Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya lahir di Gorontalo, Sulawesi Utara, 19 Maret 1926. Saya anak ketiga dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayah saya Poka Badudu dan ibu saya Pano Sulaeman. Ayah lulusan sekolah rendah, sedangkan ibu tidak pernah bersekolah alias buta huruf. Saat saya berusia tiga tahun, keluarga kami pindah ke Poso, Sulawesi Tengah. Pendidikan dasar saya jalani di sekolah rendah (SR) di Poso, tapi cuma sampai kelas III. Untuk sampai ke sekolah, saya harus berjalan kaki sejauh dua kilometer.
Pada 1936, keluarga kami pindah ke Ampana, yang letaknya di tepi pantai, sekitar 120 kilometer ke arah timur Poso. Pada 1939, saya lulus sekolah sambungan (vervolkschool). Saya lalu menempuh ujian cursus veur volksonderwijs (CVO) di Luwuk. CVO adalah sekolah yang menyiapkan guru untuk mengajar di SR. Saya lulus ujian CVO ini. Saat itu usia saya 13 tahun.
Saya pun kembali ke Ampana, daerah asal saya. Tepat pada 1 Agustus 1941, saya diangkat menjadi guru SR di Ampana. Nama sekolahnya Bestuurvolkschool. Ketika itu, saya masih sangat muda. Baru berusia 15 tahun 6 bulan. Ketika anak-anak seusia saya masih bermain dengan teman-teman sebaya, saya sudah memasuki dunia orang dewasa.
Guru di zaman Belanda harus betul-betul menaati peraturan. Mereka tidak boleh mengerjakan pekerjaan lain, seperti berdagang. Gaji seorang guru yang baru diangkat sepuluh gulden, ditambah dua gulden yang namanya toelage (tunjangan). Setiap bulan menerima 12 gulden memang tidak besar, tapi cukup. Barang kebutuhan pokok saat itu masih murah.
Pada masa pendudukan Jepang, saya tidak bekerja sebagai guru karena tidak diberi kesempatan. Beberapa kawan mendapat kesempatan melanjutkan sekolah ke Shikan Gakkou. Keinginan untuk melanjutkan studi sangat menggebu-gebu. Dalam hati, saya bertekad untuk tidak mau mati hanya sebagai guru SR lulusan CVO.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah Belanda, yang kembali masuk ke Sulawesi Tengah, membuka Normal School (NS) dua tahun di Tentena, ibu kota kecamatan di ujung utara Danau Poso. Guru-guru SD yang hanya berijazah CVO dapat melanjutkan studi di sekolah itu. Karena termasuk lulusan terbaik, saya dipanggil untuk melanjutkan ke NS baru itu.
Setelah lulus, saya dikembalikan ke sekolah tempat bekerja. Ketika saya baru mengajar dua bulan, datang surat dari controleur di Poso yang memerintahkan saya berangkat ke Tomohon di Sulawesi Utara untuk melanjutkan pendidikan di Staats Kweekschool. Usia para murid di sekolah ini 18-19 tahun. Saya sendiri berusia 23 tahun. Di sekolah ini, pada waktu belajar malam hari, banyak di antara kami yang mencari teman belajar. Seorang kawan, Eva Koroh namanya, meminta saya menjadi teman belajarnya. Rupanya, karena setiap hari bersama-sama seperti itu, timbullah rasa saling mengerti di antara kami berdua, yang kemudian berubah menjadi perasaan suka dan cinta.
Saya dan Eva selesai ujian akhir pada April 1951. Kami kemudian mulai memilih sekolah tempat kami akan bekerja. Saya memilih di Poso. Begitu pula Eva. Hanya satu tahun saya bekerja di SMP Poso. Bulan Mei, sesudah ujian akhir, saya pergi ke Jawa karena masih ingin melanjutkan studi. Eva tentu saja tidak mau tinggal di Poso lagi. Kami sudah bersepakat dan berencana menikah tahun depannya.
Saya lalu minta dipindahkan ke Jakarta atau Bandung supaya dapat bekerja sambil belajar. Di Bandung, banyak kursus B1. Mereka menawari saya B1 Bahasa Indonesia karena di sekolah saya menjadi guru bahasa Indonesia. Setelah hampir setahun di Bandung, saya menyurati pacar saya, Eva. Saya menyinggung kembali rencana kami untuk menikah. Saya pun tak bisa meminang Eva kepada orang tuanya di Tondano, Sulawesi Utara, karena pekerjaan dan pendidikan B1 saya di Bandung tak bisa ditinggalkan. Karena itu, saya tempuh jalan yang paling mudah, yaitu melamar lewat surat. Kesannya memang tidak sopan. Syukur, kedua orang tua Eva bisa memahami hal itu dan berkenan memberikan restu bagi pernikahan kami.
Pada 9 Mei 1953, saya resmi menikah dengan Eva. Sehari sebelumnya, di kediaman kawan saya, Dja'far Jusuf, berlangsung upacara pernikahan secara agama Islam, tapi dipimpin bukan orang dari Kantor Urusan Agama. Keesokannya berlangsung pernikahan yang dihadiri sedikit undangan di Gereja Protestan di Taman Cibeunying, Bandung. Sedangkan perkawinan secara Catatan Sipil berlangsung setelahnya di pastori di belakang gereja.
Pada 1957, saya diterima kuliah di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Pada tahun itu, saya juga memulai kebiasaan baru, yaitu menulis buku. Buku pertama saya, Sari Kesusastraan Indonesia, digunakan oleh murid SMA. Saya selesai kuliah pada 1963. Dua tahun kemudian, saya diangkat menjadi dosen tetap di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Pada 1967, jumlah anak kami sudah delapan orang. Tapi kami belum memiliki tempat tinggal yang permanen. Setidaknya sudah delapan kali kami berpindah rumah.
Tak lama, saya ditunjuk sebagai pembantu dekan bidang akademis. Baru beberapa bulan saya memegang jabatan itu, kerja sama dalam bidang pendidikan dibuka antara Belanda dan Indonesia. Sebanyak 14 dosen dari seluruh Indonesia mendapat kesempatan belajar di Belanda. Saya satu di antaranya, satu-satunya dari Universitas Padjadjaran. Kami belajar di Rijksuniversiteit Leiden selama dua tahun, dimulai pada 1 September 1971 dan berakhir 31 Agustus 1973.
Kepergian saya ke Belanda tentu meninggalkan masalah. Bagaimana mungkin saya bisa tetap menafkahi keluarga di rumah, sementara tunjangan beasiswa yang kami peroleh, 750 gulden, hanya cukup menutup kebutuhan hidup selama belajar di sana? Jalan keluar muncul setelah saya berbincang dengan Dr Ido Enklaar dan istrinya, Cecile, induk semang kami di sana. Lantaran tahu saya memiliki sembilan anak, dia melarang saya membayar sewa indekos. Saya menangis haru menerima kebaikan mereka. Karena itu, setiap bulan saya dapat mengirimkan ke rumah sekurang-kurangnya 500 gulden. Jumlah itu setara dengan tiga kali gaji saya bekerja sebagai dosen.
Saya mulai menulis buku pada 1957. Sayang sekali, buku yang diterbitkan tidak memberikan bantuan yang cukup berarti secara finansial. Pengalaman yang menyakitkan ialah ketika saya akan berangkat ke Belanda itu. Tentu saja saya sangat membutuhkan uang. Saya datangi sebuah penerbit yang menerbitkan tiga buku saya, meminta persekot royalti. Apa jawabnya? "Buku belum laku dan kami kebetulan tidak punya uang. Tapi, kalau Saudara betul-betul membutuhkan, kami akan mencarikan pinjaman untuk Saudara dengan bunga 10 persen sebulan." Saya marah ketika itu.
Saya dendam kepada penerbit. Karena pengalaman itulah saya bertekad menerbitkan sendiri buku-buku saya. Sekembali saya dari Belanda, semua naskah buku saya di beberapa penerbit saya tarik. Saya memulai dunia penerbitan pada 1976 dengan mendirikan CV Pustaka Prima. Untuk keperluan modal, saya mendatangi seorang direktur bank bekas murid saya di SMP. Dengan bantuannya, saya menerima sejumlah pinjaman. Di rumah, kami buat gudang buku tempat penyimpanan buku-buku yang sudah dicetak. Semua toko buku kami surati bahwa mulai waktu itu dapat memesan buku-buku karangan saya, tidak lagi ke penerbit lama.
Usaha ini rupanya berdiri di waktu yang tepat. Ketika itu, perdagangan buku sedang ramai dan daya beli masyarakat cukup baik. Buku-buku saya, seperti Sari Kesusastraan Indonesia 1 dan 2, Pelik-pelik Bahasa Indonesia, serta Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia, laris dan banyak diminati masyarakat serta banyak digunakan di sekolah. Kami sibuk sekali melayani permintaan dari mana-mana, dari Medan, Surabaya, Semarang, Solo, Yogyakarta, Jakarta, dan Lampung.
Namun bisnis ini mulai meredup pada pertengahan 1980-an. Ketika itu, pembajakan buku mulai marak. Oplah buku-buku saya langsung menurun drastis. Saya menerima laporan dari Medan, Solo, dan kota-kota lain bahwa buku-buku saya di sana dijual dengan harga lebih murah. Saya juga sempat mengecek langsung ke beberapa kota tersebut. Saya temukan buku bajakan di kios-kios pinggir jalan. Namun melacak sumber masalahnya juga tidak mudah. Pernah ada pembajak yang tertangkap. Dia mengakui pernah membajak buku saya. Tapi apalah artinya jika hanya satu-dua orang yang tertangkap, sementara pembajak buku berjumlah puluhan orang.
Dalam masa yang tidak menguntungkan itu, timbul keinginan lain dalam hati saya. Sudah lama ada perjanjian antara saya dan keluarga mendiang Moh. Zain untuk merevisi dan menyusun kembali kamus beliau yang pernah diterbitkan pada 1952. Janji itu belum saya penuhi. Saya mau mengerjakannya.
Kamus itu tebal sekali, 1.645 halaman. Tambahan lema dari kamus Zain lebih dari separuhnya. Juga revisiannya. Jadi pekerjaan yang merupakan saham saya lebih besar daripada saham Pak Moh. Zain sebagai penulis awal kamus itu. Maka nama saya dimasukkan ke kamus itu. Kamus itu terkenal dengan nama Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain. Ketika diterbitkan pada 1994, kamus itu meledak di pasar. Hanya setahun berselang, kamus itu harus dicetak ulang. Begitu juga dengan cetakan yang kedua.
Sejak pertengahan 1997, ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, usaha penerbitan buku sangat terpukul. Harga jual buku naik drastis lantaran kenaikan harga kertas dan biaya cetak. Lihat saja contohnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, yang sebelumnya dijual dengan harga kurang dari Rp 100 ribu. Terbitan terakhir, 2001, harganya menjadi Rp 220 ribu. Dalam keadaan itu, masyarakat tentu lebih mementingkan apa yang paling mereka butuhkan.
Sekalipun demikian, keinginan saya untuk menulis tidak pernah padam. Selang beberapa tahun kemudian, saya kembali menulis kamus kata-kata serapan dari bahasa asing dan kamus bahasa Indonesia untuk sekolah dasar. (Sayang, satu buku di antaranya tak dapat diselesaikan karena ia terserang stroke—Red.)
Riky Ferdianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo