Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gunakan golok saktimu," kata Barda Mandrawata alias Si Buta dari Gua Hantu seraya menebas Jaka Sembung dengan tongkatnya. Dia marah karena mengira Jakalah yang menjadi penyebab ayahnya terbunuh, dan Marni, kekasihnya, menikah dengan orang lain.
"Tidak ada yang sakti. Ini hanya golok biasa," kilah Jaka sambil menangkis dengan goloknya. Kedua senjata itu beradu keras, dan "Tes!" golok Jaka patah dibabat tongkat Barda.
Pertarungan itu cepat dan keras. Salah satu dari keduanya akan mati. Yang manakah? Anda tinggal membuka halaman terakhir Jaka Sembung vs Si Buta dari Gua Hantu, komik terbaru karya Djair Warni, pencipta Jaka Sembung. Berbeda dengan komik silatnya dulu yang berlatar zaman kolonial, Djair kali ini menempatkan jagoannya di alam masa kini, yang penuh dengan bangunan tinggi, jalan tol, dan mobil yang lalu-lalang. Komik itu dipersembahkan Djair untuk komikus yang dikaguminya, Ganes Th., pencipta Si Buta dari Gua Hantu, yang meninggal pada 1995.
Kembalinya para pendekar itu merupakan upaya pegiat komik menghidupkan kembali perkomikan nasional. Komik setebal 110 halaman itu diterbitan Pluz+, yang dikenal sebagai penerbit ulang komik klasik seperti Wayang Purwa karya S. Ardisoma dan Mahabharata karya Teguh Santosa. "Ini karya yang baru saya bikin," kata Djair seusai acara peluncuran kembali seri lama Jaka Sembung dalam Indonesia Comic Fair II di Citywalk Sudirman, Jakarta, Jumat dua pekan lalu.
"Tahun ini kami terbitkan dua buku dulu, masing-masing seribu eksemplar, dan seri ketiga pada Februari tahun depan," kata Andy Wijaya, pemilik Anjaya Books, toko komik yang menerbitkan dua seri tersebut. Toko di lantai 4 ITC Kuningan, Jakarta, itu berencana menerbitkan ulang seluruh seri Jaka Sembung secara bertahap.
Dua buku itu diambil dari seri awal Jaka Sembung, yakni Badjing Ireng dan Si Gila dari Muara Bondet. Yang pertama mengisahkan aksi kemunculan pertama Jaka sebagai pendekar dan pertemuannya dengan Roidjah alias Badjing Ireng, yang nanti jadi istrinya. Buku kedua memperkenalkan asal-usul Karta, pendekar berjulukan Si Gila dari Muara Bondet, yang ke mana-mana membawa peti mati berisi mayat kekasihnya, Nuraini. Karta kemudian diselamatkan Jaka dalam sebuah pertarungan melawan seorang begal di tepi Kali Condet. Komik yang masing-masing setebal 64 halaman itu persis seperti cetakÂan lamanya, kecuali perubahan pada ejaan bahasa.
Ringkasan petualangan Jaka Sembung dapat ditemukan dalam pengantar Jaka Sembung vs Si Buta dari Gua Hantu. Sebenarnya Djair pernah menerbitkan Banjir Darah di Pantai Selatan pada 1988, yang memunculkan tokoh Si Buta dari Gunung Iblis, bukan Si Buta dari Gua Hantu. Pendekar buta yang diasuh raja jin ini dibikin Djair ketika PT Rapi Films hendak membuat film Si Buta Lawan Jaka Sembung pada 1983, yang dibintangi Barry Prima dan Advent Bangun. Kala itu PT Rapi Films ingin mempertemukan dua ikon komik silat itu, tapi tak bisa menampilkan Si Buta dari Gua Hantu karena masalah hak cipta, sehingga Djair harus membuat tokoh baru yang mirip karakter rekaan Ganes Th. tersebut.
Di usianya yang kini mendekati 67 tahun, Djair tampak harus berjalan dengan tongkat. Jempol kaki kanannya diamputasi karena diabetes beberapa bulan lalu. Meski begitu, "Saya terus bikin komik, tak pernah berhenti," katanya.
Djair lahir pada 13 Mei 1945 di Karangtengah, sebuah kampung di Desa Kebarepan, 13 kilometer dari Cirebon, Jawa Barat. Dia adalah anak kedua dari tujuh bersaudara yang dilahirkan pasangan Sardeni, tukang reparasi arloji, dan Asari, pedagang sayur gendongan keliling. Setelah lulus dari Sekolah Teknik Menengah di Cirebon, Djair kuliah di Fakultas Naval Arsitektur Universitas Mahajaya di Jakarta. Kuliahnya macet karena masalah biaya. "Orang tua bercerai-berai dan saya jadi ‘gelandangan’," katanya.
Djair indekos di sebuah rumah di belakang gedung Wayang Orang Bharata di kawasan Senen, Jakarta Pusat, pada 1966. Saat itu dunia perkomikan Indonesia sedang dibanjiri komik jenis roman percintaan, seperti karya Jan Mintaraga dan Zaldy. Djair membacanya dan membangkitkan kembali hobi menggambarnya. Ia kemudian mencoba membuat komik roman. Beberapa judul terbit pada 1967, seperti Sang Saka Berlumur Darah, Kompetisi Amor, Dia Datang untuk Berlalu, dan Villa Rama.
Pada awalnya banyak penerbit yang menolak karya Djair. Yang lebih merepotkan lagi adalah soal sensor yang dilakukan Seksi Bina Budaya Komdak Metro Jaya. Semua komik harus masuk ke lembaga tersebut. "Banyak komik yang tidak lolos sensor, dibredel, lalu hilang begitu saja," katanya.
Tatkala Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes Th. meledak, para penerbit pun berbondong-bondong mencetak komik silat. Djair kebagian pulung, karena mereka memintanya membuat komik silat juga. Tapi mau bikin apa? Saat itu sudah ada Si Buta dari Gua Hantu dan Panji Tengkorak karya Hans Jaladara, yang karakter tokohnya khas dan sudah populer. Djair memutuskan membuat karakter baru yang lebih realistis. Tokoh itu harus manusiawi dan membumi, seperti punya keluarga, jelas asalnya, dan hidup di dunia nyata. "Saat itu para tokoh komik silat biasanya hidup di dunia khayal, tak jelas di mana," kata Djair.
Maka lahirlah Jaka Sembung pada 1968 dan telah terbit 24 judul hingga sekarang, seperti Bergola Ijo, Gembong Wungu, Pendekar Gunung Sembung, Leonard van Eisen, Badai Laut Arafuru, Iblis Pulau Aru, Wori Pendekar Bumerang, Singa Halmahera, Wali Kesepuluh, dan Jaka Sembung Sang Penakluk Ratu Pantai Selatan.
Latar kisah Jaka Sembung jelas ruang dan waktunya. Dia adalah pendekar yang digembleng ilmu silat Gunung Sembung oleh gurunya, Ki Sapu Angin, di Pantai Eretan, Cirebon. Bersama para pendekar lain dia berjuang melawan penjajahan Belanda pada sekitar abad ke-17. Jaka juga digambarkan sebagai muslim yang alim. Saking alimnya, dia diangkat jadi wali kesepuluh, menggenapi Wali Songo. "Tak ada niat berdakwah. Biar tokoh itu berbeda saja dari tokoh silat lain, yang umumnya tidak jelas agamanya," kata Djair.
Komik itu digambar Djair dengan pena celup serta tinta Cina hitam dan putih di atas kertas gambar ukuran A3. Gambar itu nanti akan dicetak di kertas koran yang ukurannya sedikit lebih kecil dari separuh kertas ukuran A4. Seperti lazimnya komik Indonesia masa itu, setiap halamannya berisi dua panel. Komik itu dicetak per jilid setebal 64 halaman. Setiap judul tebalnya beragam, dari satu hingga puluhan jilid.
Gambar Djair realistis. Rupa dan perawakan tokohnya sesuai dengan orang Indonesia. Tapi keterampilannya masih di bawah komikus lain. Pada karakter anak-anak, misalnya, gambarnya tidak pas, sehingga terkesan seperti orang dewasa bertubuh pendek. Perspektif gambarnya juga kurang kaya dibandingkan dengan Ganes, misalnya, yang banyak mengambil sudut pandang seperti kamera film. "Gambar saya memang paling jelek," katanya mengakui.
Serial Jaka Sembung meledak di pasaran. Djair tak tahu persis berapa eksemplar komiknya dicetak. Dia hanya tahu kesuksesan itu dari naiknya jumlah honor yang dikantonginya. Honornya bisa mencapai Rp 100 ribu untuk satu jilid. "Ingat, harga emas masa itu Rp 250 per gram. Artinya, satu jilid itu bisa beli setengah kilogram emas," katanya. Hanya dengan honor dari sejilid komik Si Tolol, Djair bisa menikahi Nuraini, gadis Betawi tetangga kosnya, pada 1970, dan berbulan madu serta membeli rumah di Matraman Dalam, yang dia tempati hingga kini.
Ini masa gemilang komik silat. Para penerbit berdatangan meminta komiknya. Dia pun bikin seri baru, seperti Si Tolol, Malaikat Bayangan, Jaka Gledek, Manusia Jin, Si Macan Kumbang, dan Penyair Sakti. Keterampilannya menggambar juga semakin cepat. Sementara pada mulanya dia cuma bisa membuat satu jilid per bulan, pada masa jayanya dia bisa membuat satu jilid per minggu.
Namun, menurut Djair, kejayaan komik silat berusia pendek, antara 1968 dan 1973. Setelah itu komik Indonesia perlahan menghilang dan berganti dengan komik impor. Toh, kejayaan Djair belum sirna. Beberapa judul seri Jaka Sembung kemudian diangkat ke layar lebar pada 1981-1990, seperti Jaka Sembung, Bajing Ireng dan Jaka Sembung, serta Jaka Sembung dan Dewi Samudra.
Kini Jaka Sembung muncul kembali bersama sejumlah komikus muda yang aktif membangun komunitas dan menerbitkan karyanya secara sendiri atau berkelompok.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo