MALAM itu pencipta dan ciptaannya bersatu. Gesang maju ke panggung, pelan-pelan. Penyiar TVRI bertanya apakah ia masih kuat bernyanyi. Yang ditanya senyum, menjawab mantap, masih. Maka, lagu yang dikenal tak cuma di Indonesia itu dilantunkan oleh "bapak"-nya sendiri. Dengan suaranya yang besar, dengan nada yang tepat, Bengawan Solo melantun dengan pas. Meski cuma tampil sekali, dalam Panggung Gembira RRI-TVRI, yang ditayangkan Kamis malam pekan lalu, Gesang cukup mengesankan. Ia, dalam usia 70 tahun kini, tak cuma tampak masih menguasai tinggi-rendah nada, tapi seolah masih mengagumi sungai yang tiap musim hujan mendatangkan banjir. Si "bapak" memang tak pernah melupakan Bengawan Solo, "Lha wong, rumah saya di timur sungai itu," tuturnya kepada wartawan TEMPO Kastoyo Ramelan. Pencipta itu memang hidup sangat sederhana di Perumnas Palur, sekitar 7 km timur Solo. Cukup bahagia dengan kutilang, perkutut, dan burung cucaknya, ia selalu menjaga diri. "Hati harus senang, menghindari segala tingkah yang membuat kita masuk angin hingga jadi batuk, itulah syarat sehat," tambahnya. Lama tak menyanyi di muka umum, ia menyanggupi undangan panitia Panggung Gembira, karena memang merasa sehat. Syaratnya, dari dan ke tempat rSaman dilakukan, di halaman Istana Mangkunegaran, ia minta diantar. Bukan soal bermanja-manja. Di malam hari ia memang pantang naik sepeda motor miliknya, "silau bila kena lampu mobil." Dasar seniman, ia tak merasa perlu menanyakan soal honorarium segala. Maka, meski pertunjukan dibayar Rp 5.000 sampai Rp 25.000, Gesang tak ribut mengapa ia hanya dihadiahi sebuah baju lurik dan sebuah baju batik. "Sejak dulu saya tak pernah pasang tarif, terserah panitia," katanya pula. Bagi pendekar keroncong ini, dunia musik sekarang, "seperti pesta, orangnya gagah dan ayu-ayu, pakalan bagus, tampak makmur."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini