Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU siang pada 1967. Kolonel Mulyono dari CPM Guntur, Jakarta Pusat, mengumpulkan semua anggota tim Piala Thomas di flat atlet Senayan. Di gedung yang kini sudah berganti rupa menjadi pertokoan Plaza Senayan itu, para atlet yang menggunakan nama berbau Tionghoa diperintahkan mengganti nama. Kolonel Mulyono sudah menyiapkan nama pengganti masing-masing. Kami semua tak dapat menolak.
Hari itu juga, anggota tim Piala Thomas menyandang nama baru. Ang Tjing Siang menjadi Mulyadi, Tan King Gwan menjadi Dharmawan Saputra, Lie Po Djian menjadi Pujianto, Lie Tjuan Sien menjadi Indra Gunawan, Wong Peks Sen menjadi Darmadi, Tjong Kie Nyan menjadi Mintarya, dan Tjia Kian Sien menjadi Indratno.
Hanya saya yang tak diberi nama baru karena saya sudah mendapat nama Hendra dari Panglima Kodam Siliwangi H.R. Dharsono. Kartanegara saya karang sendiri. Pokoknya, nama ”Tan” tidak hilang. Jadilah nama saya Hendra Kartanegara. Pergantian nama itu bagi saya amat menyakitkan. Apalagi yang diminta berganti nama hanya kami yang keturunan Tionghoa. Ferry Sonneville, yang namanya berbau Belanda, terbebas dari aturan ini.
Sejak meletusnya G30S pada 30 September 1965, kami mulai merasakan perbedaan perlakuan. Banyak peraturan pemerintah Orde Baru yang tak masuk akal. Pemerintah Orde Baru misalnya mengeluarkan Keputusan Presidium Nomor 127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama Tionghoa. Keputusan ganti nama itu dikuatkan Soeharto dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang semua hal berbau Tionghoa.
Setelah mendukung tim Thomas pada 1967, saya gantung raket. Saya, yang saat itu sudah menikah dengan Goei Kiok Nio—bekas pemain Uber—dan dikaruniai dua anak, bingung mau melakukan apa. Kembali ke Amerika untuk melanjutkan kuliah yang terbengkalai rasanya sudah tak mungkin. Saya bertahan dengan sisa-sisa uang yang ada. Kebetulan, pada 1964, atas kebaikan Jenderal Ahmad Yani, saya ditempatkan di wisma milik Departemen Perdagangan di Jalan Budi Kemuliaan I, Jakarta Pusat.
Tapi, setelah pecah peristiwa 30 September, saya diusir dari tempat itu karena dianggap bukan pemain bulu tangkis lagi. Pagi-pagi sekali saya langsung pergi ke Jalan Cendana, tempat kediaman Soeharto, yang saat itu sudah jadi pejabat presiden. Melalui ajudannya, Suroso, saya ceritakan peristiwa pengusiran itu. Sekitar pukul sepuluh pagi, si tentara pengusir datang lagi memohon maaf. Rupanya, dia ditegur Soeharto. Saya pun tak jadi diusir.
Wisma itu akhirnya dijual juga oleh pemerintah pada 1969, dan saya diberi pesangon. Embrio diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa saat itu makin berkembang. Berbekal uang pesangon itu, kami sekeluarga berangkat ke Meksiko. Saya menjadi pelatih di sana setahun. Setelah itu, saya hijrah ke Amerika Serikat.
Saya beruntung dikelilingi orang yang baik. Saya malah sempat menda-pat tawaran beasiswa untuk melanjutkan sekolah sekaligus melatih bulu tangkis. Mereka bilang keahlian saya sangat dibutuhkan. Tapi meninggalkan Tanah Air terlalu lama membuat istri saya kerap menangis. Istri dan anak-anak lalu pulang. Saya sendiri ke Hong Kong menjadi pelatih. Meski berat, demi keluarga, saya berusaha bertahan hidup di negara yang bahasanya pun amat asing bagi saya itu.
Pada 1972, saya kembali ke Indonesia dan membangun rumah di daerah Pancoran, Jakarta Selatan, yang saya tempati sampai sekarang. Ternyata diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa tak juga surut. Anak-anak saya ditolak masuk sekolah yang letaknya dekat kediaman kami hanya karena mereka Cina. Padahal semua anak tetangga kami bisa bersekolah di sana. Saya sampai mengadu ke Yap Thiam Hien dan Ciputra. Berbekal surat rekomendasi dari Ciputra, anak-anak saya akhirnya dapat bersekolah di Sekolah Katolik Regina Pacis, Petamburan, Jakarta Barat.
Pengalaman lain yang tak kalah menyakitkan adalah saat mengurus kartu tanda penduduk Jakarta. Saya harus menyertakan dokumen K1 sebagai bukti bahwa saya bukan orang asing, walaupun saya sudah memiliki surat bukti kewarganegaraan (SBKRI). Saya tak paham, kewarganegaraan apa lagi yang mesti saya lengkapi. Bukankah saya sudah punya surat bukti kewarganegaraan Indonesia ketika dulu bersekolah di Amerika?
Saya ingat pernah ditawari kewarganegaraan Republik Rakyat Tiong-kok, tapi saya tolak. Tiba-tiba saya, istri, dan anak-anak harus berjuang lagi dari nol mengurus kewarganegaraan Indonesia. Ini ironis. Dulu, di zaman Soekarno, tak ada diskriminasi. Warga negara Indonesia, Yahudi, keturunan Cina, keturunan India, semua sama. Betul-betul luar biasa dahsyat waktu itu. Kami, baik yang keturunan maupun tidak, diarak-arak. Itu membuat saya bangga.
Di zaman Orde Baru, segalanya berbeda. Namun saya bertekad untuk tak dendam. Ini politik. Akan saya penuhi semua permintaan. Terbukti, setahun kemudian, saya berhasil mendapat dokumen K1. Proses memakan waktu setahun itu sudah terhitung beruntung. Susi Susanti baru mendapat status kewarganegaraan itu setelah 10 tahun.
Terakhir, yang paling membekas dalam ingatan saya adalah ketika kerusuhan melanda Jakarta pada Mei 1998. Waktu itu, istri saya baru saja meninggal, Februari 1998. Saya pontang-panting mencari tiket untuk anak-anak saya. Saya ingin anak-anak segera meninggalkan Jakarta yang makin panas, terutama anak perempuan saya. Apalagi sebuah toko swalayan di dekat rumah sudah habis dibakar penjarah. Sampai pukul dua pagi, tiket tak juga saya dapat. Di ruang tamu, kami bertiga berkumpul, pasrah menunggu nasib. Untunglah tak terjadi apa-apa. Saya berharap kejadian pahit seperti itu tak akan terulang.
Saya bersyukur bisa hidup sampai sekarang melewati semua manis dan pahit kehidupan. Sekarang saya menghabiskan masa tua dengan berbagai kegiatan, menonton berita di televisi kabel, belajar bahasa asing, dan memotret. Saya aktif di Komunitas Bulu Tangkis Indonesia, kumpulan mantan atlet dan pengurus. Kami membantu teman-teman atlet yang masa tuanya kurang beruntung, sakit-sakitan dan kehabisan uang. Makanya saya selalu berdoa: Tuhan, jika waktunya tiba, janganlah saya dipersulit, bawalah saya dengan damai.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo