Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terik matahari menyirami lahan perbukitan kawasan Dago, Bandung, Ahad awal Juli lalu, dua hari menjelang bulan puasa. Di salah satu rumah yang ukurannya cukup besar dengan pekarangan seluas dua kali lapangan basket di Jalan Bukit Dago Selatan Nomor 27 di perumahan dosen Universitas Padjadjaran itu, Jusuf Sjarif Badudu tinggal menikmati masa tuanya bersama istri, satu dari sembilan anaknya, menantu, serta dua cucunya.
Rumah itu merupakan saksi bisu perjuangan Yus Badudu—begitu ia disapa—saat mendidik dan membesarkan sembilan anaknya. Namun kini tidak lagi seramai dulu. Delapan anaknya memilih tinggal di tempat lain dengan kesibukan masing-masing. Sebagian anak dan cucunya biasa datang berkunjung di akhir pekan atau saat Lebaran dan Natal. Seperti pada Ahad itu, saat Tempo datang berkunjung pertama kali. Rumah itu dipenuhi sekitar 20 anak-cucunya. Kalau semua berkumpul, selain ia dan istrinya, Eva Henriette Alma Koroh, 82 tahun, ada sembilan anak dan sembilan menantu, 23 cucu, serta dua cicit.
Ketika Tempo tiba di rumah asri dengan pohon kelengkeng setinggi sekitar 10 meter di halaman depannya yang berumput hijau itu, Yus, 87 tahun, terlihat berbaring di sofa ruang tamu. Rambut pria yang pernah sangat populer itu tampak putih sempurna. Ia tidak memakai kacamata seperti yang selalu melengkapi penampilannya jika membawakan acara Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di Televisi Republik Indonesia, sekitar 35 tahun silam.
Hari itu, ia mengenakan baju batik putih dengan motif bunga berwarna kelabu dan celana hitam. Di tangannya tergenggam koran. Ia seperti sedang membacanya. Ananda Badudu, cucu dari anak ketiganya, Chandramulia Satriawan, yang baru tiba dari Jakarta, menghampiri sambil memberi salam, mencium kedua pipinya, dan membantu Yus duduk bersandar. "Popa (kakek) sudah tidak bisa mendengar," ujarnya.
Memang, kondisi kesehatan Yus sudah jauh menurun dua tahun belakangan, terlebih setelah mendapat serangan stroke kedua pada Mei lalu. Kemampuan pendengarannya terganggu. Begitu pula kemampuan berpikirnya. Ia bahkan kesulitan mengenali orang di sekitarnya. Kalaupun ada nama yang disebut, sifatnya hanya spontanitas, bergantung pada kondisi reaksi nalarnya ketika itu.
Murwidi Udi Narwono, 48 tahun, suami dari anak nomor tujuhnya, Sari Rezeki Adrianita, menuturkan tiga bulan lalu Yus masih bisa diajak berkomunikasi—meski lawan bicaranya harus menuliskan pertanyaan pada secarik kertas. Cara itu sempat Tempo lakukan. Beberapa pertanyaan diajukan untuk mengenang kembali pengalaman hidupnya ketika ia masih aktif menjadi pengajar bahasa. Yus hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tidak satu pun kata keluar dari mulutnya.
Begitu pula saat kunjungan Tempo yang kedua pada tiga pekan lalu. Hasilnya sama. Namun, saat menyambut kami di ruang tamu, ia menjulurkan tangan, seperti mempersilakan duduk. Di tengah pembicaraan dengan anggota keluarganya, ia juga sempat mempersilakan Tempo meminum suguhan air dengan isyarat yang sama.
"Sepertinya itu kebiasaan yang tertanam lama," ujar Murwidi. Pihak keluarga, kata dia, sebenarnya telah berulang kali mendatangi rumah sakit untuk pengobatan. Pemeriksaan dokter menyimpulkan penyakit yang ia alami sulit diobati. Upaya yang bisa dilakukan hanyalah mendampingi aktivitasnya sehari-hari.
Yus sempat menuliskan otobiografinya pada 2001: "Otobiografi Jusuf Sjarif Badudu (1926-2001)". Otobiografi setebal 62 halaman itu tidak diterbitkan, hanya ketikan yang dicetak dan dijilidkan. Almamaternya, Universitas Padjadjaran—tempat ia kuliah dan menjadi dosen sejak 1965 sampai pensiun sebagai guru besar di Fakultas Sastra pada 1991—dalam memperingati 77 tahun hari lahirnya membuatkan buku kumpulan tulisan kolega dan mahasiswanya. Buku setebal 120 halaman itu, 77 Tahun Gurunya Guru Bahasa: Citraan Sosok Yus Badudu, diterbitkan sepuluh tahun lalu.
Hampir semua penulis mengenang bagaimana keandalan Yus mengajarkan bahasa. Hal itu juga diakui Riris K. Toha-Sarumpaet, guru besar sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Riris, saat ditemui di kantornya di kampus UI, Depok, beberapa waktu lalu, mengenang pertama kali ia menonton acara Yus Badudu di TVRI. Ia seperti tersihir karena Yus benar-benar menguasai masalah serta bisa menjelaskan problem kebahasaan dengan jelas, benar, dan sedap.
"Gaya bicaranya lugas dan artikulatif. Ia bahkan berani mengkritik kesalahan penggunaan akhiran 'ken' yang kala itu banyak digunakan pejabat. Dia tidak takut melawan arus," kata Riris.
Memori yang sama dikenang sastrawan Wilson Nadeak. Menurut dia, Yus memiliki daya pukau yang jarang dimiliki orang. "Banyak pembina bahasa yang muncul melalui TVRI saat itu. Tapi hanya suara Badudu yang terus menggema di telinga para pemirsanya," ujar Wilson seperti ditulis dalam buku. Derasnya arus pertanyaan dari pemirsa kala itu setidaknya menunjukkan penampilan Yus amat digemari masyarakat pemerhati bahasa.
Keterlibatan Yus dalam Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI berawal saat Anton M. Moeliono (almarhum), Kepala Pusat Bahasa saat itu, mengajaknya menjadi pengisi acara. Tawaran itu dia terima dengan suka hati, meski ia harus ulang-alik Jakarta-Bandung setiap pekan. Di mata Anton, Yus merupakan sosok yang terampil beretorika. Ia mampu meyakinkan para penutur bahasa untuk mengenal ragam bahasa yang baku dan benar.
Yus sendiri dalam otobiografinya menulis:
Saya cukup terkenal karena tiga tahun saya membina bahasa Indonesia melalui Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI (1977-1979). Ketika itu baru ada satu channel sehingga seluruh Indonesia mengikuti siaran saya itu. Ini saya buktikan sendiri ketika saya pulang ke kampung halaman di Ampana, Sulawesi Tengah. Ampana adalah ibu kota kecamatan, berada di tepi pantai, berjarak lebih-kurang 120 kilometer dari Poso, Sulawesi Tengah.
Pada 2001, setelah 30 tahun lebih meninggalkannya, sejak 1952, saya kembali lagi ke sana untuk menjenguk tempat bermain di masa kecil. Di sana saya diminta masyarakat berceramah. Pegawai-pegawai pemerintah daerah, guru-guru, dan tokoh-tokoh masyarakat hadir untuk mendengarkan ceramah saya mengenai bahasa Indonesia.
Begitu juga ketika saya ke Tentena di ujung utara Danau Poso, dan ke Luwuk, saya diminta berceramah tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Permintaan masyarakat itu tentu saya penuhi. Bagi masyarakat, kedatangan saya, seorang profesor dari Jawa, yang berceramah merupakan sebuah kehormatan untuk mereka. Ini peristiwa yang sangat jarang mereka alami.
Bukan hanya kampung halaman saya yang meminta saya berceramah bahasa. Saya telah berceramah di dalam dan luar negeri. Dari sekolah-sekolah menengah atas, para guru meminta saya berbicara tentang pengajaran bahasa Indonesia dan sastra. Sampai sekarang, boleh dikata pengajaran bahasa Indonesia dan sastra gagal. Sekolah tidak dapat membuat para siswanya menjadi orang yang mahir berbahasa, baik lisan maupun tulisan. Itu sebabnya, bila masuk perguruan tinggi, lulusan SMA masih diberi kuliah bahasa Indonesia.
Begitu pula dengan pengajaran sastra. Pengajaran sastra di sekolah tidak berhasil membentuk siswa menjadi orang yang menyenangi sastra dan karya sastra hingga menjadi pembaca sastra yang setia. Pada umumnya sekolah hanya bisa mengajarkan teori-teori sastra atau bahan-bahan hafalan. Sekolah tidak dapat membentuk mereka menjadi pencinta karya sastra.
Saya juga sering diminta para dosen di perguruan tinggi berbicara tentang bahasa Indonesia dalam penulisan karya ilmiah. Sebab, bahasa yang digunakan dalam karya ilmiah tidak sama dengan bahasa yang dipakai secara umum dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang harus dikuasai penulis karya ilmiah: kata yang tepat penggunaannya dan tepat makna, kata yang bentukannya tepat, serta istilah yang harus digunakan dalam disiplin ilmu.
Wartawan pun sering mengundang saya memberi ceramah mengenai bahasa pers: bagaimana menyusun bahasa yang baik dalam penulisan berita di surat kabar, kesalahan apa yang sering ditemukan dalam bahasa surat kabar, mengapa itu salah dan bagaimana seharusnya. Apalagi, bagi wartawan, bahasa Indonesia adalah alat paling utama yang setiap hari digunakan. Tanpa menguasainya dengan baik, seseorang tidak akan pernah menjadi wartawan yang baik.
Kalau bulan Oktober tiba, bulan yang biasa disebut sebagai Bulan Bahasa, undangan kepada saya akan datang dari mana-mana, tidak hanya dari kota-kota di Jawa. Ke mana saya pergi ke daerah, kalau orang mendengar saya ada di sana, mereka umumnya mengundang saya memberi ceramah mengenai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Saya juga diundang berceramah ke luar negeri dalam pertemuan-pertemuan bahasa dan budaya. Saya pernah diundang ke Kuala Lumpur, Singapura, Brunei, Australia, dan Jepang. Ketika di Australia pada 1991, saya pernah ditawari Melbourne University menjadi dosen tetap menggantikan dosen yang baru meninggal. Tawaran itu saya tolak karena istri saya tidak mau saya bekerja di luar negeri di usia tua saya ini.
Rekam jejak Yus Badudu di bidang bahasa tidak hanya bisa dilihat dari kiprahnya di layar televisi. Di dunia perbukuan, ia juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Termasuk puluhan artikel dan karya akademik, semua karyanya mengangkat tema soal kebahasaan. Ada letupan gairah yang tidak hendak ia lepaskan dari aktivitas itu. Bahkan, setelah ia selesai menjabat dekan di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, pihak rektorat sempat beberapa kali memintanya memimpin fakultas. Tawaran kursi kekuasaan itu rupanya tidak membuatnya tergiur. Ia tetap konsisten memilih jalur penulisan di bidang bahasa.
Produktivitas Yus dalam menulis buku bahasa belum ada saingannya. Yang cukup spektakuler adalah buku Sari Kesusastraan Indonesia 1-2. Selama 38 tahun (1957-1995), buku ini mengalami cetakan hingga 49 kali. Sedangkan Pelik-pelik Bahasa Indonesia (1971-1996) mengalami cetakan ke-41. Prestasi ini tentu cukup mengagumkan secara bisnis. Apalagi buku terbitannya selalu dicetak dengan tiras di atas 3.000. Para pemerhati dunia bahasa tentu tidak bisa melupakan jasa besar Yus ketika melahirkan karyanya yang cukup monumental: Kamus Umum Bahasa Indonesia (Sinar Harapan, 1994). Kamus ini merupakan hasil revisi dari Kamus Modern Bahasa Indonesia yang ditulis Sutan Mohammad Zain pada 1952.
Dalam otobiografinya, Yus menulis:
Sudah lama ada perjanjian antara saya dan keluarga almarhum Moh. Zain untuk merevisi dan menyusun kembali kamus yang bernama asli Kamus Modern itu. Saya mau mengerjakannya, tapi tidak bisa cepat. Banyak sekali rintangan karena tugas sehari-hari bermacam-macam. Walau begitu, kamus itu saya kerjakan juga sehingga akhirnya baru selesai dalam waktu enam tahun.
Saya tidak mau hanya menerima royalti. Maka, kepada penerbit PT Pustaka Sinar Harapan di Jakarta, saya meminta join dalam pembiayaan pencetakannya. Usul saya diterima karena kebetulan keuangan mereka saat itu tidak terlalu baik, sementara biaya pencetakannya tidak kecil. Maklum saja, kamus itu akan tebal sekali: 1.645 halaman.
Kamus itu diberi nama Kamus Umum Bahasa Indonesia. Tambahan dari kamus lama Moh. Zain lebih dari separuhnya. Juga revisiannya banyak. Jadi, pengerjaan buku yang merupakan saham saya lebih besar daripada saham Pak Moh. Zain sebagai penulis awal kamus itu. Karena itu, saya minta nama saya dicantumkan dalam kamus itu. Kamus itu kemudian terkenal dengan nama Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain. Cetakan pertamanya terbit sebanyak 10 ribu eksemplar pada Oktober 1994.
Kamus itu "meledak". Hanya dalam waktu satu tahun, kami harus mencetak ulang. Tak sampai setahun kemudian, keluar cetakan ketiganya pada Desember 1996. Sayang sekali, krisis moneter bermula pada pertengahan 1997. Penjualan kamus menjadi lama dan seperti berhenti. Ekonomi kacau sehingga orang tidak mampu lagi membeli kamus yang harganya cukup mahal.
Murwidi mengenang proses pembuatan kamus itu. Untuk keperluan itu, semua sumber penulisan ditelusuri. Koleksi lema ada kalanya diperoleh lewat kliping kosakata yang bertebaran di media massa. Begitu pula dengan buku-buku bacaan. "Di pagi hari, kadang kami harus buru-buru baca koran. Telat sedikit, beberapa berita tertentu pasti sudah digunting sama Papa," ujarnya.
Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) merupakan salah satu kamus yang banyak membantu pemahaman orang akan bahasa Indonesia. Fatimah Djajasudarma, guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, menilai kamus ini punya keunggulan tersendiri lantaran bisa memberi penjelasan tentang asal mula suatu kata. Dalam KUBI, kata "paro" atau "paruh" yang berarti seperdua waktu (dalam makna numeralia), misalnya, diikuti singkatan "Jw", yang berarti berasal dari bahasa Jawa.
"Semestinya memang seperti itu, karena 90 persen kosakata bahasa kita kan berasal dari luar. Kata itu dipinjam, berkembang, tapi tidak pernah dikembalikan," ucapnya.
Menurut Fatimah, kepiawaian Yus Badudu dalam teori bahasa juga banyak dipengaruhi kultur pendidikan saat menempuh studi doktoral di Belanda. Di masa itu, kata dia, kajian akademik di Eropa masih kental dengan mazhab Saussurean. Perspektif itu secara tidak langsung membingkai pemahamannya, terutama dalam kaitannya dengan teori struktural yang mendefinisikan kata dari elemen bentuk dan makna. Yus tidak memilih keahliannya di bidang linguistik, tapi mempelajari aturan tentang tata bahasa. "Badudu itu seorang grammarian, bukan linguis," ujarnya.
Sebagai seorang pengajar, kata Fatimah, Yus dikenal tegas dan lugas, tapi bukan tipikal dosen pemarah. Ia tidak sungkan menyatakan pemikirannya sekalipun itu berpotensi menimbulkan polemik. Semua ini ia lakukan tanpa tendensi, selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri. Suatu waktu Fatimah pernah berkunjung ke rumah salah seorang menteri. Saat dia diperkenalkan, menteri itu malah mendampratnya. "Wah, ahli bahasa itu tukang kritik. Pejabat aja dikritik," ujar menteri tersebut. Fatimah hanya bisa tersenyum kecut. Dalam hati ia bergumam, "O… ini pasti gara-gara Badudu."
Memang, kata Fatimah, kalangan pemerhati bahasa kala itu sempat mendengar rumor. Lantaran pernah mengkritik kekeliruan penggunaan bahasa di kalangan pejabat (penggunaan akhiran "ken" dan "daripada" yang ketika itu merujuk pada kebiasaan Presiden Soeharto), sosok Yus tidak lagi muncul di televisi. Beredar kabar ia diberhentikan karena pesanan penguasa yang merasa gerah. Namun anggapan itu ditepis Yus. Kepada anaknya, Chandramulia, 56 tahun, Yus pernah bercerita bahwa ia terpaksa absen lantaran Pusat Bahasa tidak memperpanjang kontraknya. "Kontraknya memang sudah selesai," ujar Chandramulia menirukan Yus.
Belakangan keputusan tersebut sempat membuat Kepala Pusat Bahasa saat itu, Hasan Alwi, kewalahan. Banyak orang melayangkan surat protes. Mereka mengaku rindu akan sosok Yus Badudu. Itu sebabnya, di beberapa tayangan setelahnya, Hasan memutuskan mengundang lagi Yus untuk mengampu acara tersebut. Namun kontraknya tidak untuk jangka panjang. "Jadi sesekali saya undang. Demikian juga dengan pembawa acara sebelumnya, seperti Anton Moeliono dan Amran Halim," kata Hasan.
Riky Ferdianto
Jusuf Sjarif Badudu
Tempat dan tanggal lahir:
Gorontalo, 19 Maret 1926
Agama:
Islam
Alamat:
Jalan Bukit Dago Selatan Nomor 27, Bandung
Status perkawinan:
Menikah dengan Eva Henriette Alma Koroh, 82 tahun
Anak:
Pendidikan:
Karier:
Penghargaan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo