Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIALA Thomas ibarat puncak karier bagi seorang pemain bulu tangkis. Segala usaha dan latihan keras yang kami rintis bertahun-tahun terbalaskan begitu meraih piala lambang supremasi dunia beregu putra itu. Saya, Olich Solihin, Njoo Kim Bie, Lie Po Djian, dan Tan King Gwan merupakan pemain peringkat atas nasional saat itu.
Dalam babak penyisihan Piala Thomas 1957 di Selandia Baru, saya dan Njoo Kim menjadi penentu kemenangan. Kami sama sekali tak mengira bisa lolos ke putaran final di Singapura. Sebab, lawan-lawan kami sudah berpengalaman. Menjelang putaran final, Ferry Sonneville dan Eddy Yusuf datang menambah kekuatan kami.
Indonesia sebagai negara baru di bulu tangkis dunia sama sekali tak dipandang. Tapi itu tak membuat semangat kami berkurang. Umur saya waktu itu masih 20 tahun. Njoo Kim adalah pemain senior dan menjadi tumpuan kami. Pertandingan mulai terasa berat saat menghadapi tim tangguh Denmark. Mereka diperkuat jago-jago dunia, seperti Erland Kops, Hammergard Hansen, dan Finn Kobbero. Tapi kami akhirnya menang 6-3. Dan saya berhasil mengalahkan Erland Kops. Dia itu juara All England tujuh kali.
Lantas, di final, kami bertemu dengan tuan rumah sekaligus juara bertahan Malaya. Waktu itu pertandingan berlangsung di Singapore Badminton Hall. Dukungan penonton untuk tim Malaya sangat luar biasa. Kami bertujuh hanya berusaha tampil sebagus mungkin. Tanpa diduga, kami berhasil mengalahkan mereka 6-3. Padahal tim ini memiliki pemain kaliber dunia, seperti Eddy Choong dan Wong Peng Soon.
Kemenangan itu merupakan prestasi spektakuler. Kami sama sekali tak menyangka. Itulah titik awal kebangkitan bulu tangkis kita. Saya ingat betul kami hanya punya waktu enam bulan untuk mempersiapkan diri secara tim terhitung mulai dibentuknya Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia di Bandung pada 5 Mei 1951.
Kami bertujuh kemudian dikenal sebagai ”The Seven Magnificent”. Setelah Piala Thomas bisa kami bawa pulang ke Jakarta, sambutan yang kami terima sangat meriah. Kami diarak keliling Kota Jakarta. Itu pengalaman yang tak terlupakan. Padahal, saat kami akan berangkat ke Singapura, seperti tak ada yang peduli. Bagi kami saat itu, ideologi nasionalisme adalah modal untuk berjuang. Itu sudah cukup.
Keberhasilan saya menundukkan jago-jago dunia ternyata membuat media asing menjuluki saya ”The Giants Killer” atau Pembunuh Raksasa. Ini menambah motivasi saya untuk terus mengukir prestasi. Status saya sebagai pemain tunggal yang tak terkalahkan membuat saya diundang mengikuti turnamen paling bergengsi: All England, pada 1959.
Kejuaraan ini memiliki arti penting dalam karier bulu tangkis saya. Inilah untuk pertama kalinya pemain Indonesia juara tunggal putra di turnamen perorangan tertua di dunia. Sebenarnya siapa pun yang menjadi juara saat itu pastilah dari Indonesia. Sebab, lawan saya di final adalah Ferry Sonneville.
Setelah menjuarai All England, berturut-turut selama dua pekan saya ikut kejuaraan Kanada Terbuka dan Amerika Serikat Terbuka. Di dua pertandingan itu, lagi-lagi saya menang. Gambar saya menjadi sampul majalah olahraga Canadian Sport. Nama saya dan Indonesia juga diulas dua halaman di majalah Sport Illustrated. ”Wonderful World of Sports. Tan Joe Hok Takes Detroit,” tulis majalah terbitan 13 April 1959 itu.
Sukses mempertahankan Piala Thomas pada 1961, saya mendapat tanda jasa Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soekarno. Bung Karno berkata kepada saya, ”Saya bangga, banyak doktor, insinyur, tapi manusia seperti kamu yang mewakili bangsa dan negaramu hanya bisa dihitung dengan jari.” Sambil menunjuk-nunjuk, beliau melanjutkan, ”I will give you a scholarship.”
Ketika saya kembali ke Amerika untuk kuliah, saya kaget menerima surat dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surat itu berisi cek senilai US$ 1.000. Ini jumlah yang sangat besar saat itu, setara dengan setengah harga mobil Impala terbaru. Saya bingung uang itu mau diapakan. Saya merasa tak berhak menerima karena saya sudah kuliah di Baylor University, Texas, lewat program beasiswa. Saya juga bisa mencari uang dengan bekerja di kampus. Akhirnya uang itu saya kembalikan. Bagi saya, menjadi putra Indonesia yang dibanggakan lebih berharga daripada sejumlah uang.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo