Ketika saya membujuk agar bekerja sama membangun Timor Timur, dia tidak mau. "Anda sebagai gubernur bertugas mengurus rakyat. Anda laksanakan tugas itu. Dan ini tugas saya."
PADA 1989, saya mengusulkan Timor Timur disamakan dengan provinsi lain. Waktu itu, saya menemui Presiden Soeharto. "Pak, di Indonesia, pendidikan sudah maju. Di Timor Timur, anak-anak muda umur 17, 18, bahkan 20 tahun baru masuk SD. Ketika lulus, tidak ada pekerjaan. Akhirnya, mereka lari ke hutan, bekerja sama dengan Fretilin. Dulu orang di hutan berbicara dengan bahasa Tetun dan Portugal, sekarang mereka berbahasa Indonesia." Presiden menyambut baik.
Saat itu media ramai memberitakan usul saya. Benny Moerdani memanggil saya. "Anda jangan macam-macam. Kalau terjadi sesuatu, jangan salahkan Hankam." Akhirnya, Timor Timur disamakan dengan provinsi lain pada akhir 1989.
Saya sedih melihat Timor Timur. Tidak ada kepala dinas yang orang asli. Orang pada lari ke hutan, atau tidak berpendidikan. Saya mengajukan program beasiswa Rp 800 juta. Sempat dicoret di Departemen Dalam Negeri, program ini kemudian berjalan. Sekitar 3.000 anak muda Timor Timur dikirim ke beberapa kota di Jawa untuk belajar.
Selain itu, saya mengusulkan pendirian perguruan tinggi. Petinggi Bais sempat menolak dan mengatakan Timor Timur tidak memerlukan perguruan tinggi, cukup sekolah teknik. Saya jawab, "Sekolah teknik sudah ada sejak zaman Portugal."
Akhirnya, Universitas Timor Timur berdiri pada 1989. Tapi, sampai akhir masa jabatan saya pada 1992, statusnya tetap terdaftar, tidak pernah sampai "diakui" oleh pemerintah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo