Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
USSY terlihat sedang asyik memanjakan anaknya yang belum genap berumur satu bulan. Tak jauh dari mereka, Tina juga tengah bersantai sembari menikmati udara segar di bawah pohon akasia. Sekitar 10 meter di hadapan ketiganya, Doni duduk bermalas-malasan. Jumat siang dua pekan lalu itu, matahari di atas padang rumput Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur, memang terasa menyengat.
Jangan keliru. Ussy, Tina, dan Doni bukanlah turis lokal yang sedang berlibur. Mereka banteng Jawa penghuni Taman Nasional Baluran yang menjalani program pembiakan semi-alami. "Program ini bertujuan mengembalikan populasi banteng Jawa di Baluran," kata Emy Endah Suwarni, Kepala Balai Taman Nasional Baluran. Anak Ussy merupakan hasil program ini. Kelahirannya terbilang bersejarah karena inilah banteng pertama hasil pembiakan semi-alami.
Teknik pembiakan semi-alami dilakukan menggunakan indukan dari luar, tapi seluruh proses pembiakan terjadi di dalam kawasan taman nasional. Ussy, Tina, dan Doni bukanlah penghuni asli Baluran. Mereka sengaja didatangkan dari Taman Safari Indonesia II Prigen di Pasuruan, Jawa Timur. Dari tempat penangkaran, mereka kemudian dibiasakan hidup di habitat alami di Baluran untuk berkembang biak.
Taman Nasional Baluran dan Taman Safari Prigen menggarap proyek pembiakan semi-alami banteng ini sejak 2010. Biaya yang telah dihabiskan tak sedikit, sekitar Rp 1 miliar. Taman Prigen dipilih lantaran tempat ini dianggap memiliki pengelolaan satwa yang lebih baik dibanding kebun binatang dan memiliki banyak koleksi banteng hasil penyelamatan dari alam.
Sedangkan kedatangan Ussy, Tina, dan Doni bukan tanpa alasan. Menurut General Manager Taman Safari Prigen Michael Sumampaow, ketiga banteng itu merupakan keturunan banteng Meru Betiri dan Alas Purwo, taman nasional yang juga berada di Jawa Timur. "Mereka masih memiliki darah murni," ujarnya. Maksudnya, mereka masih famili dekat secara genetik dengan banteng Jawa di Baluran.
Banteng di taman nasional ini, kata Emy, terbilang istimewa karena memiliki gen kualitas wahid. Gen itu mengalir dalam tubuh banteng dewasa yang bobotnya mencapai 900 kilogram dan tinggi 170 sentimeter. Bandingkan dengan banteng di kawaÂsan lain yang rata-rata berbobot 600-800 kilogram dan tinggi 160 sentimeter. Nah, Ussy, Tina, dan Doni diyakini masih mewarisi "trah" banteng Baluran. Ketiganya dipilih untuk memastikan mereka bisa memiliki keturunan yang tetap bagus ketika kelak dikawinkan dengan banteng di Baluran.
Proses pembiakan semi-alami tak gampang. Program ini diawali studi banding sejumlah anggota staf Taman Nasional Baluran ke Taman Prigen pada 2011. Mereka belajar merawat serta mengenali perilaku dan kesehatan banteng. Pada Juli 2012, Taman Prigen meminjamkan Ussy dan Tina ke Baluran. Dua indukan banteng berumur dua tahun itu tidak langsung dikawinkan, tapi lebih dulu dikondisikan dengan habitat asli berupa padang rumput.
Mereka ditempatkan di kandang seluas 0,8 hektare dengan kondisi mirip habitat alami. Di dalamnya ditumbuhi rumput yang selalu hijau serta ada sumber air, pepohonan, dan pondok istirahat. Kandang dikelilingi kawat beraliran listrik supaya predator seperti ajak—sejenis anjing hutan—tidak bisa masuk. Meski tinggal di kandang, Ussy dan Tina tetap harus merasakan sengatan matahari yang bisa mencapai 40 derajat Celsius.
Kepala Unit Pengelolaan dan Konservasi Breeding Banteng Semi Alami Baluran Siswanto mengatakan skenario awal pembiakan adalah membiarkan pintu kandang terbuka supaya banteng jantan liar mau masuk dan mengawini Ussy dan Tina. Ketika banteng itu masuk, pintu otomatis tertutup. Sayangnya, skenario ini tak berjalan. "Pejantan enggan mendekati Tina dan Ussy," ujarnya. Bahkan kedua banteng betina remaja itu tak disentuh selama dua bulan. Padahal keduanya sudah memasuki masa berahi.
Tak mau kehilangan momentum, pengelola taman nasional menyiapkan skenario kedua. Mereka mendatangkan seekor pejantan dari Prigen yang diberi nama Doni. Hasilnya, Doni terpikat. Dan Doni sukses membuahi Ussy pada Januari 2013. Bak pejantan tangguh, Doni juga berhasil menghaÂmili Tina sekitar enam bulan kemudian. Tina, yang kini bunting empat setengah bulan, diprediksi melahirkan Mei tahun depan.
Menurut Kurator Satwa Taman Prigen Ivan Chandra, perjodohan Doni dan Ussy berlangsung lima bulan. Keduanya membutuhkan perkenalan, penyesuaian habitat, dan belajar kawin meski sama-sama berasal dari Prigen. Sebenarnya tak ada hambatan serius dalam prosesnya sepanjang tersedia pakan dan kandang yang luas. Kuncinya justru terletak pada pawang atau keeper. "Keeper harus memahami bahwa pembiakan pada banteng sama dengan sapi," ucapnya.
Pakar zoologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Gono Semiadi, mengatakan metode pembiakan semi-alami dapat digunakan jika populasi banteng di Baluran tidak memungkinkan untuk kawin secara alami. Syaratnya, banteng dari luar termasuk jenis murni. "Sah-sah saja kalau untuk mendongkrak populasi asli banteng di sana," ujarnya. Ia menyarankan anakan hasil pembiakan semi-alami kelak dijadikan indukan baru.
Menurut Emy Suwarni, pembiakan semi-alami cocok untuk mendongkrak populasi banteng di Baluran yang terus merosot. Pada 1970, jumlahnya tercatat 150-200 ekor. Angka itu menurun separuhnya 33 tahun kemudian. Kondisi kian mengkhawatirkan ketika pada 2010 hanya ada 15 individu yang terpantau. Pengelola taman nasional mendadak sontak kelabakan, meski dua tahun kemudian populasi banteng bertambah menjadi 26 ekor.
Masalah kian runyam lantaran penambahan populasi tak bisa hanya mengandalkan kelahiran alami. Sebab, hampir 80 persen banteng di Baluran adalah pejantan. "Idealnya komposisi banteng betina lebih banyak," kata Emy. Proporsi yang tidak berimbang ini memperkecil peluang terjadinya perkawinan. Akibatnya, angka kelahiran alami hanya satu per tahun.
Faktor lain yang membuat populasi banteng di Baluran terus menurun adalah tingginya angka perburuan yang mencapai 10 kasus per tahun. Pada awal tahun ini saja petugas taman nasional menemukan empat alat jerat dari tambang yang diduga untuk menjebak banteng.
Kondisi semakin parah karena habitatnya tergerus oleh kebakaran dan semakin banyaknya pohon akasia (Acacia nilotiÂca). Sejak 1980, invasi akasia berduri telah menutupi 6.000 dari 10 ribu hektare padang rumput di Baluran. Padahal padang rumput adalah habitat ideal bagi banteng. "Kami hanya mampu membersihkan 100 hektare akasia per tahun," ucap Emy.
Faktor-faktor itulah yang menyebabkan laju berkembang biak banteng di Baluran tak sejalan dengan target Kementerian Kehutanan. Banteng Jawa (Bos javanicus) di Baluran, bersama 13 spesies langka lainnya, ditetapkan sebagai spesies prioritas. Populasinya harus meningkat tiga persen selama 2010-2014.
Skenario mengawinkan Ussy dan Tina dengan pejantan lokal baru langkah awal. Mereka dan anakan bakal kembali dijodohkan dengan banteng asli Baluran. Sambil menunggu perjodohan baru, Ussy sementara masih menikmati merawat bayi barunya yang berbobot 28 kilogram. Sang bayi tumbuh sehat dan normal. "Ia terus menyusu ke induknya," kata Wahyudi, pawang yang khusus menjaga Ussy. Pengelola Taman Nasional Baluran sudah menyiapkan tiga nama untuk anak banteng betina berusia sebulan itu: Dina, Nina, dan Okta.
Mahardika Satria Hadi, Ika Ningtyas (Situbondo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo